bc

Aku Salah, Aku Mencintaimu

book_age18+
307
IKUTI
1.0K
BACA
family
HE
friends to lovers
badboy
heir/heiress
drama
sweet
bxg
campus
like
intro-logo
Uraian

Degaira Arini, yang akrab dipanggil Dede, telah bersahabat dengan Arsya Mahendra hampir sepanjang hidupnya. Sejak taman kanak-kanak, mereka tumbuh bersama, dikelilingi oleh orang tua yang juga menjalin hubungan erat. Arsya selalu menjadi sosok yang melindungi, tempat Dede berbagi cerita, menumpahkan keluh kesah, dan menemukan rasa aman.Arsya dan Dede selalu sekolah di tempat yang sama. Sayangnya, kebersamaan itu justru membawa persoalan yang tak pernah Dede rencanakan.Tanpa disadari siapa pun, Dede jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Perasaan itu ia simpan rapat-rapat, memilih diam demi menjaga persahabatan. Sementara Arsya, yang tak pernah menyadari apa pun, terus berganti pasangan hampir setiap tahun dan selalu menjadikan Dede pendengar setia kisah cintanya, bahkan mengenalkannya pada para pacar tersebut.Banyak yang mengatakan, persahabatan antara laki-laki dan perempuan tak akan pernah benar-benar bertahan tanpa perasaan yang terselip. Kali ini, perkataan itu terbukti namun hanya sepihak.Suatu hari, tanpa sengaja, Dede mendengar percakapan Arsya dan gengnya di belakang kantin sekolah.

"Eh tapi sudah kau jelaskan sama si Sandra, kan, kalau si Dede itu cuma kawan? Jangan pula kau nanti ribut lagi macam sama si Esti dulu."

"Sudah lah. Lagian Dede itu bukan siapa-siapa. Cuma kawan dari kecil aja. Mana mungkin juga aku pacaran sama dia, bukan tipeku. Tomboy kali."

"Bah,kalau kau pacaran sama Dede, bisa kau dipiting nanti, sabuk hitam, lho, dia."

Tawa mereka menggema, sementara di balik tembok kantin, Dede hanya mampu menggigit bibirnya. Dadanya sesak. Tanti segera menarik tangannya, mengajaknya kembali ke kelas tanpa sepatah kata.

