Part 1

1879 Kata
Part 1   Adzan Subuh berkumandang, sayup-sayup menggetarkan gendang telinga. Rhea terbangun. Diliriknya sang suami yang masih pulas. Ingin ia membangunkan, tapi ada rasa sungkan dan takut. Namun seketika ia teringat nasihat ayahnya, bahwa suami istri itu harus saling mengingatkan dan mendukung dalam kebaikan. Ia tak ingin Gavin telat Subuhan. Ia membangunkan laki-laki itu dengan memanggil namanya pelan. Karena tak enak hati jika hanya memanggil nama, ia tambahkan embel-embel “Mas” di depan nama suaminya. Ayah mertuanya asli Jawa Tengah, dan yang ia tahu panggilan “Mas” ini sudah umum di daerah Jawa Tengah. “Mas...Mas Gavin...” Tak ada reaksi. Gavin masih nyenyak dalam tidurnya. Rhea mencoba menepuk bahu Gavin pelan. “Mas...” Gavin mengerjap. Ia membuka mata perlahan. Ditatapnya Rhea yang duduk di sebelahnya. “Kamu gangguin orang tidur saja. Ini masih gelap.” Nada bicara Gavin terdengar ketus. Ia tak suka Rhea membangunkannya. “Udah adzan Subuh,” balas Rhea terbata. Wajahnya tertunduk. Dengan kesalnya, Gavin menutup kepalanya dengan bantal dan tidur lagi. Rhea tak berani untuk membangunkannya kembali. Ia beranjak dan bersiap mengambil air wudhu. Seusai sholat, Rhea melangkah menuju dapur, bersiap merebus air dan memasak. Sebelum menikah, Gavin tinggal seorang diri di apartemen mewah yang juga milik perusahaan sang ayah. Sekarang ia membawa Rhea tinggal bersamanya, tentu bukan karena Gavin menginginkannya, tapi untuk formalitas saja. Akan sangat aneh jika ia tinggal terpisah dengan Rhea. Di depan publik, image-nya harus terbangun sempurna, laki-laki baik yang mencintai sang istri. Sebenarnya kemampuan masak Rhea terbilang tak istimewa. Asisten rumah tangga yang kerap memasak menu untuknya dan ayahnya. Namun ia tak menutup diri untuk belajar memasak. Minimal mengenal bumbu dapur. Ia membuka pintu kulkas dan mendapati ada brokoli, selada, zucchini, tomat, apel, buah naga, nugget, jus kemasan, telur, dan tiga botol air putih. Rhea berpikir sejenak tentang menu yang akan ia masak. Ia sama sekali tak tahu makanan apa yang Gavin suka. Rhea memutuskan memasak nasi goreng. Pukul tujuh, Gavin baru bangun. Ia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Ketika berjalan keluar kamar, Rhea sudah duduk di sofa dengan rambut sedikit basah, tanda dia baru saja mandi. Apa yang dikenakan Rhea membuat Gavin jengah. Kaos oblong kedodoran dan celana kulot panjang. Ia yakin, sekalipun ayahnya bangkrut, dia masih memiliki baju-baju lama yang bagus dan menarik dipandang. Namun selera pakaiannya begitu buruk. Gavin melangkah ke dapur dan menyeduh kopi hitam, minuman wajib yang tak boleh absen setiap pagi. Aroma wangi kopi menguar. Kini Rhea tahu, setiap pagi Gavin terbiasa minum kopi. Ia melirik meja makan. Ada dua porsi nasi goreng lengkap dengan telur ceplok, selada, potongan zucchini dan tomat. Gavin suka nasi goreng, tapi ia tak akan memakan masakan Rhea. Rasanya sulit untuk membayangkan gadis kurus itu bisa menyajikan makanan yang terlihat menarik. Rupanya jari-jari kurus nan lentik itu memiliki keahlian memasak. Ia pikir Rhea sama sekali tak bisa memasak. Gavin duduk di sofa lain, di sebelah sofa yang diduduki Rhea. Ia menyalakan televisi