The Whisper

Pertanda Keberadaan

Happy Reading . . .

***

Jojo membuka pintu rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pekerjaannya yang belakangan ini begitu menyita waktu, membuat Jojo harus rela pulang ke rumah melewati jam kerja kantornya. Bekerja menjadi salah satu staff payroll di sebuah perusahaan perdagangan elektronik membuat Jojo harus rela untuk mencari waktu senggang yang cukup sulit ia temukan untuk dirinya sendiri.

"Jojo pulang," ujarnya dengan nada lelah sambil melangkah memasuki rumah.

"Mandi lu, terus langsung makan." Balas Marina saat Jojo sedang melintas ruang tengah dimana ia sedang menonton televisi.

"Iya."

"Kok gua nyium bau martabak ya?“

"Buat Mbok Min. Ibu 'kan kalo udah jam segini nggak nerima makanan lagi."

"Sepotong gapapa kali."

"Mbok! Martabaknya di meja makan ya," teriak Jojo saat berada di dapur. "Yang namanya komitmen itu harus dijalanin kali," sambung kepada Marina yang kini sudah melangkah menuju ruang tengah.

"Sirik aja lu. Lagian durhaka amat jadi anak."

"Durhaka apalagi sih, Bu?"

"Itu, sayangnya nggak sama orang tua."

"Nggak tau ah! Perasaan Jojo salah terus di mata Ibu."

"Emang!". "Heh... abis mandi balik ke sini lagi. Ada yang mau gua omongin sama lu."

"Tadi katanya abis mandi disuruh makan?"

"Jawab terus lu ya jadi anak?"

"Iya, Ibu. Nanti Jojo balik lagi ke sini," balas Jojo sambil menaiki anak tangga menuju lantai atas.

Setelah berada di dalam kamarnya, ia pun bersiap-siap untuk langsung ingin mandi. Namun disaat Jojo ingin menguncir rambut di depan meja rianya, ia justru mendapatkan beberapa alat-alat make-up miliknya yang berantakan dan tidak berada di tempat seharusnya. Seingat dirinya, tadi pagi ia sudah merapikan semua alat-alatnya itu.

Dan jika pun ia lupa, paling tidak biasanya Mbok Min yang akan merapikannya, mengingat seprai ranjang yang sudah diganti dan setiap sudut kamar Jojo pun juga terlihat sudah rapi. Tetapi Jojo tidak ingin memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu. Karena mungkin saja hal itu hanyalah kesalahan dari dirinya atau Mbok Min yang lupa merapikan bagian meja rias.

Setelah merapikan meja riasnya sejenak dan ia juga yang sudah selesai mengikat rambutnya, Jojo melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sebentar. Karena jika ia terlalu lama mandi, Marina pasti akan menyusul dan meneriaki anaknya itu untuk tidak berlama-lama mandi yang bisa membuat tagihan air naik nantinya.

Kurang lebih selama sepuluh menit, Jojo pun keluar dari kamar mandi dengan sudah menggunakan piyama tidurnya. Tetapi ketika ia ingin memakai krim perawatan wajahnya di depan kaca meja rias, Jojo mendapati kembali alat-alat make-up miliknya yang berantakan bahkan hingga sampai ada yang terjatuh ke lantai. Dengan merasa sedikit kesal Jojo pun merapikan kembali barangnya tersebut. Setelah selesai dan ia juga sudah memakai krim di wajahnya, Jojo pun turun ke lantai bawah sebelum mendengar teriakan Marina yang sangat ia tidak sukai.

"Makan-nya di sini aja," ujar Marina saat melihat Jojo yang sedang melangkah menuju dapur.

"Iya."

"Makan, Jo. Sayurnya baru Mbok panasin," ucap Mbok Min ketika Jojo berada di meja makan.

"Iya,". " Mbok, tadi beresin meja rias Jojo nggak?" Tanya Jojo sambil mengambil makanan.

"Iya. Tadi semuanya udah Mbok beresin."

"Tapi kok masih berantakan ya tadi?"

"Tapi tadi udah Mbok beresin kok, Jo. Kalo masih berantakan nanti biar Mbok beresin lagi aja."

"Nggak usah, Mbok. Gapapa, lagian udah Jojo beresin lagi. Yaudah, martabaknya dihabisin ya, Mbok. Ibu ga usah dikasih kalo minta."

"Siap, Jo."

Setelah mengambil makan malamnya, Jojo pun melangkah menuju ruang tengah dan ia langsung mendudukkan dirinya di samping Marina.

"Ulang tahun lu kapan?" Tanya Marina.

"Ibu 'kan yang ngelahirin Jojo. Masa lupa?"

"Gua nanya, malah lu nanya balik."

"Delapan bulan lagi, dua puluh enam."

"Delapan bulan lagi, gue pengen dapet cucu dari lu."

"Kalo ngomong dipikir dulu kenapa, Bu." Balas Jojo dengan santai tanpa rasa terkejut sama sekalipun, dan tetap memakan makan malamnya dengan nikmat.

"Dulu pas umur gua dua lima, gua tuh udah ngurusin lu yang lagi nakal-nakalnya. Sendirian lagi, tapi kadang dibantuin sama si Mbok juga sih. Tapi intinya perjuangan itu udah gua laluin sebelum umur gua genap tiga puluh tahun. Gua tau lu masih pengen seneng-seneng sendiri, Jo. Tapi apa salahnya kalo lu nyenengin hati orang tua lu yang tinggal satu-satunya ini?"

"Ya abis permintaan Ibu kayak gitu. Jojo 'kan jadi sebel setiap dengernya."

"Perasaan permintaan gua masih wajar-wajar aja."

"Iya, memang. Memang permintaan Ibu masih wajar. Tapi waktunya masih belum tepat, Ibu."

"Belum tepat dari mana-nya sih, Jo? Bahkan orang yang umurnya di bawah lu aja udah pada banyak yang kawin."

"Nikah, Bu?"

"Kawin juga udah banyak. Yang DP duluan juga udah banyak. Yang bahkan masih sekolah pun juga banyak, Jojo."

"Ya udah, Ibu. Itu 'kan mereka. Ya biarin aja, hidup-hidup mereka. Yang dosa juga mereka."

"Lu tuh ya! Ih... ngeselin banget jadi anak. Selain ngeselin, lu juga suka jawab mulu kerjaannya."

"Lagian Ibu kenapa sih? Tiba-tiba nyuruh Jojo buat nikah terus? Perasaan kemaren-kemaren baik-baik aja."

"Gua malu tau. Teman-teman gua kerjaannya pamerin cucu-cucunya mulu. Mereka pada pamer, sementara gua apanya yang mau di pamerin?"

"Jangan pamer. Pamer itu sifat setan. Walaupun pamernya dengan kata-kata halus atau alasannya biar orang lain jadi semangat dengernya, tetep aja nggak boleh. Karena dengan pamer, itu sama aja dengan kita yang bisa membangkitkan sifat keirian orang lain. Dan itu lebih nggak baik lagi, Ibu Marina."

"Di sini yang jadi orang tua gua atau lu, sih?"

"Jojo 'kan cuma ngingetin Ibu aja. Sebagai anak yang baik, itu udah menjadi kewajiban Jojo."

"Posesif lu di tempat yang nggak tepat."

"Lagian dari pada Ibu nyuruh-nyuruh Jojo nikah, mendingan Ibu aja yang nikah. Jojo siap kok punya bapak baru."

"Enak lu ya nyuruh-nyuruh gua. Nggak ada! Lu yang kawin, atau lu yang bakal gua coret dari daftar kartu keluarga?!"

"Jojo rela kalo Ibu mau nikah lagi."

"Jangan sampe gua kutuk lu ya, Jo."

Jojo pun langsung tertawa dengan kencang mendengar ucapan sang ibu yang mulai kesal.

"Gua masih cinta sama Bapak lu tau. Walau dikata dia udah pergi ninggalin kita, rasa sayang dan cinta gua nggak pernah berkurang sama dia."

"Awh... Ibu, so sweet deh. Emangnya waktu Ibu nikah sama Bapak, nggak pake dijodohin?"

"Nggak lah. Gua 'kan cinta pertamanya Bapak lu. Pertemuan pertama kita dulu tuh di toko buku. So sweet 'kan? Nah terus seiring berjalannya waktu, hubungan kita makin lengket aja. Sampe pada akhirnya gua lulus sekolah SMA, terus dia lulus kuliah. Dia langsung ngelamar gua."

"Terus Ibu terima?"

"Kalo gua nggak terima, lu kagak bakalan ada, b**o!"

"Tapi kok Ibu percaya aja sih sama cowok yang baru lulus kuliah, terus main ngelamar-ngelamar gitu aja? Apalagi umur Ibu masih di bawah dua puluh, baru lulus sekolah lagi."

"Gua tau kalo Bapak lu bukan tipe cowok yang suka main-main. Makanya gua pede nerima lamaran dia. Dan emang kebukti kalo dia bukan cowok yang macem-macem. Gua rasa kalo dia masih ada, gua bakal yakin jadi wanita paling bahagia di dunia."

"Oma sama opa nggak ngelarang?"

"Mereka justru seneng anak perawannya udah laku."

"Idih... laku? Emangnya Ibu dijual?"

"Kenyataannya sih,". " Maka dari itu jangan mau kalah sama gua."

"Tuh 'kan? Balik lagi ke situ."

"Jo, gua maksa lu juga ada alesannya. Coba lu pikir. Kalo lu nikah sekarang, terus lu langsung punya anak. Lu yang bakal seneng sendiri. Karena bakal bisa punya banyak waktu buat main sama anak lu yang pertama, kedua, ketiga, sampe yang ke sepuluh pun juga bisa. Atau kalo sampe amit-amit nih ya. Lu susah dikasih anak, atau bahkan sampe nggak dikasih anak. Setidaknya lu punya suami yang bisa kasih semangat."

"Umur nggak ada yang tahu, Bu. Kalo sampe umur Jojo dikasihnya sama Tuhan cuman sedikit gimana?"

"Setidaknya lu udah ngerasain punya laki sama enak-enaknya kawin."

"Astaga, Ibu! Jojo masih di bawah umur buat denger hal-hal kayak gitu," teriak Jojo sambil menaruh piring di atas meja, di hadapannya setelah makanannya sudah habis.

"Lagian, gua ajarin yang bener sama yang enak, susah banget!"

"Nggak tau ah! Jojo males kalo Ibu ngomongin jodoh, suami, anak, dan lain-lainnya kayak gitu. Jojo bisa stres tau, Bu. Belom lagi tuntutan kerja di kantor."

"Jiwa lu udah sampe terguncang belom?"

"Hampir."

"Nah, gua ajarin. Dari pada lu pusing sama capek ngurusin duit orang lain mulu, mending lu urusin duit laki lu sendiri. Lu itung sampe rumus excel-nya nggak valid, karena saking nggak kehitung lagi tuh duit."

"Bu, hari ini episode series barunya udah nongol lagi loh. Nonton yuk, besok Jojo weekend. Dan malam ini mau marathon," balas Jojo yang dengan cepatnya mengalihkan pembicaraan.

"Gua aja kagak dibeliin martabak."

"Ih... Ibu 'kan abis closing. Profit-nya berapa? Kalah gaji Jojo selama sepuluh tahun tuh."

"Yaudah sana pesen. Yang diskon aja tapi ya."

"Nasi goreng kambing sama boba seliter ya?"

"Lu 'kan abis makan?"

"Hari masih panjang sampe besok, Bu. Stok makanan kita harus banyak kalo mau marathon."

"Makanan sama minuman sumber penyakit dibeli."

"Semua makanan sama minuman yang enak emang sumber penyakit, Bu."

"Pesen sana!"

"Asik! Abang ojol, Jojo coming!" Seru-nya sambil beranjak dari duduk menuju kamar untuk mengambil ponsel dan memesan makanan untuk persediaan menonton series bersama sang ibu tercinta.

***

To be continued . . .