Warisan Luka
Langit Malaca baru saja meredup ketika ruang utama di kediaman keluarga Hadisaputra dipenuhi ketegangan. Aroma teh melati dan kayu gaharu menguar pelan, kontras dengan aura panas yang memancar dari kedua sosok yang duduk saling berhadapan.
Arkhana Mahardika Hadisaputra—pria tiga puluh tahun dengan jas abu-abu yang sempurna di tubuhnya, wajah dingin yang tak pernah menunjukkan ragu. CEO muda itu tengah bersandar di sofa, tatapannya tajam menusuk perempuan renta di hadapannya.
“Maaf, Eyang. Tapi aku tidak akan menikah hanya karena janji tua yang dibuat di masa lalu,” ujarnya, nada suaranya pelan namun berisi ketegasan yang tak bisa dibantah.
Eyang Gendis, perempuan tua yang dulu membesarkan Arkha dengan tangan besi namun hati lembut, tetap duduk tenang. Usianya boleh lanjut, tapi tatapannya masih tajam seperti dulu saat memimpin perusahaan di era kejayaannya.
“Kakekmu pernah berlutut di hadapan Kakek Tama, membawa nama baik keluarga ini, Arkha. Jangan samakan janjiku dengan dongeng masa lalu. Ini soal kehormatan,” ucap Eyang Gendis, meletakkan cangkirnya perlahan.
Arkha tertawa pendek, getir. “Kehormatan? Setelah semua yang keluarga Pratama lakukan pada Papa? Setelah Papa sakit hati dan usaha kita nyaris hancur karena keputusan sepihak dari Gunawan Pratama?”
“Justru karena itu, kita perlu menyambung hubungan ini kembali,” balas sang Eyang cepat. “Dendam itu sudah cukup lama jadi racun. Kita buang dendam itu dengan pernikahan.”
“Dengan menikahkanku? Dengan salah satu dari mereka?” Arkha mengangkat alis. “Yang mana? Anak Pak Gunawan yang manja itu? Atau keponakannya? Siapa pun dari keluarga Pratama tidak pantas berada di hidupku.”
Eyang Gendis menghela napas. Ia tahu cucunya keras. Tapi ia pun keras kepala.
“Nama Pratama dan Hadisaputra pernah berdiri bersama, Arkha. Di tanah ini, dua nama itu pernah membangun rumah-rumah besar, jembatan-jembatan bisnis, dan harapan. Aku ingin mengakhiri hidupku melihat kita kembali berdiri bersama, bukan saling menjatuhkan.”
Arkha berdiri, menatap jendela besar ke arah taman belakang. Sinar lampu taman menyinari wajahnya yang dingin.
“Aku tidak bisa pura-pura mencintai seseorang yang tak aku kenal, hanya karena alasan ‘keluarga’.”
“Kau tak harus mencintainya,” kata Eyang Gendis, berdiri dengan perlahan. “Kau hanya perlu menikahinya. Cinta itu urusan belakangan.”
“Dan jika aku menolak?” tanyanya tanpa menoleh.
Suara tongkat Eyang Gendis menghentak lantai marmer.
“Maka, kamu bisa pergi dari rumah ini. Dari perusahaan ini. Dari nama Hadisaputra.”
Keheningan turun seperti kabut tipis.
Arkha membalikkan badan, menatap neneknya dengan mata tajam. Tapi kali ini, ada sedikit gemetar yang tak bisa ia sembunyikan.
“Siapa namanya?”
Eyang Gendis tersenyum tipis. “Nadia Pratama. Anak perempuan dari Kakak Gunawan. Dia bukan seperti bayanganmu. Kau akan tahu saat waktunya tiba.”
Dan saat itu, Arkha tahu hidupnya tidak akan lagi jadi miliknya sepenuhnya.
