Mawar Borneo
Mawar Borneo
Hentakan suara musik mengalun memekakkan gendang telinga. Hampir semua orang baik lelaki dan perempuan berbaur tanpa etika. Belum lagi bau minuman beralkohol yang mengganggu indera penciuman.
Seorang pemuda terlihat muak karena harus berada di tempat ini. Kalau bukan karena urusan pekerjaan malas sekali rasanya, dia menginjakkan kaki di tempat maksiat seperti sekarang.
“Oke Pak Toro, kita sepakat dengan kerjasama kita, ‘kan?” ucap seorang pria berusia tiga puluh lima tahunan. Feri namanya.
“Saya sepakat. Pokoknya masalah pembukaan perkebunan baru, beres. Anda tinggal tunggu kabar baik dari saya,” ucap Pak Toro. Keduanya bersalaman. Setelah itu, Pak Toro menghampiri beberapa wanita penghibur dan asik bermain dengan mereka.
Huh, dasar bos-bos perut gendut doyan perempuan! umpat Bagas dalam hati.
Feri heran dengan raut muka Bagas. “Kamu kenapa Gas? Kecut amat mukanya?” Feri memecah kebisuan diantara mereka.
“Kenapa sih Bang, harus ketemuan di tempat kayak gini? Kenapa gak di cafe atau restoran aja?”
“Hahaha. Kamu ini ya, udah lima tahun kerja di sini, gak tahu aja kelakuan bos-bos besar. Ya kayak gitu. Pak Toro contohnya.”
“Besok-besok Bang Feri jangan ajak aku. Ajak aja orang lain. Pokoknya aku gak mau ikut lagi.”
“Ah, sok suci kau Gas. Kelamaan gaul sama para ASN sok suci jadi kamu ikut-ikutan sok suci.”
“Aku gak sok suci, Bang. Gak suka aja, aku ke tempat kayak gini. Dan jangan bawa temen-temen kontrakanku, Bang. Aku malah senang gaul sama mereka. Mereka itu gak banyak ulah.” Memang semua teman kontrakan Bagas adalah ASN. Ricky guru SMA, Hasan di departemen pertanian, Zidan perawat di sebuah puskesmas sedangkan Mateo di dinas ketenagakerjaan.
“Hahaha. Terserah kamu lah, Gas. Pokoknya kita di sini dulu sampai Pak Toro pergi.”
“Astaga Bang, Pak Toro aja udah sibuk sendiri noh di sana, ngapain ditungguin? Kayak kita kurang kerjaan aja,” sewot Bagas.
“Pokoknya kita tunggu sampai beliau keluar!” tegas Feri.
Bagas hanya bisa menekuk wajahnya. Tak berselang lama, tampaklah seorang wanita cantik dengan rambut sebahu bergelombang, menggunakan gaun panjang sexy yang menampakkan bahu mulusnya. Bahkan terdapat salah satu belahan gaun sampai ke paha kanan wanita tersebut. Jangan lupakan bibir tipis namun menggoda yang terpoles lipstik warna merah. Wanita itu berjalan dengan anggun.
Sang biduan naik ke atas panggung, dia menarik napas kemudian mulai memperdengarkan suara emasnya. Suaranya begitu indah dan mempesona. Hampir semua lelaki yang memandangnya akan berkata kalau dia sangat cantik pun demikian dengan Bagas. Bagas sering berjumpa dengan wanita cantik tapi entah kenapa wanita ini sangat cantik. Bahkan Seruni saja yang menurut Bagas cantik, kalah cantik dengan sang biduan. Mau tak mau Bagas terhanyut oleh suara merdunya sedang matanya tertawan akan paras cantiknya. Hingga tak mampu berkedip sekalipun.
“Primadona sini itu.” Seorang pria yang duduk tak jauh dari Bagas berbicara.
“Mawar namanya. Cantik ya,” sahut temannya.
“Wah. Aku mau kenalan ah.”
“Jangan mimpi kamu, dia itu kelasnya bos-bos besar bukan kacung macam kita.”
“Ah. Sialan!” makinya.
Bagas hanya mendengarkan saja tanpa berniat ingin tahu lebih lanjut. Tapi tatapannya masih tertuju pada sang Mawar yang menjadi primadona di club bernama ‘Borneo Rasta’.
“Ternyata pria sok alim ada di sini juga,” sinis suara perempuan. Nana begitu cemburu karena melihat Bagas tengah menatap sang biduan dengan tatapan terpesona. Sedang pada dirinya Bagas selalu menatapnya dingin.
Bagas tak mau menggubris wanita yang malam ini berbaju kurang bahan yang bahkan mengekspos d**a dan pahanya. Matanya justru terus memandang ke arah panggung dan tak pernah lepas dari sang biduan.
“Ckckck. Munafik kamu, Gas.”
“Lalu kamu apa, hem? Kalau aku munafik kamu sendiri apa?”
“Kamu ...!” Nana mulai tersulut emosi.
“Beb. Kamu disini rupanya.” Seorang laki-laki menghampiri Nana. Bahkan tanpa malu mencium pipinya.
“Halo Beb. Aku udah nunggu kamu,” ucap seorang lelaki berperawakan tinggi besar.
“Hai Beb, iya aku nunggu kamu. Yuk ah kita ke sana aja.” Ajak Nana sambil memeluk mesra pinggang teman lelakinya. Tak lupa memandang sinis ke arah Bagas.
“Dasar cewek gak bener!” umpat Bagas begitu Nana sudah tak terlihat.
***
“Ayolah Sayang, pergi sama saya ya? Kamu mau apa pun, aku kasih.”
Nampak seorang bos besar tengah mencoba merayu sang biduan. Dan kegiatan mereka terekam oleh Bagas yang tengah berjalan menuju mobilnya.
“Maaf Pak Sanjaya tapi hari ini saya sibuk. Bapak tenang saja hubungi saya lagi kapan-kapan. Oke,” ucap sang biduan dengan genit.
“Baiklah demi kamu Sayang,” ucap Pak Sanjaya sambil mengecup tangan sang biduan. Kemudian Pak Sanjaya berlalu menuju ke dalam club. Sedang raut muka sang biduan yang awalnya tersenyum manis langsung berubah sinis.
“Dasar tua bangka gila!” umpatnya pelan.
Sang biduan langsung bergegas ke mobilnya. Bahkan dengan sedikit berlari tanpa melihat dari arah samping kanannya Bagas sedang berjalan dengan menunduk. Mereka akhirnya bertabrakan.
“Aw ... punya mata gak sih?!” umpat sang wanita, kasar.
“Situ yang gak punya mata.” Bagas menjawab dengan tak kalah kasar. Kedua manusia berlainan jenis itu saling menatap, tetapi keduanya terdiam karena saling terpesona satu sama lain.
Tampan. Mirip Lee Min Ho. Batin sang wanita merasakan kekaguman pada sang pria. Sang pria pun tak kalah terpesona pada wanita di depannya, cantik mirip Song Hye Kyoo, sexy lagi. Cukup lama mereka terdiam saling mengagumi dalam hati.
“Minggir!” Akhirnya sang wanita tersadar, dia mencoba menutupi kekagumannya dengan berkata kasar.
“Jalanan lebar. Kamu cukup geser bisa, ‘kan?” Bagas tak kalah bersikap kasar.
“Kenapa gak kamu aja yang geser?”
“Kenapa bukan kamu saja.”
“s**t. Minggir, aku sibuk! Cepat geser biar kita gak tubrukan lagi.”
“Dasar gak punya etika. Sok cantik. Gak minta maaf lagi, udah tahu situ yang nabrak saya.”
“Emang aku cantik. Semua orang juga tahu. Dan ngapain minta maaf, orang kamu juga salah. Jalan kok lihatnya ke bawah.” Sang biduan tak mau kalah.
“Ada apa. Mawar?” Seorang pria lemah gemulai mendekat ke arahnya.
“Gak papa Bang. Udah yuk pulang,” ajak Mawar.
“Oke Cin. Eh, ada abang ganteng. Boleh kenalan gak?”
Iwan nama pria itu. Ia langsung mendekati Bagas dan menoel dagunya. Bagas tentu saja shock dibuatnya.
“Jangan pegang-pegang!” bentak Bagas.
“Eleh-eleh si abang. Udah cakep, sangar lagi. Tipe aku banget,” ucap si lemah gemulai, Iwan.
“Najis!” umpat Bagas.
“Hahaha. Udahlah Bang, pulang yuk. Ngapain Abang main-main sama tuh cowok. Palingan serdadunya juga cepet KO.”
“Eh, kamu! Bilang apa kamu? Dasar cewek murahan!”
“Aku emang murahan. Kenapa emangnya? Situ pengin nyoba main sama aku? Oke, tapi tarifku mahal.”
“Cih! Jijik aku. Mending aku kelon sama kambing daripada sama kamu.”
“b******k kamu!” Mawar mulai emosi.
“Apa?!” Bagas tak kalah emosi.
Kedua orang itu masih adu mulut di parkiran.
“Oke stop-stop. Udah yuk Cin kita pulang aja. Dah ganteng.” Iwan mencubit gemas perut Bagas.
Bagas melotot marah sekaligus jijik. Dalam hati Bagas berjanji tidak akan mengunjungi tempat ini lagi dan semoga tidak ketemu dengan cewek itu lagi.
*****