dengan cueknya, sama sekali tak menyapa dan atau minimal tersenyum pada sosok yang sudah resmi menjadi istrinya. Rhea tercenung. Ia pun bingung harus berbuat apa, apakah menyapa sang suami atau menawarkan sarapan? Kedua telapak tangannya ia tangkupkan. Jari-jarinya saling bertaut, meremas untuk menetralkan kecemasan yang tiba-tiba merajai. Ditolehnya sang suami yang memusatkan penglihatannya pada layar televisi. Atmosfer terasa sedemikian canggung. Ada dua orang duduk dalam ruangan yang sama, tapi tak ada satupun suara yang terlontar dari keduanya. Rhea mencoba melawan ketakutannya untuk membuka percakapan dengan orang yang belum ia kenal dengan baik. Sebenarnya ia memiliki kecenderungan untuk menjauhi laki-laki. Ia takut berhadapan dengan laki-laki asing. Kebencian pada ayah tiri yang ia anggap sebagai perusak keharmonisan rumah tangga orang tuanya begitu mengakar. Ia juga memiliki trauma berat menjadi korban bullying oleh teman-temannya. Sebagian besar pelaku bullying adalah teman laki-laki. Di hadapan Gavin, ia berusaha melenyapkan ketakutan itu. “Aku udah masak nasi goreng untuk kita berdua,” ucapan lirih Rhea membuat Gavin mengalihkan pandangan ke arahnya. “Kalau kamu lapar, silakan saja makan. Aku tidak suka nasi goreng,” balas Gavin ketus. Ia menciptakan kebohongan. Sebenarnya ia menyukai nasi goreng. Kini ia memasukkan nasi goreng dalam list makanan yang harus dihindari jika sedang makan bersama Rhea. Rhea tercekat. Ia terbiasa mendengar teman-temannya bicara ketus semasa sekolah. Namun mendengar ucapan ketus seseorang yang telah menjadi suaminya terasa begitu pedih. Kata-kata itu telah menggoreskan luka. Ia sadar diri, selama bernapas, ia lebih akrab dengan air mata dibanding tawa bahagia. Ia bahkan menyebut dirinya bodoh dan tak tahu bagaimana menikmati hidup. Jadi ia pikir, ia tak perlu bersedih karena terbiasa menghadapi hal seperti ini. Semasa SD ia memiliki badan yang gemuk. Teman-temannya mengejeknya gendut seperti gajah atau bulat seperti bola. Masuk SMP ia mengalami gangguan makan. Eating disorder ini ditandai dengan perilaku anoreksia nervosa di mana ia menahan lapar, menghindari makanan, makan dalam jumlah sedikit, dan jika ia merasa makan terlalu banyak, ia akan memuntahkan makanan itu. Berat badannya turun drastis. Kekurangan nutrisi ini menyebabkan kerontokan rambut, kulit kering, dan wajahnya terlihat pucat. Untungnya ayahnya segera menyadari ada yang salah dengan putrinya. Ia dibawa ke ahli nutrisi dan psikolog. Rupanya eating disorder yang diidap Rhea disebabkan karena faktor psikologis di mana ia merasa minder dengan bentuk tubuhnya yang diakibatkan karena ejekan yang diselancarkan teman-temannya. Semenjak rutin konsultasi ke psikolog dan ahli nutrisi, pola makannya kembali normal. Hanya kadang ia takut makan banyak, takut badannya kembali gemuk. Sejak itulah postur badannya selalu kurus Rhea terpaksa sarapan sendiri. Rasa nasi gorengnya menurutnya kacau, tak karuan, aneh. Ia bersyukur, Gavin tak memakannya. Entah apa komentarnya jika ia mencicipi nasi goreng buatannya yang memiliki rasa tak jelas. Hari ini Gavin tak berangkat ke kantor karena masih kelelahan. Meski menjadi CEO di perusahaan milik ayahnya, tapi ia tak bisa seenaknya mangkir dari pekerjaan. Ayahnya memberinya cuti tiga hari. Seandainya pernikahan ini adalah pernikahan yang sesuai harapannya, mungkin ia akan mengajak sang istri honeymoon ke luar negeri. Ia akan meminta cuti seminggu pada ayahnya. Namun kali ini, ia tak akan mengajak Rhea kemanapun. Baginya pernikahannya dan Rhea hanya sebatas status. Tidak ada istilah honeymoon. Ia tak mencintai Rhea dan tak akan menyentuhnya. Rhea masuk ke kamar untuk melanjutkan mengetik tulisan yang belum ia selesaikan. Sebenarnya ia sudah cukup nyaman dengan pekerjaannya sebagai freelance writer, tapi ia berpikir untuk mencari pekerjaan lain agar tak bosan berada di apartemen seharian. Sebenarnya ia takut bersosialisasi. Ia takut berbaur dengan orang-orang baru di dunia kerja, karena itu ia memilih pekerjaan sebagai freelance writer yang memungkinkan dirinya untuk tak sering keluar rumah dan bertemu banyak orang. Namun ia pikir, ia tak akan kerasan tinggal di apartemen Gavin. Gavin masuk ke kamar tanpa menghiraukan Rhea yang tengah mengetik. Ia masuk kamar mandi untuk mandi. Gemericik air terdengar merdu. Rhea merasa didiamkan bahkan mungkin tak dianggap ada oleh Gavin. Ia mencoba menguatkan hati bahwa dalam beberapa waktu ke depan, Gavin akan selalu memperlakukannya seperti ini. Seusai mandi, Gavin keluar kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk melingkari pinggangnya. Tanpa sengaja Rhea meliriknya. Ini pertama kali untuknya melihat laki-laki bertelanjang d**a dan hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Rhea tak enak sendiri. Ia meneruskan mengetik. Rasanya memang aneh. Ia belum pernah berpacaran, dan kini statusnya telah menjadi istri orang. Sejak remaja ia hanya berani mengagumi laki-laki yang ia sukai dalam diam. Ia tak berani melibatkan perasaan lebih jauh dengan jatuh cinta. Cukup mengagumi saja. Dan ia harap, ia tak akan jatuh pada Gavin meski status mereka sudah sah menjadi suami istri. Ia tahu, di mata Gavin, penikahan mereka tak berarti apapun. Gavin mengambil baju ganti. Mengetahui ada Rhea dalam ruangan, ia masuk kamar mandi untuk berganti baju. Selesai mengenakan pakaian, ia keluar kamar dan berencana untuk memesan makanan ke restoran langganannya melalui delivery order. Sebelumnya ia melangkah ke ruang makan dan melirik nasi gorengnya yang masih utuh. Tatapannya tertuju pada pintu kamarnya yang tertutup. Rhea sedang berada di dalam. Gadis itu tak akan pernah tahu jika dirinya mencicipi nasi goreng masakannya yang tampilannya cukup menggugah selera. Gavin menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Ia kunyah pelan. Rasa makanannya sangat aneh, tapi ia terus mengunyah, barangkali akan ada kejutan perubahan rasa yang menjadi lebih enak setelah ditelan. Pintu kamar bergeser. Rhea keluar kamar. Betapa kaget Gavin melihat sosok mungil itu keluar dari balik pintu. Gavin tersedak dan segera meminum air untuk menetralkannya. Rhea terkesiap melihat suaminya tersiksa karena tersedak. Ia meneliti baik-baik kejutan kecil yang baru ia temukan. Ada sebutir nasi yang menempel di ujung bibir Gavin. Kini Rhea tahu, Gavin telah mencicipi nasi gorengnya. Gavin gelagapan sendiri. Ia berusaha menetralkan deru