Bab 01. Laki-laki Pembeli Rahim
"Bisa beritahu aku terlebih dahulu apa yang terjadi, Papa?" tanya Hailey Madeline Luxe, gadis yang usianya baru menginjak kepala dua sukses dibuat pusing dengan permasalahan orang dewasa. Hailey tahu bahkan sangat tahu di dalam bisnis tidak melulu mulus dan bersih, tapi haruskah dia yang berkorban untuk semua keluarganya?!
"BERITAHU AKU!" Jeritan Hailey untuk kedua kalinya. Urat lehernya yang mengkerut bisa saja putus saat ini juga.
"Kamu hanya perlu memberikan bayi setelah itu bebas dan bergelimang harta, Sayang," jawab sosok wanita paruh baya yang merupakan ibu kandungnya, tengah sibuk dengan nail art di kukunya yang panjang. Seakan-akan pembahasan ini adalah masalah yang remeh padahal anaknya yang menjadi jaminan kekayaan.
"Cih!" Hailey berdecih keras dengan kedua tangan yang mengepal erat di kedua sisi pinggangnya.
"Seharusnya kamu berterima kasih kepada kami, orang tua yang memberikan jalanmu sebagai nyonya besar, Hailey. Lalu apa masalahmu, Anakku," lanjut Gideon menyetujui argumentasi istrinya.
Hailey berdecih untuk kedua kalinya. Dia ingin sekali menjambak rambut sebagai pelampiasan emosi, tapi nanti ketika di kamar jangan di depan ayah dan ibunya yang gila harta dan takut miskin itu.
"Di mana jalang itu? Di mana dia saat perekonomian kita sedang di ambang batas, Papa! Di mana, hah?! Beritahu aku dan kubunuh saat ini juga." Hailey meraung, dalam ruangannya itu sebuah tangan mampir di pipinya dengan sangat keras sampai-sampai membuatnya terhuyung.
"Bicaralah sopan di depan papamu, Hailey! Siapa yang kamu sebut jalang hah?! Dia kakakmu!" bentak Ellis yang sudah tidak lagi memedulikan kuku-kukunya. Wajahnya memerah karena perkataan kasar anak keduanya. "Mama tidak mengajari kamu menjadi perempuan yang kasar."
Hailey bergeming. Untuk sesaat Hailey menahan napasnya menunggu apa lagi yang akan dilakukan oleh mereka di depannya ini. Mereka menuntutnya untuk sempurna dan inilah balasan mereka? Menjual dirinya demi bisnis yang nyaris hancur.
"Jangan menyakitinya, Mama. Biarkan dia berpikir, bisa apa dia tanpa kemewahan. Sekarang berdandanlah karena calon keluarga barumu mengundang kita dinner malam ini." Beritahu Gideon dengan santai lantas berlalu.
Ketika kepalanya mendongak dia ditinggalkan. Suara bergema tapak kaki dengan sepatu mahal membuatnya muak. Seharusnya Hailey curiga ketika disuruh pulang disaat dia mati pun tak akan berpengaruh bagi dua orang itu. Yang ada di benaknya saat ini siapakah pria sialan yang akan membeli rahimnya.
Ya, katakanlah ini gila, tapi begitulah anggapan Hailey saat ini dan seterusnya.
Istilah apa yang lebih pantas selain menjual rahim? Bukankah dia dinikahi untuk mengandung benihnya?
"SIALAN!"
***
Hailey sama sekali tidak menginginkan momen ini, tetapi setelah berpikir ulang pertemuan ini memang penting. Dia ingin tahu siapa yang akan menikahinya, terlebih bagaimana bentuknya? Apakah nyaris seumuran dengan ayahnya? Membayangkannya saja sudah membuat Hailey ingin muntah. Bagaimana mungkin. Dia menikahi pria yang lebih cocok menjadi ayahnya.
“Oh adikku sayang lihatlah betapa memukau dirimu saat ini,” ujar Eloise dengan santainya.
Hailey semakin ingin memaki atau bila perlu membenturkan kepalanya di cermin riasnya, tapi dia urungkan karena daripada itu bisa saja mamanya akan murka dan memenggal kepalanya sekalian. Hailey tidak mau mati konyol. Jika dia menikah dengan pria tua yang berpenyakitan bukankah itu cukup bagus mengingat dengan pernikahannya ini dirinya bisa kabur dari jeratan tak kasat mata mama dan papanya lalu suaminya mati dan ... bebas.
“Diamlah, Eloise! Gue muak dengan semua orang termasuk lo!” bentak Hailey menatap tajam kakaknya yang berwajah santai. Eloise tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Hailey justru Hailey yang menahan emosinya sendiri setelah mendengar balasan dari kakaknya.
“Lo hanya perlu mengandung, mungkin jika pria itu menginginkan kehangatan ranjang gue bisa kasih, tapi sialnya dia butuh wanita untuk mengandung benihnya. Lo tahu sendiri rahim gue sudah rusak,” ucapnya dengan sangat santai tak memikirkan perasaan adiknya.
“Itu karena ulah lo, El!” bantah Hailey mengingatkan tindakan bodoh sang kakak.
“Lo terlalu penurut untuk orang tua seperti mereka. Coba saja kalau lo ngikutin jejak gue. Hidup bahagia dengan karir cemerlang, bebas terbang ke mana saja dan yang terpenting tidak menjadi jaminan bisnis papa.”
Mendengar perkataan kakaknya jantung perempuan itu berhenti berdetak sejenak.
“Sudahlah,” ujarnya menepuk pundak sang adik. “Tersenyum untuk malam ini. Kalau ada apa-apa nomor gue masih sama, Ley. Gue masih jadi kakak lo,” lanjut Eloise seakan tak terjadi apa pun pada ucapannya itu.
***
"Jangan tunjukan muka jelek kamu, Hailey! Di sana bukan hanya ada calon suamimu, tapi juga anaknya. Curi hati anaknya supaya—"
"Mah?" tanya Hailey memotong perkataan sang ibu. Dia tersentak bukan main begitu mendengar kalimat ibunya. "Anak?"
Dan dengan pembawaan tenangnya Eliss mengangguk tersenyum lebar. “Anaknya sudah besar, kamu tidak perlu mengurusnya. Yang terpenting lahirkan bayi untuk mereka lalu kamu pergi membawa hartanya.”
Dengan setenang itu membuat Hailey yang gelisah. Namun, kendati demikian merasakan sosok lain hadir di sebelahnya ketika berjalan dia pun menoleh dan mendapati wajah sinis kakaknya. Tak ada ucapan yang terlontar, tetapi dari wajahnya seakan menunjukkan bahwa Eloise ada di pihak orang tua mereka. Lantas untuk apa kakaknya memberitahu nomor ponsel sebagai perlindungan? Sikap Eloise masih abu-abu entah rencana apa yang sedang dipikirkan oleh sang kakak. Hailey sadar betul seluruh anggota keluarganya memang pemberontak termasuk dirinya sebelum ini, tapi sekarang dia lumpuh dan tunduk di bawah kuasa kedua orang tuanya.
Sial! Entah berapa kali Hailey mengumpat malam ini.
"Mama, kenapa aku harus ikut juga? Ini hari bahagia Hailey, aku takut jadi iri," kata Eloise berdusta dengan mimik wajah yang dibuat sedih, padahal hatinya sedang bergembira karena adiknya akan menyelamatkan bisnis keluarga mereka.
"Cih!" Hailey berdecih di dalam hati.
"Dampingi adikmu, mungkin setelah pertemuan ini dia butuh samsak darimu," ujar Gideon yang kini memotong jalan dan mengarahkan ke mana mereka akan menuju. Tak ada penunjuk arah karena semuanya private di hotel berbintang milik calon suami Hailey. Namun, walau begitu Gideon tahu tata letaknya dengan bermodalkan penunjuk arah dari ponselnya.
"Dengarkan Papa baik-baik, Hailey! Di dalam nanti jaga sikapmu. Kamu tidak perlu membuka suara jika tidak diminta. Semua sudah Papa atur. Kedatanganmu hanya untuk tanda tangan kontrak pernikahan," ucap Gideon tegas penuh peringatan yang membuat Hailey muak.
Hailey bergeming. Di dalam otaknya beragam ide untuk kabur, tapi tidak memiliki keberanian sebesar itu. Jika sampai ini terjadi dia bisa saja dibunuh oleh sang ayah, yang Hailey yakin walau di sini tak ada orang-orang bertubuh besar dia sangat yakin penjagaannya ketat. Setiap pergerakannya mudah dibaca.
"Setelah ini semua berakhir jangan merecoki aku lagi!" ujar Hailey memilih kalah karena melawan pun sungguh tak punya daya.
"Baguslah, Mama percaya kamu bisa membawa kita kembali pada masa kejayaan."
Mereka masuk ke dalam ruangan dengan meja panjang yang dapat menampung puluhan orang. Namun, yang berada di sana hanya satu orang saja. Dalam benak Hailey dia merasa kerdil. Bukankah calon suaminya berasal dari kalangan atas, bahkan bisa dibilang lebih kaya tujuh kali lipat dari kekayaan ayahnya yang nyaris bangkrut.
"Bagaimana aku hidup dalam cengkeraman orang berbahaya," batin Hailey ingin berteriak.
"LEPASIN AKU! PAPA!" teriak seorang perempuan yang digelandang masuk. Tangannya yang dicekal berusaha memberontak, tetapi tenaganya kalah dan pada akhirnya pasrah berdiri menatap ayahnya penuh kebencian.
Kerusuhan terjadi di belakang tubuhnya, sontak karena penasaran dengan situasi saat ini kepala Hailey yang awalnya menunduk kini mendongak ... mati kutu. Sosok laki-laki yang duduk di depannya persis adalah dosen killer di fakultasnya.
"PAPA!"
Teriakan itu lagi yang berhasil membuat Asher berdecak sebal. "Chiara, sopan di depan calon ibumu."
"Chiara," gumam Hailey mengenal betul nama itu.
"AKU NGGAK MAU PUNYA IBU TIRI, PAPA!"
Dan semakin yakin nama orang itu juga seseorang yang sangat Hailey kenal. Dengan helaan napas beratnya perempuan itu berbalik badan menghadap penuh pada sosok Chiara. Keduanya sama-sama melotot terkejut dengan pertemuan tidak terduga ini.