Tante?
"Tentang perusahaan ini, papa rasa sudah tidak sanggup mengelolanya, Yan." Anto menatap penuh harap pada putra semata wayangnya yang asik bermain game.
"Lalu?" Pria tampan itu tak mengalihkan tatapan dari layar HP, dia seolah abai dengan apa yang papanya katakan.
"Papa ingin pensiun dan perusahaan diambil alih olehmu!" jelasnya lagi, kali ini disertai intonasi tinggi sebagai penegasan.
Iyan yang tadinya fokus ke layar HP pun tertegun, beralih menatap papanya gusar seolah tak terima dengan apa yang diperintahkan. Iyan sangat ceroboh dan sembrono jika disuruh mengatur perusahaan, usianya 22 tahun, cukup matang, tetapi tak seperti papanya yang ahli berbisnis, Iyan justru lebih ahli menghamburkan uang.
"Papa 'kan tau aku gak hebat berbisnis, suruh Mas Yoga aja," tolaknya kembali fokus ke layar HP.
Anto mengusap wajah kasar, "Papa tidak mungkin memberi perusahaan besar kepada lelaki seperti dia, abang iparmu itu boros, Yan."
Iyan memutar bola mata, "Pa, justru aku yang boros di sini."
Kepala dengan rambut yang sudah ditumbuhi uban itu menggeleng tegas, membetulkan jasnya yang tersingkap, lelaki itu berdiri, "Papa tidak menerima segala alasan yang kamu beri, yang papa ingin, perusahaan segera diambil alih olehmu."
Lelaki paruh baya yang sudah mendekati usia senja itu berlalu menuju dapur, mengabaikan gerutuan putra bungsunya. Iyan terlalu dimanja sampai keenakan pengangguran, sudah saatnya pria itu menggantikan sang papa sebagai direktur perusahaan.
"Papa fikir mengelola perusahaan itu enak, heh." Iyan merebahkan tubuh ke sofa, mengangkat dan menumpukan kaki kanan di atas kaki kiri, kembali fokus pada gamenya.
Iyan baru memasuki semester 5, kuliah kadang masuk kadang tidak, lebih sering nongkrong di tempat andalan saat bolos, ia juga jarang sekali mengikuti praktik. Mau jadi apa dia saat lulus nanti.
***
"Bokap lo nyuruh kerja?"
Iyan mengangguk, "Bingung gue, ditolak kasian, gak ditolak malah gue ntar yang ribet."
"Iya, sih, tapi ya, lo beruntung punya Bokap yang kaya raya, lah Bokap gue? Cuma pegawai kantor, di kantor Bokap lo pula kerjanya," keluh Zaid sedikit malu mengakui kerjaan papanya.
Iyan menggeleng. "Gue belum siap jadi tua mendadak, banyak masalah dan meeting yang pastinya bikin gue stres, belum lagi akhir-akhir ini tugas di kampus numpuk," tukasnya lelah, mengambil HP di saku kemudian mulai bermain game online.
"Harusnya lo ngerasa bersyukur, Bro. Belum lulus kuliah udah ada kerjaan, lah kita? Belum tentu lulus nanti dapat kerjaan, entah-entah malah jadi pengangguran," timpal Seno yang baru lolos dari mata kuliah dosen kiler.
"Kalian kagak bakal jadi pengangguran selama masih ada gue," cicit Iyan di sela bermain game.
Seno dan Zaid saling pandang kemudian mengangkat bahu bersamaan, jika mereka jadi Iyan, mungkin sudah diterima tawaran emas menjadi CEO perusahaan besar itu, tak lagi sibuk memikirkan kuliah, yang penting kerja.
"Eh, gue denger dari si Sela, Amanda nyariin lo," kabar Zaid sembari meminum teh es yang baru disediakan.
Iyan tertegun sejenak, mengingat sekilas kisah lama bersama Amanda, mantan kekasih yang kini lebih memilih pergi karena sifat acuhnya.
"Biarin ajalah," sahut Iyan tak ingin terlihat sebagai sad boy.
"Bu, teh es satu!" pesan Seno pada penjaga warung.
Ya, tempat tongkrongan mereka ialah warung kecil yang terletak tak jauh dari kampus, banyak hari mereka habiskan dengan bermain game atau mengobrol di warung itu.
"Lo masih cinta sama dia?" Zaid mengaduk mie goreng yang masih hangat, asapnya pun tampak mengepul meski terlihat samar.
"Cinta sih engga, cuma gue inget apa yang dia buat ke gue." Iyan tak mengalihkan fokusnya dari HP.
"Yah, sebenarnya itu semua bukan murni kesalahan si Amanda, lo juga salah di sini, terlalu cuek dan abai." Zaid duduk di meja membuatnya terlihat lebih tinggi dari Iyan yang duduk di kursi plastik kuning itu.
Iyan mendongak, "Maksud lo?"
"Nih ya, Bro. Cewek itu manusia paling lemah lembut di muka bumi kalau ketemu sama pasangan, mereka selalu ingin tampil sempurna di depan kita-kita kaum Adam, mereka ingin selalu dimengerti, disayang, dimanja, diromantisin, bukannya ditinggal main game," jelas Zaid yang lebih terdengar seperti ceramah.
Seno menaikkan satu alis, "Walau gimanapun juga, cewek itu makhluk egois."
Iyan dan Zaid menatap Seno bersamaan.
"Masa kangen aja ngajak berantem," lanjut Seno disertai desahan malas Zaid.
"Namanya juga cewek, gengsinya tinggi, Bro. Kita yang harus pandai bikin mereka nyaman," imbuh Zaid membenarkan anggapan Seno.
Di antara tiga pria tampan itu, Zaid lah yang paling bijak, selalu mengutamakan kenyamanan agar orang menetap di sisinya, andai ada banyak pria seperti Zaid, mungkin para wanita tak akan tersakiti.
"Eh, gue keknya cocok sama si Sela, adek lo No," kelakar Zaid membuat Seno menoleh cepat, siap menyemburkan teh es yang baru masuk dalam mulutnya.
"Sama gue aja," timpal Iyan yang kini kembali fokus pada teman-temannya.
Kali ini teh es dalam mulut Seno benar-benar tersembur keluar, dia menatap horor pada dua sohib sejatinya.
"Berani kalian deketin si Sela, patah kaki kalian," ancam Seno tegas, dia tak akan membiarkan Zaid maupun Iyan menyakiti adik tercinta.
"Yaelah, santai aja kali ah, jangan sensi begitu," sinis Zaid sembari mengaduk teh es milik Iyan yang belum disentuh.
"Gue pulang duluan ya, kelas juga udah bubar kayaknya," pamit Iyan sambil menyampirkan tas ke bahu, meninggalkan uang seratus ribu di meja kemudian pergi.
"Gue heran sama si Iyan, Bokap kaya nyuruh jadi pengusaha malah gak mau," lirih Zaid sembari menatap kepergian Iyan.
Seno ikut menatap teman sejati mereka sambil berujar, "Gue juga heran sama lo, udah 22 tahun tapi gak punya pacar juga."
"Semprul!" Zaid melemparkan garpu yang ada di piring mie yang sedari tadi dia abaikan.
***
"Katanya Kantor kita bakalan ganti pemimpin, apa bener?" tanya Zizi pada Aya yang baru saja kembali dari pantry.
Wanita berkemeja putih itu menggedikan bahu. "Aku gak tau, tapi kita liat aja nanti, eh, itu si Nadin, tanya ke dia aja," tunjuk Aya sembari melambai pada wanita berkemeja hitam dengan rok hitam ketat selutut.
"Nadin!" Zizi melambai Nadin yang berniat masuk ke lift.
"Ya?" Wanita itu urung memasuki lift, memutar arah mendekati deretan meja yang dihuni staff kantor.
"Ada Boss baru, ya?" Jiwa kekepoan Zizi meningkat pesat.
Alis Nadin bertaut, "Kata siapa?"
"Lah, kamu 'kan Asisten Direktur Anto, kok gak tau?" Aya mendengus gusar, dia jadi ikut-ikutan kepo.
Wanita berusia 25 tahun itu mengetuk dahi dengan telunjuk, "Nanti aku cari tau, kalau ada berita nanti kukasih tau lagi."
"Call me oke!"
"Yayaya!" Nadin memutar bola mata kemudian kembali melangkah, dia harus segera sampai ke lantai 3 guna mengikuti meeting dengan orang penting di sana.
Nadin mengeluarkan bedak dari dalam tasnya, membetulkan riasan yang mulai pudar terkena keringat, tak lupa memoles lipstik di bibirnya yang indah.
"Tunggu Tante!"
Hampir saja Nadin terjungkal mendengar panggilan dari anak kecil di luar lift, dia memberi tempat pada anak kecil itu seraya mengelus d**a yang mulai terasa sesak.
"Tante lihat Mama?" tanya anak itu polos.
"Ti–tidak."
"Ana mau ketemu Mama, Tante temenin ya." Dengan polosnya anak kecil itu tersenyum, tanpa dia sadari ada yang bergejolak dan siap meledak, apa? Hati!
'Apa aku sudah tua?' batin Nadin gusar.