***
Senja belum habis, tapi hati Almira sudah padam. Di ruang tamu rumah keluarga Pratama, segala persiapan menyambut lamaran Aldian Satrio terlihat megah. Hiasan bunga putih, kursi tamu berjajar rapi, dan kerabat mulai berdatangan. Namun, Almira Pratama duduk diam di kamarnya, menatap gaun berwarna lavender yang tergantung di balik pintu.
Aldian. Pria yang dulu ia cintai diam-diam sejak sekolah. Tampan, pintar, dan pewaris bisnis hotel ternama di Kota Dhaha. Tapi cinta itu sudah mati.
Bukan karena Aldian berubah secara fisik. Tapi karena Almira akhirnya melihat siapa dia sebenarnya, pria yang mencintai dirinya sendiri lebih dari siapa pun. Pria yang tidak lagi peduli pada mimpi-mimpi sederhana mereka dulu. Yang kini bicara cinta seperti kontrak, dan bicara tentang masa depan seperti grafik laba.
Almira menghela napas panjang, meraih cardigan dan menyelinap keluar lewat pintu samping. Tubuhnya dibawa oleh kenangan menuju taman belakang rumah kakek, tempat masa kecilnya dan sepupunya, Nadia, dulu sering bermain. Tempat aman, tempat sunyi, tempat di mana ia bisa bernapas tanpa tata krama keluarga besar.
Namun taman itu malam ini tidak sepi.
Almira membeku di balik semak mawar, menyaksikan Nadia Larasati—sepupu kesayangannya, sedang berciuman dengan seorang pria muda, mengenakan seragam sopir keluarga.
“Nadia?” panggil Almira pelan.
Nadia sontak mendorong pria itu dan menoleh panik. Wajahnya memucat, bibirnya gemetar.
“Almira. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan...”
“Aku tidak berpikir apa-apa,” jawab Almira datar. “Tapi kamu seharusnya ada di rumah Kakek Tama malam ini. Acara pertemuan keluarga, kan?”
Nadia menunduk. Air mata mulai menggenang. “Aku tidak bisa, Mir... Aku tidak bisa menikah dengan pria itu...”
Almira mengernyit. “Pria mana?”
Nadia menghapus air matanya. “Arkhana Hadisaputra.”
Almira tercekat.
Nama itu bukan nama asing. Hadisaputra Group adalah raksasa bisnis yang pernah bersaing dan berseteru dengan keluarga mereka. Almira tahu hubungan keluarga Hadisaputra dan Pratama tidak pernah baik, dan rumor perjodohan antara Nadia dan Arkhana terdengar seperti mimpi buruk.
“Aku mencintai Rio,” kata Nadia lirih, menatap pria yang kini berdiri gugup di sisi taman. “Dia sopir. Tapi dia pria yang membuatku hidup. Sementara Arkhana, dia hanya lelaki dingin, yang bahkan tidak mau menatapku waktu dikenalkan pertama kali.”
Almira mendekat dan menggenggam tangan Nadia.
“Kamu sudah bicara sama Kakek?”
Nadia menggeleng. “Kalau aku menolak, Papa pasti marah. Dia butuh penyelamat untuk menyelamatkan bisnisnya yang hampir runtuh. Dan Arkhana, mereka bilang dia solusi.”
Almira menelan ludah. Dunia mereka tidak pernah benar-benar bebas. Mereka adalah anak-anak dari keluarga besar yang menjadikan mereka alat tawar.
“Aku... mungkin akan kabur malam ini,” bisik Nadia. “Pergi dengan Rio. Nikah diam-diam di luar kota. Aku nggak bisa, Mira.”
Almira terpaku. Ini terlalu cepat. Terlalu berisiko.
Namun jauh di dalam dirinya, suara lain berbisik. Jika Nadia pergi… maka hanya dirinya yang tersisa sebagai cucu perempuan keluarga Pratama.
Dan jika Hadisaputra masih menginginkan pernikahan itu… bisa jadi dia yang akan dijadikan pengganti.
Rumah tua milik Tama Pratama tampak lengang malam itu. Sisa-sisa lampu temaram menggantung di pekarangan, berayun lembut diterpa angin malam. Dari luar, rumah itu terlihat tenang, tapi di dalamnya, sebuah percakapan perlahan membuka luka lama yang telah terkubur puluhan tahun.
Almira dan Nadia duduk berdua di ruang keluarga, sementara Kakek Tama, pria tua yang masih tampak gagah meski rambutnya telah seluruhnya putih, memandangi cucu-cucunya dari balik kursi goyang.
"Apa kalian pikir perjodohan ini hanya karena aku ingin mengulang masa lalu?" tanya Kakek Tama tiba-tiba. Suaranya serak, namun tenang. Penuh beban.
Almira dan Nadia saling pandang. Tak satu pun dari mereka menjawab.
Kakek Tama meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati. "Dulu, aku dan kakek dari Arkhana, Hadi Saputra, pernah bersumpah bahwa saat keluarga kita berhasil berdiri kokoh, kami akan menyatukan darah dua sahabat lewat cucu-cucu kami."
Nadia menunduk. "Tapi kenapa harus aku, Kek? Kenapa tidak Almira?"
Diam sesaat. Lalu pandangan tua itu menatap Almira. Ada sesuatu yang hangat dan getir di balik tatapannya.
"Karena dulu... memang Almira yang direncanakan."
Almira terkejut. "Apa?"
Kakek Tama mengangguk pelan. "Pernikahan antara keluarga Pratama dan Hadisaputra seharusnya terjadi lewat kamu, Almira. Tapi waktu itu, saat rencana ini disampaikan, ayah Nadia, pamanmu mengajukan diri. Dia tahu perusahaan Hadi Saputra Group sedang bermasalah karena serangan saham. Dia pikir... pernikahan dengan Nadia bisa menjadi penyelamat. Aku... tak sempat menolak."
Almira mengepalkan tangan di pangkuan. "Dan sekarang semua berantakan."
"Arkhana menolak pernikahan itu," sambung Nadia lirih. "Dia bilang perjanjian itu konyol. Dia tidak mau menikahiku."
Kakek Tama tersenyum miris. "Dia memang tidak tahu keseluruhan cerita."
Lalu pria tua itu berdiri dengan perlahan. Langkahnya pelan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang, tempat masa kecil Almira dan Nadia dulu bermain kejar-kejaran.
"Hardi Saputra, ayah Arkhana, pernah ditolong olehku. Tapi karena salah paham bisnis. dia mengira aku yang membuat perusahaannya jatuh. Sejak itu, hubungan kami retak. Namun sebelum meninggal, dia menitipkan satu pesan kepada anaknya, agar tetap menjaga ikatan keluarga. Aku hanya berusaha menepati bagian janjiku."
Sunyi menggantung di antara mereka.
"Aku tahu perjodohan ini sulit... Tapi kalian harus tahu, hidup keluarga besar seperti kita ini tak pernah bebas. Terkadang... demi nama baik, seseorang harus mengorbankan hatinya."
Almira menggigit bibir. Di dalam dirinya berkecamuk banyak hal amarah, kecewa, namun juga rasa tanggung jawab yang ia benci karena terasa... benar.
"Aku akan bicara dengan Eyang Gendis," ujar Kakek Tama tiba-tiba. "Jika Nadia benar-benar tidak bisa dan kamu, Almira, bersedia, maka kamu yang akan menggantikannya."
Nadia tersentak. "Tidak! Almira tidak boleh dikorbankan!"
Tapi Almira tak berkata apa-apa. Wajahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan badai.
Dalam hatinya, dia tahu. Jika ini adalah takdir yang harus dia jalani untuk melindungi orang yang ia cintai, maka ia akan melakukannya. Sekalipun itu berarti menyerahkan dirinya pada pria yang membenci keluarganya dan mungkin akan menghancurkannya perlahan.