Chapter 5

1318 Kata
Setelah pulang dari Bali, ternyata Anita benar-benar ingin memperkerjakan putrinya di perusahaan mereka. Bahkan kini Mia harus setiap hari datang ke kantor dan ditempatkan disalah satu divisi di kantor itu. Mia benar-benar dibuat stres oleh berbagai macam pekerjaan kantor yang selalu berhubungan dengan berkas-berkas, file dan laporan. Seperti saat ini, ia sedang menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya yang berada di atas meja merasa bosan. Berkali-kali ia mengetuk- ngetukkan pulpennya ke meja menghasilkan suara yang sukses memecahkan keheningan di ruangannya. Namun sesaat aktivitasnya harus terhenti saat mendengarkan ada sebuah pesan line masuk di ponselnya. Dengan malas Mia mengambil ponselnya dan membaca pesan yang sukses membuat Mia tersentak kaget seketika. Maaf aku baru baca dan balas pesan kamu, aku gak sempat cek line selama flight. Sekarang aku udah di rumah Mia menjerit senang saat mendapat balasan dari pesan yang dikirim Daffa. Tidak sia-sia setiap hari ia meneror Daffa dengan pesan-pesannya. Tangannya dengan cepat mengetik balasan pesan untuk Daffa. Kamu jahat! Aku ngeline kamu setiap hari, kamunya baru balas Mia menggigit jari-jarinya gugup menunggu balasan dari Daffa atas pesan bodoh yang ia kirim. Sepertinya untuk menghadapi Daffa yang cukup polos itu harus dengan sedikit agresif pikir Mia. Nanti aku kirimi tukang pijit ya, kamu kirim aja alamat kamu Balasan dari Daffa sukses membuat Mia mengerucutkan bibirnya kesal. Mia mengentak- entakkan kakinya kesal. Dengan masih kesal, Mia membalas kembali pesan dari Daffa. Gak usah! Udah gak sakit lagi. Sekarang yang sakit hati Mia kembali meletakkan ponselnya diatas meja. Namun sesaat kemudian kembali ada pesan masuk.  Sebenarnya Mia malas membacanya, takut kecewa dengan balasannya. Namun karena rasa penasarannya lebih besar, akhirnya Mia memutuskan untuk tetap membacanya. Kirimi alamat kamu sekarang dimana. Kita makan siang bareng ya. Maaf, jangan marah. Aku Cuma becanda “Aaaaaaaaaa.......” balasan terakhir dari Daffa itu sukses membuat Mia memekik girang. Ia sampai berdiri dari kursi kerjanya dan melompat-lompat. Tidak menyangka bahwa Daffa akan mengajaknya makan siang. Dengan cepat jari-jarinya mengetik balasan untuk Daffa dan memberi alamat kantor. Setelah pesan terkirim, Mia langsung bergegas ke toilet sebentar untuk merapikan dandanannya dan segera turun ke lobi untuk menunggu kedatangan Daffa. *** Daffa hanya mampu menggeleng sembari tersenyum melihat ponselnya, membaca kembali pesannya dengan Mia. Daffa yang selama ini sangat sibuk bekerja merasa cukup terhibur dengan kehadiran Mia. Bahkan Daffa sempat kaget saat baru saja sampai di Jakarta dan mendapati begitu banyak pesan dari Mia. “Senyum-senyum aja dari tadi,” tegur Ily yang sedari tadi memperhatikan putranya. “Bukan kenapa-kenapa kok Mom.” “Kamu mau makan siang pakai apa? Biar mommy masak in.” “Gak usah deh Mom, Daffa udah janji sama teman mau makan siang di luar. Daffa pergi dulu ya,” pamit Daffa. “Hati-hati yang Sayang,” balas Ily. Daffa mengangguk patuh kemudian mencium dahi Ily lembut dan bergegas pergi. Daffa langsung pergi menuju alamat yang diberikan oleh Mia. Audi hitam mengkilap miliknya berhenti di depan sebuah kantor. Daffa keluar dari mobilnya bermaksud untuk mencari Mia, namun baru saja ia akan masuk terlihat Mia yang berlari menghampirinya. “Udah  nunggu  lama  ya?”  tanya  Daffa  merasa  tidak  enak  karena  sepertinya  Mia  sudah menunggunya sejak tadi di lobi. “Gak papa kok, asal jangan sering-sering aja,” canda Mia yang membuat Daffa tertawa. Daffa pun membukakan pintu mobilnya untuk Mia agar mereka bisa segera pergi. Dengan bersemangat Mia memasuki mobil milik Daffa. Setelah itu Daffa langsung mengajak Mia ke salah satu restoran yang berada di Jakarta. Mia benar-benar merasa sangat antusias untuk makan siang kali ini. Selain makan, di restoran itu mereka saling bertukar cerita. Mia menceritakan pengalamannya saat ia kerja di Bali dan juga pekerjaan membosankannya selama ini di kantor, sementara Daffa menceritakan pengalamannya dalam penerbangan selama dua minggu ini. Sebenarnya percakapan kali ini didominasi oleh Mia yang sangat ingin banyak tau tentang Daffa. Baginya Daffa adalah pria yang menarik dan berbeda dari pria-prianya sebelumnya. Jadi begitu banyak cerita yang bisa diulas tentang Daffa. “Kalau kamu udah kerja dua minggu, liburnya berapa lama?” tanya Mia disela-sela obrolan mereka. “Sekarang  lagi  pakai  sistem  dua  minggu  on  dan  satu  minggu  off,”  balas  Daffa.  Mia mengangguk-anggukan kepalanya paham. “Makasih ya buat makan siangnya,” ucap Mia saat makanan mereka sudah habis. “Sama-sama,” balas Daffa diiringi senyumnya. “Besok kita makan apa lagi?” Daffa menautkan alisnya bingung, besok? Jadi ini bukan yang pertama dan terakhir? “Maaf ya, aku gak bisa sering-sering kayak gini. Mungkin sesekali boleh. Aku kan jarang di rumah karena harus selalu flight, jadi aku harus banyak ngabisin waktu bareng keluarga,” jelas Daffa yang sebenarnya merasa tidak enak, apalagi melihat ekspresi Mia yang tiba-tiba berubah sedih membuat ia menjadi tidak tega. Seperti inikah rasanya dekat dengan seorang? Selalu berada di posisi yang salah. Menolak salah, menerima juga salah. Sepertinya benar kalau pria selalu salah. “Tapi entar kalau aku ada waktu kita makan bareng lagi ya,” lanjut Daffa yang kini sukses mengembalikan senyum Mia. Mia langsung mengangguk bersemangat. Setelah makan siang, Daffa kembali mengantarkan Mia ke kantor karena sejak tadi Mia sudah berkali-kali ditelefon oleh sekretaris ibunya untuk kembali ke kantor. “Daff,” panggil Mia sebelum Daffa kembali masuk ke mobil setelah mengatar Mia. “Jangan susah dihubungi ya,” ucap Mia tiba-tiba. “Kalau aku bisa, pasti aku balas kok. Udah sana balik kerja,” balas Daffa pula. Mia mengangguk patuh kemudian berlalu masuk ke kantor. Setelah Mia benar-benar sudah masuk, Daffa langsung bergegas masuk ke mobilnya. Tujuannya sekarang adalah untuk menjemput kedua adiknya pulang dari sekolah. Di perjalanan pikiran Daffa tidak pernah lepas dari Mia. Apa Mia adalah jawaban dari penantiannya selama ini? Tapi kenapa gadis seperti Mia? Ya memang dia cantik, bahkan sangat cantik, namun sifatnya tidak seperti yang Daffa impikan selama ini. *** Dengan berjalan gontai Mia memasuki rumahnya. Ia merasakan lelah seharian berada di kantor meskipun sebenarnya tidak melakukan banyak hal. “Gimana kerjaannya hari ini?” baru saja satu kaki Mia menginjakkan satu anak tangga untuk ke kamarnya, suara Anita yang cukup mengagetkan karena tiba-tiba itu membuatnya berbalik melihat ibunya yang sudah mengganti setelan kantor dengan piama sedang berdiri dengan segelas s**u yang terlihat masih panas di tangannya. “Membosankan,” balas Mia jujur. “Salah sendiri belum kasih jawaban sama mama,” balas Anita cuek. Mia mencibir kesal. “Ma..... nanti dulu dong kerjanya masih mau senang-senang,” rengek Mia. “Mau senang-senang contohnya pergi sama cowok keluar kantor waktu jam kerja?” tanya Anita dengan nada menyindir kemudian berlalu dari Mia menuju ruang santai. Mia yang sadar arah pembicaraan ibunya langsung mengikuti Anita yang sudah duduk manis dengan majalah di tangannya. “Mama tau dari mana?” “Semua yang ada di kantor itu kerja sama mama. Wajar kalau ada yang lapor.” Mia mengangguk paham. Pasti ada yang melihat dan melaporkan pada ibunya tadi. “Siapa lagi tu cowok? Belum pernah lihat,” tanya Anita yang terlihat penasaran. Mia yang mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini langsung mengambil posisi duduk tepat di samping Anita. “Calon menantu Mama,” balas Mia diiringi tawanya. Anita yang mendengar balasan putrinya langsung mengalihkan pandangannya menatap Mia heran. Calon menantu? Yang benar saja. “Calon menantu? Tumben.” “Ih Mama... asal Mama tau ya, tu cowok pilot. Keren gak tuh punya menantu pilot. Mana ganteng banget lagi, terus baik banget, ngomongnya lembut. Ya ampun Ma, Mia mau deh nikah besok kalau sama dia.” Mia meletakkan kedua tangannya di pipi dengan tatapan menerawang. “Awwww...” Mia memekik saat Anita menjentik pelan dahi putrinya itu. “Ngayal aja kamu, mana mungkin dia mau sama kamu.”  “Mama bukannya dukung anaknya malah dijatuhi gitu.” “Semoga berhasil deh. Mama udah ngantuk, kamu tidur sana, besok kerja pagi,” ucap Anita kemudian berlalu ke kamarnya. Mia mencibir kesal melihat kepergian Anita. Namun tidak lama setelah itu ia kembali tersenyum saat mengingat Daffa. Ah ajaib sekali rasanya, hanya dengan membayangkan wajah Daffa lengkap dengan senyumannya ia bisa langsung senyum-senyum sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN