Pertemuan Awkward

1108 Kata
Nadin menatap kepergian anak tadi, dia sedikit kesal tapi tak bisa banyak komentar. Toh apa yang anak itu ucapkan ada benarnya juga, walaupun dia mencoba menutupi kantung di bawah mata tetap saja gagal, dia malah semakin terlihat tua dan kusam. Wanita dengan blazer hitam itu segera berjalan menuju ruang meeting. Di sana sudah ada Anto—direktur perusahaan—dan rekan kerjanya yang lain, meeting belum dimulai tapi tetap saja dia merasa tidak enak hati. Nadin meletakkan laptop dan berkasnya ke meja kemudian mengucapkan kata maaf. "Tidak apa-apa Nadin, wajar terlambat, saya tahu jalanan pasti macet," sahut Anto bijak, dia tidak ingin menekan karyawan untuk tampil sempurna. "Terima kasih atas pengertiannya, Pak." Nadin membungkukkan badan lalu menjatuhkan p****t ke kursi. Meeting tak kunjung mulai padahal sudah lewat dua puluh lima menit, ada apa ini? Nadin memberanikan diri bertanya sebab wajah para rekannya seolah memintanya. Wanita itu berdiri sopan. "Maaf Pak, ini sudah lewat jamnya, apa ada yang kurang?" Nadin berujar sesopan mungkin. Anto mengangguk, "Benar, ada yang kurang, entah ke mana bocah tengil itu perginya." Wajah paruh baya itu terlihat jelas tengah menahan kesal. "Bocah tengil?" Bisik-bisik terdengar, Nadin tak lagi berbicara dan kembali duduk menunggu si bocah tengil yang dimaksud. Namun, sudah sepuluh menit waktu tambahan diberi, yang ditunggu tak kunjung datang. Orang di dalam ruangan sudah grasak grusuk kebingungan, bisa lama selesainya kalau begini terus. Tiba-tiba Nadin merasa sudah sampai masanya. Iya, dia kebelet pipis. Nadin mengurut pelipis sambil menyilang kaki menahan rasa ingin buang air kecilnya, dua menatap langit-langit gelisah. 'Timingnya jangan sekarang dong, gak etis banget kalo pipis di sini,' batin Nadin menggigit bibir bawah gusar. Mau tak mau dia buka suara juga, "Maaf Pak apa masih lama?" "Entahlah saya juga kurang tahu, anaknya entah ke mana, pusing saya." Anto duduk ke kursinya gelisah, padahal hari ini dia ingin Iyan melihat suasana kantor sekaligus mengenalkan anaknya itu ke para pekerja. "Maaf kalau keluar jalur, Pak. Saya kebelet pengen pipis dulu." Nadin bangkit setelah mendapat anggukan Anto. "Silakan." Anto menujuk pintu keluar. Secepat kilat Nadin melesat keluar ruangan menuju toilet. Saking ingin cepat sampai wanita itu rela melepas heelsnya dengan terburu-buru masuk ke toilet. "Akhirnya." Nadin tersenyum lega. Dia merapikan pakaian kemudian berjalan keluar menuju wastafel guna mencuci tangan, ada cermin besar yang tersedia di sana. Nadin mengelap tangannya menggunakan tissue, memoles lipstik di bibirnya yang lembab. Setelah dirasa perfect wanita itu beranjak keluar. 'Bruukk!' "Aduh!" "s**t!" Dua orang saling bertabrakan, yang satu ingin keluar dan yang satunya lagi ingin masuk. Untung pria itu masih sempat menahan Nadin agar tak mencium lantai putih. Mereka saling tatap sejenak kemudian buru-buru memutus kontak mata dan melepas pegangan di pinggang. "Lain kali jalan pake mata jangan pake jendul," tegur Nadin kesal, sekarang rambutnya pasti berantakan sekali. Pria dengan jas hitam itu melongos kesal, "Heh Tante, jelas-jelas kalo jalan pake kaki ngapain pake mata. Nilai pas SD berapa sih?" Nadin naik pitam, "Dasar ga tau sopan santun, mulut udah kayak cabe-cabean ngatain orang sembarangan." Nadin berkecak pinggang menatap pria di depannya dengan tatapan sengit. "Cabe jangan teriak cabe, Tan. Malu sama umur." Pria itu melongos pergi, membiarkan Nadin dengan wajah merah dan tangan terkepal seolah siap mematahkan leher dan tulangnya. Tante satu ini memang mengerikan. "Dasar bocah tengik!" umpat Nadin. Dia teringat meeting. Tak ada waktu mengejar dan memberi pelajaran lebih pada pria itu. Nadin hanya bisa berharap semoga pria itu diberi karma yang setimpal, dijatuhi t*i burung atau nabrak pintu misalnya. Nadin segera berlari kecil menuju ruang rapat, agak canggung rasanya tapi melihat tak ada yang peduli dengan tampilan kusutnya Nadin bisa bernapas lega. 'Setidaknya gak ada yang tahu aku kusam banget, dasar pria gila,' ucapnya membatin sembari mendengkus pelan. Seorang wanita di sebelah Nadin mencolek pahanya, Nadin menatap dengan mata menyorot seolah menanyakan kenapa. "Kamu tahu siapa yang dimaksud Pak Anto?" bisiknya berusaha tak terlihat Anto, takutnya nanti ditegur lagi. Nadin menggelengkan kepalanya, "Mana aku tahu, Pak Anto tidak berbicara atau mengungkit soal meeting ini sejak semalam." Wanita yang biasa disapa Era itu mengernyit keheranan. Dia menunduk lagi berbisik di telinga Nadin. "Kamu sudah tahu rumor pengganti Pak Anto?" Nadin mengangguk. "Apa Pak Anto ingin memperkenalkan kita kepada penerusnya?" duga Era, bibirnya monyong sambil berpikir membuat Nadin mau tak mau menyenggol bahunya agar kembali menormalkan ekspresi. "Baik anak tengilnya sudah datang, kalian semua diharapkan berdiri." Instruksi Anto membuat semua penghuni ruangan berdiri tak terkecuali Nadin yang memasang wajah penasaran. Kira-kira siapa yang dimaksud direkturnya ini. "Berikan tepuk tangan untuk putra saya, Alfiyan Antowijaya." Tepuk tangan meriah menyambut kedatangan Iyan. Pria tampan itu masuk dengan gaya arogannya, wajah songong membuat hasrat ingin menempeleng naik beribu-ribu persen, iya, yang mau menempeleng wajah tampan itu Nadin. Wanita itu menganga tak percaya sedari tadi. "Huft, makhluk jadi-jadian ini rupanya," dengkusnya pelan. Nadin mengalihkan pandang sambil bertepuk tangan rada tidak ikhlas. Bagaimana tidak, Iyan adalah pria yang ia tabrak di depan toilet tadi. Mana wajahnya songong lagi, rasanya Nadin ingin melempar heelsnya ke wajah Iyan. "Silakan kalian memperkenalkan diri satu per satu." Anto memberi intruksi lagi. Orang-orang mulai menyebutkan nama dan jabatan sekaligus kata penyambutan untuk kehadiran Iyan di kantor ini. Jelas sekali mereka tengah mencari muka, Nadin berdecih kesal melihat wanita sebaya dengannya tengah merangkai kata yang pas untuk Iyan supaya terkesan ramah tamah. Tiba giliran Nadin. Memasang wajah flat ia memperkenalkan diri. Iyan tampak terus memerhatikannya sambil tersenyum misterius. Nadin tak memberi kata sambutan, usai menyebut nama dan jabatan langsung diam menatap lurus ke mata elang Iyan. Jangan harap ada desiran halus di d**a masing-masing, mereka malah menatap sengit satu sama lain, menyiratkan permusuhan lewat delikan mata dan senyum miring. Nadin membuang pandang, wajahnya masam. Ingat tadi Iyan memanggilnya dengan sebutan tante, Nadin ingin mencakar wajah mulus itu. Usai perkenalan semuanya kembali tenang, duduk di kursi masing-masing menunggu untaian kalimat dari Iyan. "Terima kasih atas sambutannya, saya di sini berdiri sebagai pengganti Papa, mohon kerja samanya karena saya masih belajar, jika ada yang salah jangan sungkan untuk menegur. Saya tidak sepenuhnya memegang kantor, saya menjabat menjadi CEO sedangkan direktur utama tetap Papa." Iyan menjelaskan panjang, tidak ingin dikira sebagai pemimpin utama karena dia sendiri merasa tidak mampu mengelola semuanya. "Ah, iya. Untuk Tante di kursi situ, Papa secara khusus menempatkan Tante sebagai asisten pribadi saya. Iyakan, Pa?" Iyan menatap papanya meminta persetujuan, Anto mengangguk saja. Iyan berjalan menghampiri kursi Nadin, dengan senyum memikat ia mengulurkan tangan. "Semoga kita bisa bekerja sama ya, TANTE." Iya menggenggam erat tangan Nadin membuat si empu meringis. "Hmm, semoga kita menjadi rekan yang baik Pak Alfiyan Antowijaya." Nadin balas menusukkan kuku ibu jarinya ke punggung tangan Iyan. Orang melihat mereka sangat serasi. Nyatanya mereka tengah adu kekuatan tangan satu sama lain. Awkward sekali suasana ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN