Bab 1

1677 Kata
“GALEN!!” Suara teriakan dari seorang wanita yang diketahui bernama Nara Kirana, menggema lebih keras dari pengumuman gate. Orang-orang di sekitarnya sampai menoleh. Beberapa sudah siap-siap mengabadikan adegan ini dengan kamera ponselnya. Galen, yang sudah menenteng koper dan hampir masuk ke pemeriksaan tiket, menoleh dengan kaget. Apalagi ketika Nara nekat nyelonong ke depan petugas, matanya tampak memerah, wajahnya berantakan. Tapi mulutnya gemetar menahan semua yang sudah dia pendam. “Kamu tuh jahat banget, Galen… pergi gitu aja… tanpa pamit… tanpa nunggu aku ngomong…” Nara terisak. Pria itu—Galen, tampak kebingungan. “Nara, kamu kena—” “AKU SUKA SAMA KAMU, GALEN!” seru Nara menyela, dan berteriak. “Aku suka kamu! Aku suka banget! Dari mulai kita ngerjain naskah bareng di Vila aneh selama tujuh hari! Dari sejak kamu nyoret bab satu naskah aku sampai kamu bilang karakterku lebay tapi potensial! Dari sejak kamu bawain aku kopi sachet murahan karena katanya kopi mahal bikin otak tumpul! Dari sejak kamu duduk di samping aku, nyoret naskah, tapi diam-diam kamu juga nyoret hatiku!” “Nara—” “Jangan pergi! Jangan pindah ke Eropa! Aku belum siap kehilangan kamu, bahkan sebelum kita memulai apapun!” Dan tepat ketika Nara merasa dia sudah habis harga diri, malu, dan reputasi sebagai manusia waras, Galen tertawa kecil. Bukan ketawa mengejek. Tapi yang… lembut. Hangat. “Nara… aku ke Eropa cuma dua minggu. Workshop doang. Aku balik tanggal 17. Siapa yang bilang aku mau pindah?” Mendengar itu, Nara sontak melotot. “APA?!!” +++ BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA, “Kamu serius mau aku nginep di tempat kayak gini, Reyna?” Suara Nara Kirana menggema di jalan berbatu yang sepi, satu tangannya memegangi koper ungu yang bannya patah, satu lagi mencengkeram ponselnya. Di depannya berdiri sebuah vila tua yang tampak seperti baru saja selesai dilukis dari film thriller tahun 90-an—besar, tenang, dan terlalu sunyi untuk disebut ramah. “Tenang, itu cuma vila di daerah pegunungan. Lokasinya strategis, tenang, dan cocok banget buat kamu, biar fokus nulis,” jawab Reyna di seberang telepon dengan suara ceria yang mencurigakan. Nara memelototi vila itu. “Strategis dari mana? Sinyal aja muncul hilang. Tadi GPS sampe nyasar ke kandang sapi. Aku bahkan harus nanya ke bapak petani buat sampai ke sini!” “Pengalaman. Kamu bisa pakai buat adegan ‘feel rustic’ di naskah kalian.” “Rey. Ini vila terpencil. Dengan suara burung hantu asli. Aku ini penulis romcom, bukan pemburu arwah!” kesal Nara. “Tepat! Makanya kamu cocok banget sama Galen yang dingin dan mistis itu. Biar ada keseimbangan. Yin dan yang. Api dan es. Editor dan penulis—” “Stop. Galen? Tunggu—aku pikir ini retret pribadi. Kamu bilang aku bakal dapat ruang sendiri!” “Dan kamu memang dapat ruang. Tapi dia juga.” Reyna tertawa seperti villain. “Cuma... dalam bangunan yang sama. Kan vila itu besar. Ada tiga kamar tidur. Masa kamu takut?” Nara membuka mulut. Menutupnya lagi. Lalu menghela napas panjang. “Aku nggak takut. Aku cuma... punya trauma kerja bareng dia. Terakhir kali dia ngedit naskahku, dia balikin dengan 150 catatan. Di bab pertama doang.” “Dan hasilnya jadi bestseller, kan?” Reyna menjawab cepat. “Kalian punya chemistry—dalam artian ‘saling ingin mencekik satu sama lain’, tapi di luar itu, hasil akhirnya selalu bagus.” “Aku lebih pilih dicium zombie daripada disuruh kerja bareng Galen Mahesa lagi.” “Too late. Ciuman zombie nggak ada di kontrak. Tapi kerja bareng Galen, iya.” Klik. Reyna memutus telepon sebelum Nara sempat mengumpat. Sempurna. Pintu vila terbuka tiba-tiba, membuat Nara tersentak. Di ambang pintu berdiri seorang pria tinggi dengan rambut sedikit berantakan, wajah tirus khas kurang tidur, dan sweater abu-abu yang terlihat seperti belum dicuci sejak musim hujan tahun lalu. Tatapannya tajam, skeptis, dan... oh tidak. Kenal betul. “Lama banget. Aku pikir kamu nyasar ke jurang.” ujar Galen Mahesa. Pria berusia 30 tahun itu adalah pria yang paling ingin Nara coret dari daftar manusia di muka bumi, tepat setelah mantannya yang suka ghosting dan tukang parkir yang suka nahan dompet. Nara mencibir. “Dan aku pikir kamu bakal punya sopan santun minimal buat bilang halo. Tapi ya, kenapa aku berharap.” Galen menyandarkan tubuh ke kusen pintu. “Aku udah bilang lama banget. Itu merupakan bentuk sapaan dalam versiku, Nara.” “Versi yang layak dipenjarakan, ya?” Galen mengangkat sebelah alis. “Wah, kita baru lima detik ketemu, udah mulai duel kata. Aku rindu kamu juga, Nara.” “Tolong jangan mulai pakai kalimat kayak gitu. Aku bisa muntah di ambang pintu ini.” sahut Nara. Gadis berusia 28 tahun itu benar-benar sudah dibuat muak oleh Galen. Baru juga hitungan detik mereka bertatap muka. Bagaimana bisa Nara bertahan selama 7 hari nanti? “Mau muntah di dalam aja nggak? Biar nggak mengotori halaman.” Galen mundur, membuka pintu lebih lebar. Nara menyeret koper masuk dengan ekspresi seperti hendak masuk ke dalam ruang interogasi. Begitu ia melihat interior vila—lantai kayu tua, lampu gantung yang berayun pelan, dan dinding dengan lukisan-lukisan muram bergaya klasik, dia menghela napas. “Oke, tempat ini memang horor.” “Tenang, belum ada yang mati kok,” kata Galen santai, lalu menambahkan, “Setidaknya belum.” Mendengar itu, Nara sontak menganga. +++ Mereka berdua duduk berseberangan di ruang makan kecil dengan secangkir teh di tangan masing-masing. Galen menyusun beberapa catatan di laptopnya, sementara Nara masih menatap sekitar, menganalisis jendela yang tampak terlalu tinggi untuk vila satu lantai. “Besok kita mulai struktur naskah,” kata Galen tanpa menoleh. “Aku udah nyusun tiga alternatif alur berdasarkan brief dari Reyna.” Nara memutar bola matanya. “Tiga? Aku bahkan belum tahu siapa nama tokoh utamanya.” “Makanya aku bantu. Kamu biasanya ngabisin dua hari buat milih nama tokoh yang emosional dan punya lapisan makna.” Nara mendengus pelan. Firasatnya sudah buruk jika mulai berdebat dengan Galen—editor yang paling menyebalkan sejagat raya. “Apa salahnya nama tokoh punya makna?” “Kalau kamu kasih nama Amora karena dia mewakili cinta yang terluka tapi tetap ingin mencintai meski hancur, itu bukan makna. Itu puisi beracun.” “Dasar editor tukang kritik,” desis Nara. “Penulis drama queen,” balas Galen tak mau kalah. “Kapan kamu belajar nyebelin kayak gini, Galen?” “Sejak aku mulai ngedit naskah kamu tiga tahun lalu. Ada efek sampingnya secara permanen.” Nara menyandarkan punggung ke kursi rotan yang agak berderit, menatap Galen seperti sedang menimbang apakah akan melemparkan bantal atau cangkir teh ke wajah pria itu. Benar-benar menyebalkan! “Aku penasaran,” katanya pelan, “kenapa Reyna masih maksa kita buat kerja bareng. Maksudku, jelas-jelas kita kayak minyak sama air.” Galen menutup laptopnya. “Karena minyak dan air kalau dikocok bisa jadi dressing salad.” “Jadi kita salad sekarang?” Nara menaikkan alis. “Kamu menyamakan kerja sama kita dengan... vinaigrette?” “Lebih tepatnya,” Galen menyesap tehnya perlahan, “vinaigrette yang asem, nggak stabil, tapi entah kenapa bikin orang ketagihan.” Nara terdiam sesaat, tak yakin apakah harus merasa terhina atau tersanjung. Ia menunduk menatap cangkir tehnya sendiri, lalu menggumam, “Aku nggak suka salad.” “Wajar. Kamu lebih ke nasi padang vibes. Kelihatan dari mukamu yang lebih doyan rendang ketimbang sayur.” “Aku anggap itu pujian.” Galen tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Jadi, kamu masih pengin bikin cerita tentang cinta segitiga antara penjual buku, barista, dan astronot?” “Udah aku ubah,” sahut Nara cepat. “Sekarang tentang ilustrator komik yang tinggal serumah dengan mantan musuh bebuyutannya. Mereka harus kerja bareng karena terjebak di... semacam proyek karantina kreatif.” Galen menatapnya lekat. “Nara... kamu sadar kita sedang dalam situasi persis seperti itu, kan?” Nara mengerjap. “Kamu pikir aku nyontek dari hidup kita?” “Bukan nyontek. Lebih kayak... terinspirasi?” Nara menjulurkan lidah. “Tenang aja. Tokoh cowoknya jauh lebih ganteng dan sopan dari kamu.” “Berarti tokoh ceweknya apa? Lebih waras?” “Lebih menyenangkan. Nggak sarkastik. Dan nggak suka ngomel soal struktur narasi tiap lima menit.” jawab Nara, setengah menyindir Galen. Namun, Galen terlihat santai. “Oh, berarti bukan kamu, dong.” Nara mendesah panjang. “Lihat? Ini kenapa aku butuh waktu buat mikir nama. Karena aku pengen tokohnya punya kedalaman. Bukan cuma sekedar karakter yang harus jatuh cinta dalam 250 halaman.” Galen mendengus pelan. “Kamu selalu overthink urusan cinta di naskah. Di dunia nyata aja udah rumit. Ngapain dibuat makin ribet di fiksi?” “Justru karena di dunia nyata rumit, makanya aku pengen di cerita itu punya lapisan. Kamu tau nggak, Galen? Naskah romcom itu kayak hubungan. Lucu di luar, chaos di dalam.” “Dan kamu ahli bikin chaos.” Nara membalas dengan tatapan maut. Tapi Galen hanya tertawa kecil, yang—anehnya—tak lagi terdengar sinis seperti biasanya. Setelah beberapa detik hening yang cukup nyaman, Nara mencondongkan tubuh ke depan. “Kamu masih suka teh pahit?” “Masih. Kamu masih suka manis banget sampe bikin gigi nyut-nyutan?” Nara mengangkat cangkirnya. “Cheers buat selera yang nggak pernah cocok.” Mereka bersulang pelan. Lalu diam sebentar. Diam yang... tidak membuat keduanya risih. Hanya sunyi yang membiarkan mereka mengamati, menimbang ulang satu sama lain. Galen membuka laptopnya lagi. “Oke, ide tentang ilustrator itu... boleh juga. Kita bisa mulai dari mereka yang dulu pernah ribut, sekarang harus kerja bareng.” “Terus tinggal serumah,” sambung Nara pelan. “Di vila aneh,” tambah Galen. Ia menoleh, senyumnya melebar. “Ceritanya makin mirip hidupmu.” “Hidupku?” Nara menunjuk diri sendiri. “Salah. Hidup kita. Kamu juga terjebak di sini, ingat?” Galen mengangkat bahu. “Yah... mungkin ini cara semesta ngasih materi buat kita.” Nara menggigit bibir bawahnya, menahan tawa. “Kamu percaya takdir, Galen?” “Percaya. Tapi aku juga percaya kalau kamu bakal melempar laptopku kalau aku bilang tokoh cowoknya harus mati di bab lima.” Nara sontak melotot. “Iya, aku lempar tepat di mukamu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN