Part 2

2557 Kata
Part 2   Malam ini Gavin memesan makanan dari restoran langganannya untuk makan malam. Ia memesan beef steak. Gavin memesan dua porsi untuknya dan Rhea. Atmosfer di ruang makan itu terasa begitu canggung. Dua-duanya melahap makanan masing-masing tanpa bersuara. Sebelumnya, Gavin hanya mengajak Rhea makan dengan kata-kata singkat dan datar. Gavin mengamati cara Rhea memakan makanannya. Ia lambat sekali dalam memotong steak dan mengunyahnya. Ia hanya mengambil sedikit daging steak lalu dikunyah pelan. Di mata Gavin, Rhea tidak.terlihat menikmati makanannya. Ia menduga badan Rhea kurus karena sedikit makan. Rhea mengangkat wajahnya dan melirik Gavin sekilas. Gavin yang tengah memperhatikannya pun salah tingkah karena kepergok tengah menatap gadis berperawakan mungil itu. Segera Gavin mengalihkan pandangannya pada steak di hadapannya. Rhea merasa tak enak sendiri. Ia selalu bertanya-tanya kenapa terkadang Gavin menatapnya tajam dengan raut wajah yang dingin. Apa ada yang salah dengannya? Apa ada yang salah dengan caranya berpakaian atau dengan caranya makan? Seusai makan, Gavin meletakkan piring dan gelasnya di wastafel. Rhea terkejut saat air kran mengucur dan Gavin mencuci piring sendiri. Ia tak menyangka, CEO yang dingin dan tampak gahar itu berinisiatif mencuci piring sendiri. Ia pikir, mungkin Gavin memang terbiasa mengerjakan semua sendiri karena sebelum menikah, ia tinggal sendiri di apartemen. Rhea menyudahi makannya. Ia beranjak dan membawa piringnya untuk dicuci. Tatkala ia membalikkan badan, Gavin melangkah dari arah yang berlawanan. Tanpa sengaja, mereka bertabrakan hingga piring dalam genggaman Rhea terpelanting dan pecah berkeping-keping. Gavin menggeleng, “Astaga... Kamu ini punya tenaga, nggak, sih? Bawa satu piring aja nggak bisa. Makanya makan yang banyak, biar bertenaga dan nggak lemah. Kesenggol dikit saja, piringnya jatuh.” Nada bicara Gavin lagi-lagi terdengar sewot Rhea cemas dan merasa bersalah karena kurang berhati-hati. Matanya berkaca. Jika saja ia tak membendungnya kuat-kuat, mungkin air mata itu sudah lolos. “Maaf... Aku akan mengganti piringnya,” balas Rhea terbata. Tangannya gemetaran. Jari-jari itu kembali bertaut. Rhea meremas jari-jarinya untuk menetralkan kecemasan yang mengacaukan konsentrasinya. “Mengganti pakai apa? Ayahmu bangkrut. Honor menulismu juga belum tentu bisa mengganti. Aku tidak akan memintamu mengganti piring ini. Sekalipun aku sudah transfer uang ke rekeningmu sebagai uang nafkah dariku, tapi aku nggak mau kamu pakai uang itu untuk membeli piring. Lebih baik kamu pakai buat beli baju yang bagus dan nggak kuno.” Gavin menelisik pakaian yang dikenakan Rhea. Ia mengenakan sweater rajut, lagi-lagi kedodoran. Sweater itu dipadu dengan celana panjang. Rhea mengamati pakaian yang ia kenakan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa model bajunya kuno? Rhea lebih suka mengenakan pakaian longgar. Satu hal lagi yang ia pikirkan. Gavin mentransfer uang ke rekeningnya? Rhea belum mengeceknya. Rhea memungut salah satu pecahan piring. Jari telunjuk kanannya tertusuk pecahan piring hingga berdarah. “Aoo....” Rhea memekik, menahan perih. “Astaga, kamu ini ceroboh banget. Namanya memungut pecahan piring itu jangan pakai tangan kosong.” Gavin mengambil satu kotak obat-obatan untuk luka. Ada plester, perban, alkohol, dan obat cair untuk luka. Ia letakkan di meja. “Obati sendiri lukamu!” perintah Gavin dingin. Rhea beranjak. Ia memgambil kotak obat itu lalu duduk untuk mengobati lukanya. Gavin mengambil sapu dan cikrak untuk membersihkan pecahan piring itu. Rhea terpekur mengamati Gavin membersihkan pecahan piring yang berceceran di lantai. Rasa bersalah menyusup. Ia tak bermaksud merepotkan Gavin. Rhea membalut jarinya yang terluka dengan plester setelah sebelumnya dibersihkan dengan alkohol dan dioleskan obat luka. Gavin menyalakan televisi. Rhea sholat Isya di kamar. Seusai menjalankan kewajiban sholatnya, Rhea memohon doa agar diberi kekuatan menghadapi segala ujian, termasuk ujian rumah tangga. Di awal pernikahan, dia sudah merasakan sakit. Terkadang tercetus dalam pikiran bahwa ia akan meminta cerai pada Gavin. Namun ini masih terlalu awal. Entah kenapa, melihat Gavin mengambilkan kotak obat dan membersihkan pecahan piring, ia yakin jika di hati laki-laki itu masih ada setitik rasa peduli. Rhea sebenarnya tak ingin menjadi bagian dari barisan wanita yang cengeng dan berharap ada keajaiban dalam rumah tangga. Dia tak ingin terlalu berharap Gavin berubah menjadi suami yang baik. Dia tak ingin terluka. Kendati pernikahan yang ia jalani adalah pernikahan tanpa cinta, tapi ia menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Ia bunuh rasa trauma akan pernikahan yang telah mengakar kuat sejak ayah dan ibunya bercerai. Ia padamkan ketakutannya pada laki-laki asing atau tak dikenal baik. Ia hempaskan segala egonya. Ia bahkan tak memikirkan kebahagiaannya sendiri. Ia hanya ingin pernikahannya baik-baik saja meski tanpa cinta. Ia hanya ingin melihat ayahnya bahagia dan tenang karena sang putri hidup berkecukupan dan menjadi bagian dari keluarga Andre. Ia hanya menginginkan ayahnya merasa tenang dan lega karena anak cucunya kelak masih bisa menikmati hasil dari perusahaan yang kini diambil alih ayah mertuanya. Rhea merapikan mukena dan sajadah. Selanjutnya ia mendekat ke lemari. Ia tatap tumpukan bajunya. Matanya menelisik pada beberapa gaun termasuk gaun tidur elegan yang tergantung di lemari. Ia mendapatkan baju-baju itu dari keluarga Andre. Baju-baju branded yang ia tahu harganya tak murah. Rhea berpikir sejenak, haruskah ia mengenakan salah satu dari gaun-gaun itu agar tidak lagi dikatakan kuno oleh Gavin? Sosok gadis yang tadi sore berciuman dengan Gavin melintas di benak. Wanita itu mengenakan gaun dress seksi, dengan rok pendek di atas lutut dan kerah yang cukup rendah hingga memperlihatkan belahan dadanya. Rhea tak pernah mengenakan gaun-gaun seseksi itu. Malam ini, ia coba mengenakannya agar terlihat lebih menarik di mata Gavin. Semua ini ia lakukan semata untuk memperbaiki hubungannya dengan Gavin yang begitu dingin. Ia gadis polos, tapi tak terlalu naif untuk tahu apa yang diinginkan laki-laki dari seorang perempuan, apalagi dengan status yang sudah halal. Menikah tanpa cinta itu mungkin terjadi, tapi menikah tanpa seks rasanya terlalu aneh untuknya. Ia hanya berpikir sederhana tentang riwayat kehidupan manusia, dari bayi lalu tumbuh menjadi anak-anak, kemudian tumbuh menjadi dewasa, menikah, dan setelah menikah ada bayi terlahir. Bayi itu ada karena sepasang suami istri melakukan hubungan suami istri. Karena itu, ia merasa pernikahan yang ia jalani tak hanya tanpa cinta tapi juga janggal. Gavin belum sekalipun menyentuhnya. Sungguh ia bukan haus belaian atau menggebu ingin disentuh suaminya, ia hanya ingin menjalani pernikahan yang normal, layaknya pernikahan yang dijalani banyak orang, di mana setelah menikah, mereka akan memperoleh keturunan. Rhea mengganti bajunya dengan gaun tidur yang cukup seksi dan elegan. Roknya pendek, memaparkan paha kecilnya yang cukup mulus. Kerah yang agak rendah memperlihatkan belahan dadanya. Ia tahu, ia tak seseksi perempuan yang tadi sore dibawa Gavin ke apartemennya, tapi ia berusaha memperbaiki penampilannya. Sebenarnya ia sangat sungkan dan tak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan. Namun ia menepis segala rasa malu dan sungkannya. Ia sudah sah menjadi istri Gavin. Tak masalah untuknya berpenampilan seksi di depan Gavin. Rhea memberanikan diri keluar kamar dan duduk di ruang tengah, menemani Gavin. Ia duduk di sofa satunya. Awalnya Gavin tak merespons. Melihat Rhea saja ia tak sudi. Akan tetapi setelah ia melirik sang istri yang duduk anteng, ia terkejut bukan main. Namun ia tak menunjukkan keterkejutannya di depan gadis itu. Ia berlagak biasa saja meski ia cukup penasaran untuk melirik gadis itu sekali lagi. Pertama kali bagi Gavin melihat Rhea mengenakan pakaian yang cukup seksi dan ukurannya pas di badannya. Ia tak seseksi mantan pacar maupun perempuan-perempuan yang pernah ia temui di club, tapi kulit tubuhnya yang eksotis khas Indonesia dan mulus cukup berhasil memikatnya untuk berulang kali mencuri pandang ke arahnya. Ia akui, Rhea punya sisi seksi dan menarik yang berbeda dari banyak perempuan yang pernah ia kenal. Rhea menyadari apa yang ia lakukan telah berhasil membuat Gavin meliriknya sesekali. Sungguh, sejujurnya ia malu, sangat malu. Ia merasa tak jauh beda dengan perempuan penggoda yang berusaha membangkitkan minat laki-laki. Ia beristighfar. Tidak, dia tidak sama dengan perempuan penggoda. Ia sudah sah menjadi istri Gavin. Apa yang ia lakukan saat ini bukanlah sebuah dosa. Gavin menatap tajam Rhea. Perempuan itu mendadak salah tingkah. Ia menundukkan wajahnya. Tangan kanannya mengusap-usap lengan kirinya. Ia panik, grogi ditatap sedemikian intens oleh Gavin. Rhea memungut bantal sofa di sebelahnya. Ia letakkan bantal itu di atas pahanya untuk menutupi pahanya yang terekspos. Gavin tersenyum sinis. Ia sudah menduga, Rhea tak akan mungkin seagresif ini. Ia menikmati menyaksikan tingkah Rhea yang grogi dan cemas. Ia tahu, Rhea tengah memancing perhatiannya tapi di sisi lain ia merasa takut dan gugup. Ia juga yakin, gadis sepolos Rhea belum sekalipun merasakan sentuhan laki-laki. “Kamu sedang memancingku?” Gavin menaikkan sebelah sudut bibirnya. Rhea terhenyak. Ia menatap pria itu sekilas. Rhea segera menggeleng. “Kenapa kamu pakai gaun seperti itu?” tanya Gavin masih dengan nada datar. “Mas bilang, bajuku kuno, makanya aku ganti pakai baju ini.” Rhea berusaha bersikap setenang mungkin. “Dan apa kamu yakin kalau aku tertarik sama kamu setelah kamu pakai baju ini?” Rhea tergugu. Dia tak menjawab apapun. Ia beranikan diri menatap Gavin. Keduanya saling memandang dengan pikiran masing-masing. Gavin merasakan Rhea sudah agak lebih berani membuat kontak mata agak lama dengannya. Gavin berpikir lebih baik ia masuk kamar sebelum pikirannya kacau dan tak bisa mengendalikan diri. Dia tak ingin menyentuh gadis itu meski sudah resmi menjadi istrinya. Ia tak menyukai gadis itu dan tak ingin membuat gadis itu tersanjung karena merasa diinginkan. Gavin beranjak dan berlalu menuju kamar tanpa sepatah kata. Rhea tercenung. Ia pikir, suaminya memang tidak pernah tertarik padanya. Di dalam kamar, Gavin