napasnya yang memburu karena kepergok memakan masakan Rhea, padahal sebelumnya ia mengatakan bahwa ia tak menyukai nasi goreng. Gavin berlalu dari dapur dan masuk ke kamar untuk mengambil jaket dan kunci mobil. Ia memutuskan keluar apartemen untuk mencari angin segar. Ia tak nyaman jika harus tinggal seharian di apartemen bersama Rhea. Ia keluar begitu saja tanpa berpamitan pada Rhea. Gadis itu tertegun. Sungguh pernikahan ini terasa semakin asing dan aneh untuknya. ****** Sungguh bosan Rhea menunggu Gavin pulang. Ia tak tahu kemana perginya laki-laki itu. Ia mendapat nomor suaminya setelah bertanya pada ayah mertuanya. Meski demikian, dia tak berani menghubungi. Sekitar jam tiga sore, Gavin kembali ke apartemen, tidak sendiri tapi bersama seorang perempuan. Rhea bertanya-tanya siapa perempuan itu. Melihat gelagat manja sang perempuan yang menggelayut di lengan Gavin, Rhea menduga jika perempuan itu adalah kekasih Gavin. Gadis berbusana mini itu menatap Rhea dengan pandangan menelisik. “Ini istrimu, Gav? Ya ampun anjlok ke dasar bumi ya seleramu.” Gadis itu menaikkan sebelah sudut bibirnya dan memandang Rhea dengan tatapan meremehkan. “Istri sebatas status saja. Hatiku masih bebas,” seringai Gavin. Entah kenapa Rhea merasa sakit mendengarnya. Padahal ia berjanji untuk tidak melibatkan perasaan apapun pada penikahannya. Meski cinta belum hadir, tapi ia pikir tak seharusnya Gavin membawa perempuan lain ke apartemen. “Apa aku masih punya kesempatan untuk masuk ke hatimu?” Gadis itu membuka pahanya dan duduk di pangkuan Gavin, menghadap laki-laki itu. Tangannya menggantung di leher pria yang sudah lama ia taksir. “Untuk cewek seksi kayak kamu jelas masih ada,” balas Gavin enteng. Ia tak peduli akan keberadaan Rhea yang mematung menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Gadis itu tertawa kecil. Ia bergerak agresif dengan melumat bibir Gavin rakus. Gavin membalasnya, tak kalah panas. Rhea tercengang menatapnya. Seseorang yang baru saja resmi menjadi suaminya berani mencium perempuan lain di hadapannya. Selintas ingatan akan perselingkuhan ibunya menyelinap di benak. Adegan ibunya yang berciuman dengan pria selingkuhannya seolah memutar dengan sendirinya layaknya film dokumenter yang tengah diputar. Luka itu kembali menganga. Ia menunduk dan tak terasa air mata itu berjatuhan tanpa mampu ia cegah. Wanita bernama Gladisa itu menghentikan aksinya. Ia menatap Rhea yang masih mematung dan sesenggukan. “Binimu cengeng juga, ya Gav.” Gavin melirik sang istri. Ia tak menyangka Rhea akan bereaksi seperti ini. Gladisa beranjak dari pangkuan Gavin. “Aku pulang dulu, Gav. Kalau kamu butuh teman bersenang-senang, hubungi aku.” Gladisa mengedipkan mata dan keluar dari ruangan. Gavin mendesah kesal. Ia tak suka melihat Rhea menangis. “Tolong jangan lebay! Jangan menangis! Jangan cengeng. Sudah aku bilang jangan berharap banyak dari pernikahan ini!” Gavin beranjak dan masuk kamar. Ia membanting pintu, membuat gadis malang itu tersentak. Dalam hati Rhea menguatkan diri. Bertahanlah...bertahanlah... Jangan kecewakan ayah. Ayah menaruh harapan besar padamu untuk menjadi bagian dari keluarga Papa Andre.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN