Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Angin berdesir lewat sela jendela tua, menimbulkan suara gesekan halus yang mengalun seperti bisikan pelan. Vila tempat mereka tinggal untuk proyek tujuh hari itu memang cukup cantik di siang hari walau tetap saja terasa horornya. Tapi begitu malam turun, nuansa gothic-nya mulai terasa, dinding bata ekspos, kayu lapuk, dan jendela besar yang menghadap hutan sunyi.
Nara berdiri di depan cermin kamar, mengenakan piyama bermotif stroberi dan hoodie tebal, sambil menggerutu pelan seperti mantra.
“Kerja bareng Galen. Tujuh hari. Sendirian. Di vila tua. Siapa yang bikin ide i***t kayak gini... Reyna dan ide out of the box-nya. Biar kalian bonding, katanya. Yang ada, aku bonding sama semangat gentayangan dari masa lalu!”
Ia menarik hoodie hingga menutupi kepalanya, lalu mendengus. Baru saja hendak naik ke tempat tidur, tiba-tiba...
TOK TOK TOK.
Ketukan pelan dari arah loteng membuatnya membeku di tempat.
Matanya melirik ke atas. Nafasnya tertahan.
TOK. TOK.
Lagi.
Bukan suara kayu mengembang. Bukan derit acak khas rumah tua. Itu—ketukan. Benar-benar suara ketukan yang nyata. Nara tidak salah dengar.
Dan kemudian, suara gesekan. Seperti... seseorang menyeret sesuatu. Berat. Panjang. Perlahan.
Nara dengan cekatan meraih selimut dan membungkus tubuhnya seperti burrito yang ketakutan. Ia melangkah cepat ke luar kamar, nyaris menabrak dinding saat kakinya terpeleset sedikit di lantai kayu.
Ia mengetuk pintu kamar Galen sambil berbisik cepat, “Buka, buka, buka! Galen! Galen!”
Pintu terbuka perlahan. Galen muncul dengan rambut kusut dan mata setengah terbuka, mengenakan kaos berwarna abu-abu dan celana training. Ia menatap Nara yang berdiri seperti anak kucing basah sambil menggenggam selimut erat-erat.
“Kamu kenapa—”
“Ada suara aneh dari loteng! Aku serius! Kayak... langkah kaki dan... suara geser! Aku dengar jelas banget!”
Galen menatapnya sejenak, lalu menguap. “Nara. Itu pasti suara kayu tua atau tikus.”
“Tikus pakai sepatu Doc Mart?” Nara menatapnya penuh horor. “Langkahnya berat, Galen. Dan... itu gesekannya kayak lemari yang diseret.”
“Lemari enggak punya kaki, Nara.”
“Ya makanya serem! Galen!”
Dia meraih lengan baju Galen, matanya masih melebar. “Kalau kamu cowok, temenin aku cek ke atas.”
Galen memandangi tangannya sendiri yang kini dijadikan jaminan hidup. Ia mendesah. “Kalau aku cowok, aku akan tidur nyenyak. Tapi karena kamu dramatis dan Reyna bakal bunuh aku kalau kamu trauma lalu kabur besok pagi... ya sudah.”
Ia mengambil ponsel dan menyalakan senter. “Ayo, si detektif horor. Kita cari tahu siapa yang menyeret lemari jam sebelas malam kayak gini.”
Tangga kecil menuju loteng ada di ujung lorong. Saat Galen menarik tali pintu lipat ke bawah, suara gesek kayu yang berat membuat mereka saling pandang.
“Kenapa suaranya kayak masuk neraka?” bisik Nara.
“Karena kita naik ke tempat yang nggak ada Wi-Fi.”
Langit-langit rendah. Debu di mana-mana. Udara dingin yang menusuk, padahal tidak ada jendela terbuka. Nara menggigit bibir, melangkah di belakang Galen sambil menyorot ke setiap sudut.
Lalu... sesuatu berderit.
Mereka spontan berhenti.
Senter Galen menyorot ke kanan. Kosong.
Di pojok ruangan, ada rak tua, beberapa kotak kayu yang tertutup debu, dan sebuah bingkai foto yang tergeletak miring di lantai.
Galen mengambil bingkai itu, meniup debunya. Di dalamnya, foto pasangan tua berpakaian formal, berdiri kaku seperti karakter film hitam-putih. Senyum mereka terlalu tipis. Terlalu kosong.
“Mungkin penghuni lama vila ini,” katanya ringan.
Nara menatap lama ke arah wanita dalam foto itu. Matanya lebar. Tatapannya tajam—bukan menyeramkan, tapi intens. Seolah sedang memperhatikan. Memeriksa.
“Galen,” bisik Nara. “Tempat ini... aneh.”
Galen meletakkan foto itu kembali ke meja. “Anehnya cuma satu hal, Nara.”
“Apa?”
“Kita. Satu vila. Selama tujuh hari. Dan kita belum saling bunuh sejak menit pertama pun sudah suatu kebanggaan.”
Dia menoleh. Bibirnya melengkung.
Untuk pertama kalinya, Nara tertawa. Tawa gugup, tapi sungguh-sungguh. “Kita belum saling bunuh karena kamu belum nyuruh tokoh utama naskahku mati di bab satu.”
Galen pura-pura berpikir. “Hmm. Kalau tokohnya terinspirasi dari kamu, mungkin aku akan pertimbangkan untuk ngebom plotnya.”
Nara memukul lengannya pelan. “Kurang ajar!”
“Aku jujur.”
Mereka saling pandang sebentar. Senter masih menyala. Loteng masih sunyi. Tapi untuk sesaat... sunyi itu tidak menakutkan.
“Ayo turun,” ujar Galen akhirnya. “Atau kamu mau tidur bareng foto nenek misterius itu?”
“Ha. Ha. Lucu.”
Saat mereka menuruni tangga, Nara berbisik pelan, “Tapi serius, kamu nggak ngerasa hawa dingin di atas tadi aneh?”
“Aku lebih ngerasa aneh kenapa kamu pakai piyama stroberi dan hoodie. Estetika horor anak-anak banget.”
Nara sontak mendengus. “Setidaknya aku nggak tidur pakai kaos yang bertuliskan I’m Editing, Don’t Talk to Me.”
“Eh, itu limited edition.”
Sesampainya di lorong, Nara menatap ke arah tangga loteng yang perlahan tertutup kembali. Senter dimatikan. Malam kembali sunyi. Tapi... tidak mencekam lagi.
“Thanks ya,” katanya pelan. “Udah mau nemenin.”
Galen meliriknya. “Aku lebih takut kamu nulis review jelek tentang aku di i********: daripada suara hantu.”
Nara menyeringai. “Oh, udah masuk draft kok.”
Dia berjalan kembali ke kamar, membuka pintu, lalu menoleh sekali lagi. “Selamat malam, Galen.”
“Selamat tidur, Detektif Stroberi.”
Pintu tertutup pelan. Galen berdiri sebentar di lorong, menatap langit-langit vila tua itu. Lalu menghela napas.
Saat hendak melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri, tiba-tiba saja Nara kembali memanggilnya.
“Galen!”
Sang pemilik nama tentu menoleh, bahkan berdiri di ambang pintu kamarnya sambil mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa lagi Nar—”
“Ayo tukeran kamar!”