mencoba terpejam. Ia singkirkan jauh-jauh imajinasinya akan sosok Rhea yang terlihat menarik dengan gaun tidur sialan itu. Ya gaun tidur sialan, karena hampir saja ia tak bisa menahan diri. Rhea masuk ke kamar untuk bersiap tidur. Begitu mendengar derap langkah sang istri, Gavin seketika memejamkan matanya, berpura-pura tidur. Rhea duduk selonjoran di ranjang dan mengambil ponselnya. Ia membuka salah satu aplikasi yang mengenalkannya pada sosok teman dari dunia maya, yang selama ini menjadi tempat berbagi cerita. Rhea tak memiliki teman dekat di dunia real. Sahabat terdekatnya adalah seseorang yang menggunakan username 'bluesky' yang bahkan ia tak tahu nama asli seseorang yang ia panggil 'Sky' ini. Yang ia tahu Sky adalah perempuan.  Ia tak tahu menahu kehidupan pribadi Sky. Sky tahu Rhea seorang perempuan, tapi ia juga tak tahu banyak kehidupan Rhea di kehidupan realnya. Mereka berkenalan saat bertemu dalam satu forum dunia maya. Dari situ keduanya sering mengirim private message  dan berbagi segalanya. Rhea yang lebih banyak bercerita. Ia tak pernah seterbuka ini pada orang lain selain pada Sky. Kehadiran Sky mampu memberikan arti sahabat yang sesungguhnya, di mana ia selalu ada dan tak pernah pergi meski ia sedang berada dalam kondisi terburuk sekalipun. Ia merasa lega jika sudah berbagi cerita dengan Sky. Rhea : Hai Sky, gimana kabarnya? Tak berapa lama kemudian, ia mendapat balasan dari Sky. Sky : Hai Rhea, Alhamdulillah aku baik. Kamu gimana? Oya gimana honeymoon kamu dan suamimu? Kalian tidak berlibur ke mana gitu? Rhea : Kami nggak honeymoon. Ini loveless marriage, Sky. Don't expect too much about honeymoon or other sweet moments. Sky : Mungkin suatu saat akan tumbuh cinta diantara kalian. Rhea : Entahlah. Aku tak berani berharap. Ini terlalu menyakitkan. Dia tak menyukaiku. Bahkan ketika aku mencoba memperbaiki penampilanku, dia tak tertarik. Apa aku begitu buruk? Aku memang tidak cantik... Tidak menarik... Sky : Sudah aku bilang, jangan rendah diri Rhea. Kamu cantik, kamu istimewa. Kalau kamu memang masih ingin mempertahankan pernikahanmu yang masih sangat awal ini, kamu harus berjuang. Memang seharusnya kalian berjuang bersama. Tapi melihat karakter suami yang dingin begitu, mau tidak mau kamu harus memulai. Semoga saja ada tanggapan darinya. Rhea : Ya, aku tahu, aku harus berjuang meski sendiri. Aku masih harus berjuang menyembuhkan trauma dan menaikkan kepercayaan diriku. Aku masih harus berjuang membenahi diriku. Di saat yang sama aku harus berjuang dalam pernikahan ini. Sky : Aku yakin kamu kuat. Rhea : Sepertinya aku akan mencari pekerjaan. Aku bosan berada di apartemen terus meski aku bisa tetap menulis. Sky : Itu bagus, Rhea. Aku dukung. Kamu perlu belajar bersosialisasi. Jangan terus-menerus menarik diri dari pergaulan. Ini tak baik. Tunjukkan pada Gavin kalau kamu bisa mandiri dan tidak bergantung padanya. Rhea : Aku akan mencoba.   Rhea menyudahi chat-nya dengan Sky. Besok, ia akan mencoba mencari pekerjaan. Sebelumnya ia telah mencari informasi lowongan kerja. Gadis itu menarik selimut, menutupi tubuhnya. Ia memiringkan badannya, memunggungi sang suami yang juga memunggunginya. Meski tidur satu ranjang tapi ada jarak yang terbentang di antara mereka dan dibatasi oleh guling. Gavin penasaran juga apa Rhea sudah terpejam atau belum. Ia melirik Rhea. Ia menduga sang istri sudah tertidur. Gavin kembali memejamkan mata. ****** Gavin membuka notulen rapat kemarin. Dalam waktu dekat ini ada proyek rumah sakit dan hotel yang harus digarap. Belum lagi proyek perumahan peninggalan perusahaan Edwin sebelum diambil alih oleh ayahnya. Nama besar perusahaan Andre Angkasa semakin berkibar dan mengukuhkan diri menjadi perusahaan properti terbesar dan tersukses di Indonesia. Sejak terjun ke perusahaan sang ayah, Gavin memiliki ambisi tersendiri untuk mengembangkan perusahaan menjadi perusahaan nomor satu di Indonesia. Dering telepon mengagetkannya. Suara sang sekretaris terdengar merdu di ujung telepon. “Ada apa, Mir?” “Nona Gladisa memaksa ingin masuk, padahal sebentar lagi Bapak akan makan siang bersama Pak Wahyu.” “Suruh masuk saja.” Selang beberapa menit kemudian, sosok seksi berparas cantik melenggang dengan gaya berjalannya yang menarik perhatian sang direktur. “Hai, Gavin...” Gavin mengulas senyum, “Ada apa, Dis?” Gladisa duduk di meja, berhadapan dengan Gavin yang masih duduk di singgasananya. “Nanti malam temani aku clubbing... Aku ingin bersenang-senang.” Gladisa berbicara dengan rajukan manja. “Maaf, aku nggak bisa,” balas Gavin singkat. “Kenapa? Kemarin kamu ajak aku ke apartemen dan membalas ciumanku. Aku pikir kamu masih ingin bersenang-senang denganku.” Gladisa menajamkan matanya. Gavin mengembuskan napas pelan. “Kemarin aku sengaja memanasi Rhea. Aku pikir jika Rhea sering melihat tingkahku yang menyebalkan, dia akan ill-feel lalu menggugat cerai.” Gavin bicara setenang mungkin seakan ciumannya dan Gladisa tidak berarti apa-apa untuknya. Dan memang sama sekali tak berarti untuknya. Gladisa melongo. Dalam hatinya ia mengumpat. Ia pikir Gavin sudah sedikit membuka hati untuknya. Ternyata dia hanya dimanfaatkan. Sejak Gavin putus cinta dengan Sandra, pria itu seakan menutup hati untuk siapapun. “Kenapa bukan kamu saja yang menceraikannya? Kenapa harus menunggu dia yang menggugat cerai?” Gladisa menaikkan intonasi suaranya. “Karena aku harus menjaga nama baikku dan keluarga, Dis. Aku juga tak mau Papa marah. Bagi Papa, nama baik keluarga dan perusahaan adalah segalanya. Menjaga image yang baik itu penting. Aku nggak bisa gegabah mengambil keputusan.” Gavin menegaskan kata-katanya. Dering ponsel mengagetkannya. Gavin menggeser layar. Ada panggilan telepon dari Farel, teman dekatnya semasa kuliah. “Ada apa, bro?” tanya Gavin tanpa basa-basi. “Rhealita itu istrimu, bukan? Kemarin waktu aku datang ke pernikahanmu, aku nggak begitu paham wajah istrimu. Tapi rada ingat juga. Waktu aku baca curiculum vitae dan melihat fotonya, aku yakin dia Rhea istrimu.” “Cuirculum vitae? Rhealita  kirim curiculum vitae ke kamu dalam rangka apa? Melamar pekerjaan?” “Iyalah, mau apa lagi? Makanya aku kaget waktu baca berkas-berkas lamaran plus lihat fotonya. Masa iya istri bos besar melamar jadi admin di sini.” Gavin menggeleng dan kesal dengan ulah Rhea yang diam-diam melamar pekerjaan tanpa sepengetahuannya. Ini sama saja pelecehan dan pencemaran nama baik. Orang akan mengira bahwa dia tak becus mengurus istri dan tak menjamin kehidupannya. “Jangan terima dia. Aku sebenarnya sudah melarangnya untuk bekerja. Tanpa bekerja, dia sudah mendapatkan banyak dariku.” “Baik, Gav. Aku nggak akan menerima.” “Terima kasih banyak, bro.” Gavin masih saja kesal. Ia ingin segera pulang dan mencecar sang istri agar tidak gegabah dalam mengambil tindakan dan harus meminta izin padanya dalam setiap pengambilan keputusan. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN