Bab, 1. Ketika Dia Kembali.
Mentari pagi mulai menyapa di celah-celah pepohonan di halaman belakang kediaman Keluarga Besar Santoso. Seorang gadis cantik yang baru saja usai menyapu di sana terlihat menyeka keringat yang mengucur di dahinya.
Hari masih pagi, mentari baru mau terik, tapi ia sudah bercucuran keringat. Berulang kali ia menghela nafas panjang dan mencoba untuk tak merutuki pekerjaannya, dan pada saat semua pekerjaannya yang ia kerjakan dalam waktu cukup singkat — ia akhirnya mengembalikan semua alat yang ia gunakan tadi.
Setelah selesai dengan urusan itu, ia masuk ke dalam kediaman mewah Keluarga Santoso dengan tubuh yang sudah banjir keringat.
"Angelina, cepat bersihkan tubuhmu, kamu harus masak." ujar seseorang yang tiba-tiba saja langsung memerintah Angelina. Angelina mengernyitkan dahinya sejenak. Ia menoleh ke arah wanita yang usianya lebih tua darinya yang datang-datang kembali memberikannya pekerjaan.
Kali ini, ia sampai begitu bukan karena kesal, melainkan — ia bingung dengan perintah itu.
"Masak? Bukankah saya sudah masak tadi pagi, Bu?" tanya Angelina dengan ramah. Namun, suaranya menyimpan banyak sekali pertanyaan.
"Tuan Muda akan segera sampai, dan mereka akan makan siang di rumah. Sebaiknya kamu kerjakan saja, ngga usah banyak tanya! Cepetan sana! Mandi dulu baru kamu masak!" balas wanita itu dengan sangat ketus. Setelah itu wanita itu berlalu pergi — tanpa mengatakan apapun ia meninggalkan Angelina yang tampak menghela nafas cukup panjang. Bila ingin mengeluh, ataupun membantah, semua akan terasa sia-sia.. karena semua itu hanya akan menambah masalahnya. Para rekan kerjanya mungkin hanya akan menambah semua pekerjaannya.
Angelina tidak terlalu memikirkan siapa yang akan datang, yang jelas ia kini hendak mematuhi semua perintah yang ia terima.
Pada hari itu kediaman santoso lumayan terlihat sibuk. Di saat hampir menuju jam makan, semua orang termasuk maid di kediaman itu tampak sibuk dan heboh.
Mungkin hanya Angelina saja yang masih saja terlihat santai, ia enggan untuk ikut sibuk. Dirinya hanya sibuk dengan pekerjaannya di dapur saja.
Memang di kediaman keluarga besar itu, Angelina berperan menjadi Koki, namun, pekerjaannya tentu tak hanya memasak. Ia selalu dipaksa mengerjakan pekerjaan lain yang sebenarnya bukan pekerjaannya.
***
Angelina hanya berada di dapur selama waktu hendak menuju ke jam makan siang. Ia malah lebih senang berada di dapur seorang diri. Pada saat itu, ia tengah mencuci beberapa peralatan masak — yang tadi ia kenakan.
Dengan tekun ia membersihkan peralatan masak itu, namun tiba-tiba..
"Hai?" Satu sapaan membuat Angelina tersentak kaget. Angelina langsung menoleh ke samping tubuhnya — karena di sanalah sumber suara sapaan itu terdengar.
Disaat ia sudah menoleh — jantungnya seakan berdegub sangat kencang disaat ia menatap wajah yang lama ia rindukan. Wajah itu adalah wajah yang sering menyapa dan tersenyum manis padanya. Wajah itu juga yang senantiasa menyemangatinya, dan wajah itu juga lah salah satu wajah yang ingin ia hapus dalam benaknya.
Namun, Angelina tak pernah bisa melakukannya, ia tenggelam dalam manisnya senyuman yang kerap kali membuatnya merasakan ketenangan dan kenyamanan yang nyata.
Orang itu tersenyum lagi, memandang wajah cantik Angelina.. "Hai, Angelina... senang bertemu denganmu," Sapanya. Dia adalah Arya Santoso. Salah satu anak dari Keluarga Besar Santoso.
"Ah, iya — Tuan. Anda baru saja datang?" tanya Angelina. Seketika ia merasa gugup di saat berhadapan dengan pria itu.
"Sudah, biasa saja.. jangan canggung begitu, kita sudah lama kenal, dan bahkan sudah seperti teman, 'bukan?" tanya pria tampan itu.
Angelina tak berani menjawab, ia hanya mengangguk pelan.
"Ke — kenapa Tuan ada di dapur?" tanya Angelina dengan suara terbata.
"Aku mencarimu," balas Arya. Pandangan mereka bahkan bertemu pada saat itu.
degh! batin Angelina, Angelina terbelalak seketika setelah mendengar ucapan pria itu.
"Bercanda, aku hanya ingin minum air dingin saja, di depan hanya air mineral bisa." balasnya. Angelina tersenyum tipis, entah mengapa ia merasa sedikit kecewa dengan jawaban pria itu.
"Kamu apa kabar? Kenapa tidak menghubungiku, bukankah kamu punya ponsel?" tanya Arya.
"Emmh, anuu.. itu —" Suara Angelina terjeda, ia bingung menjawab pertanyaan dari majikannya itu. Tidak mungkin ia bertukar pesan atau menghubungi tuannya bukan?
"Ah, iya.. rusak, ponsel Saya rusak, Tuan." balas Angelina.
"Hm, 'benarkah?" Suara dan tatapan pria itu tampak menyelidik, Angelina hanya bisa mencoba menatapnya sejenak dengan takut-takut. Bukan pria itu yang menakutkan baginya, melainkan banyaknya orang yang memberikan peringatan untuk menjauhi pria itu yang begitu menakutkan baginya.
"Padahal Aku selalu menunggu pesan dari kamu selama aku bertahun-tahun berada di sana," balas Arya. Kali ini suaranya terdengar begitu tenang, namun, teduh di dengar. Angelina menatap pria itu dengan tatapan yang tampak terkejut.
Mereka menatap satu sama lain dengan tatapan yang mendalam. Namun, meski mereka sama-sama terdiam, dalam diam itu hati mereka mulai mengatakan suatu perasaan yang tak akan bisa di utarakan oleh kata. Ingin rasanya Angelina semakin dekat, dengan kenyamanan yang Arya berikan — namun, ia sadar — ada dinding tinggi yang menghalangi mereka. Kasta mereka memaksa Angelina untuk menjauh meski terkadang ia merasa pria itu selalu mencoba mendekat.
"Arya!" Panggil seseorang dari pintu dapur dengan suara yang terdengar lumayan keras.
Angelina dan Arya tentu menoleh ke arah sumber suara. Setelah melihat ambang pintu, jantung Angelina seperti hendak copot disaat melihat seorang pria paruh baya yang ada di sana.
"Pe—permisi, Tuan." ujar Angelina, ia mencoba menyingkir dari sana — sebelum ia terkena masalah.
"Angel," Panggil Arya, namun, Angelina yang mendengar panggilan dari Arya itu tampak tak perduli.
"Arya! Kamu ngapain di sini, apa kamu mau mendekati maid itu lagi?!" ujar sang ayah dengan suara yang terdengar sangat kesal.
"Ayah, Ayah ini kenapa sih? Aku hanya ingin minum air dingin saja, dan — aku hanya menyapa dia saja, apa itu salah?!" balas Arya dengan menahan rasa kesal.
"Halah! Sudahlah, tidak usah banyak omong, awas saja kalau Kamu sampai suka pada gadis miskin itu!" tegur sang ayah.
Arya hanya terdiam, ia sebenarnya merasa sangat kesal, namun ia menahan diri. Tubuhnya masih sangat lelah, dan ia malas untuk berdebat dengan sang ayah. Tanpa mengatakan apapun — ia akhirnya meninggalkan sang ayah yang sudah mulai kesal padanya.
"Arya! Arya!" teriak sang ayah, Arya pergi begitu saja, ia tak memperdulikan panggilan sang ayah.
"Mau jadi anak durhaka kamu?!" teriak sang ayah lagi. Namun meskipun demikian, Arya yang sudah lumayan kesal tampak pergi dari sana meninggalkan ayahnya.