Arsya Mahendra bukan sembarang siswa. Ia tampan, populer sebagai kapten Basket, berasal dari keluarga berada. Kedua orang tuanya dokter, bahkan rumah sakit tempat papanya menjabat sebagai direktur merupakan milik keluarga besar mereka. Tak heran jika namanya selalu menjadi incaran gadis-gadis.Namun, hingga kapan Dede sanggup bertahan sebagai sekadar sahabat untuk seorang Arsya Mahendra si playboy tampan dari keluarga Pratomo itu?Dan ketika perasaan yang ia sembunyikan mulai melukai dirinya sendiri, akankah persahabatan itu tetap utuh, atau justru runtuh selamanya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Jatuh Cinta Sendirian
Telepon itu berdering ketika Degaira Arini, sedang serius menatap buku fisika di hadapannya. Pulpen sudah di tangan, kertas coretan mulai penuh dengan rumus yang menurutnya masuk akal, meski kepalanya terasa agak pening. Tiba - tiba ponselnya yang ia letakkan jauh dari meja belajarnya bergetar, walaupun silent tapi karena di kamar ini sepi, getaran sekecil apapun terasa mengganggu. Dede menghembuskan nafas pendek, fokusnya terpecah, dan ia pun menghampiri ponselnya yang berada di atas tempat tidur. Ternyata panggilan dari Arsya, dan itu membuat ketegangan di kepala Dede terasa lebih ringan. "Halo, Sya ..." sahutnya sambil menghempaskan bokongnya diatas kasur. "De ... temanilah dulu aku belajar, pusing kali aku fisika ini," suara Arsya terdengar tanpa basa - basi dari seberang, sedikit ditekan, seperti orang yang benar - benar sudah mentok dengan rumus yang ada. Dede menghela napas pelan. Ia sebenarnya lebih senang belajar sendiri. Namun, seperti biasa, nama Arsya selalu punya tempat sendiri dan membuatnya tidak bisa menolak, tepatnya tidak akan menolak.Tapi agar tidak terdengar segampang itu, ia tidak langsung mengiyakan. "Kok nggak belajar sendiri, aja?" gumamnya pelan. "Suntuk kali aku kalo sendiri, De." Arsya selalu beralasan begitu. "Ya udah. Mau di mana?" "Di rumahmu aja lah. Aku ke sana sekarang," jawab Arsya seolah sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Dede mengangguk refleks, baru sadar beberapa detik kemudian bahwa Arsya tidak bisa melihatnya. "Ya sudah, kesini lah," jawabnya singkat. Telepon ditutup. Dede menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum meletakkannya kembali di meja. Ia menutup bukunya sebentar, merapikan kertas, lalu berdiri untuk keluar dari kamar ke tempat mereka biasa belajar yaitu di ruang kerja Papanya. Ia juga meminta pembantu untuk menyiapkan minum buat Arsya. Entah kenapa, setiap kali belajar bersama Arsya, suasananya selalu berbeda, lebih berisik, lebih hidup meski sering kali Dede yang jadi pihak paling sibuk menjelaskan. Arsya memang dikenal pintar. Sejak SD, namanya selalu bersanding dengan Arman Mahendra, abang kembarnya, dan Dede di papan peringkat. Bedanya, Arman belajar dalam diam. Fokus, serius, dan cenderung mengurung diri dengan buku. Arsya sebaliknya. Ia butuh teman bicara, butuh respons, butuh seseorang yang bisa diajak berpikir sambil bercanda. Dan orang itu selalu Dede, rivalnya sekaligus sahabatnya. Menurut Arsya, Dede punya cara menjelaskan yang enak. Tidak menggurui, tidak bikin pusing. Kalau Arsya salah, Dede tidak akan menyalahkan begitu saja. Kalau Arsya bengong, Dede tidak langsung marah, cuma mengulang dengan cara yang berbeda, dan itu selalu berhasil. Sore itu, di rumah Mahendra, Mama Ana baru saja keluar dari kamarnya ketika melihat Arsya sudah rapi, mengenakan kaus bersih dan celana jeans, juga sepatu Sneakers limited edition yang dibelinya dari Singapura, Ia juga sudah siap pergi sambil menggenggam kunci mobil. "Mas Arsya mau ke mana?" tanyanya heran. "Ini kan sudah mau magrib. Bukannya besok ulangan harian?" "Mau belajar sama Dede, Ma," jawab Arsya santai. Di sofa ruang tengah, Arman yang sejak tadi membaca buku langsung menoleh. "Belajar? Alah ... itu cuma alasan aja. Ujung-ujungnya kau gangguin Dede biar nggak fokus," celetuknya tanpa mengangkat kepala. Arsya mendengus. "Apa pula kau ni, Bang." Mama Ana mengerutkan kening. "Maksud abang itu gimana?" "Kan kalau Dede sibuk ngajarin dia, nanti dia nggak fokus belajar untuk dirinya sendiri. Nilai Arsya tetap tinggi, tapi nilai Dede bisa - bisa turun," jawab Arman datar. "Eh, jangan fitnah, Bang," protes Arsya cepat. "Nggak ada itu. Aku cuma suntuk kali belajar sendiri. Lagian aku minta tolong sama Dede biar temani aku belajar. Abang kan nggak mau belajar sama aku." Arman mengangkat bahu. "Belajar sendiri pun kau bisa sebenarnya." "Tapi nggak enak, sepi kali rasanya." "Ya kau pasang aja lah musik, kok repot kali?" "Ya udah, ya udah," sela Mama Ana sambil mengibaskan tangan. "Daripada kelen ribut, mending Mas Arsya pergi sana. Tapi jangan pulang malam - malam, kasihan Dede." "Iya, Ma. Aku pergi dulu ya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Hati - hati di jalan, ya Mas." Arsya melangkah keluar, membuka pintu mobil sedan kesayangannya, lalu menyalakan mesin. Jalanan sore di Medan masih cukup ramai, tapi tidak macet, maksudnya kebetulan jalan yang dilewati Arsya tidak macet. Ia menyetir santai, pikirannya melayang - layang ke buku fisika yang sama sekali tidak masuk ke kepalanya sejak pulang dari sekolah siang tadi. Lima belas menit kemudian, mobilnya sudah terparkir rapi di depan rumah Dede. Dede mendengar suara mobil dan langsung mengintip dari balik gorden. Begitu melihat Arsya turun sambil membawa ranselnya, ia mengambil napas pelan lalu membuka pintu. "Masuk lah, ngapain cuma berdiri di situ aja," kata Dede sambil menyingkir, memberi jalan kepada Arsya yang hanya berdiri di depan pintu. "Iya, iya. Mentang - mentang di rumah sendiri sok galak," balas Arsya sambil nyengir. Ia masuk ke dalam rumah "Belum ada yang pulang nih?" tanya Arsya ketika sudah di dalam dan menganggap seperti dirumahnya sendiri. "Baru jam berapa ini, Mamaku kan pulangnya nanti malam habis praktek, Kalau papa nggak tahu aku ... Mungkin ada rapat." "Hmm." Arsya dan Dede langsung menuju ruang kerja om Sapta, Papanya Dede. Disusul kemudian Tiar, asisten rumah tangga di rumah Dede yang datang membawakan minuman dingin untuk Arsya. "Minum dulu ini. Mukamu dari tadi kayak dikejar setan kulihat," ujar Dede. "Bah, jangan lah gitu. Fisika ini yang setan, bukan aku," sahut Arsya sambil tertawa kecil dan mengambil minuman dingin, es teh manis kesukaannya. Belajar pun dimulai. Arsya membuka bukunya, menunjuk satu soal yang sudah ia coret - coret tidak karuan dari rumah tadi. "Ini maksudnya apa sih, De? Kenapa tiba - tiba keluar angka ini?" tanya Arsya. Dede mendekat, membaca dengan saksama. "Ini salah dari awal. Harusnya rumus yang ini dulu, bukan yang itu." "Oh ... pantasan nggak ketemu - ketemu aku dari tadi. Ada gunanya kan aku ke sini? Coba di rumah aja, pasti hancur ulanganku besok." "Kenapa nggak tanya sama Arman, aja?" "Kamu pikir enak nanya sama dia? Lebih baik aku usaha sedikit keluar pakai mobil lima belas menit ke sini daripada nanya sama dia." "Tapi katanya klean kembar, tapi kok beda kali, bingung lho, aku." "Kek baru kenal aja, kita. Cok lah bantu dulu aku ini." Dede mulai menjelaskan pelan - pelan. Tangannya menunjuk buku, sesekali mencoret kertas. Arsya memperhatikan, mengangguk - angguk, kadang bertanya ulang. "Woe, jangan pelan kali ngomongnya. Otakku belum nyampe," protes Arsya. "Makanya dengar baik - baik. Jangan sambil mikir yang lain," jawab Dede meliriknya. "Mana ada aku mikir yang lain," jawab Arsya. "Biasanya otakmu itu penuh dengan cewek." "Sok tahu kali, lah." "Memang aku tahu!" balas Dede. Apa yang Dede tidak tahu soal Arsya? Mulai dari kebiasaan buruknya sampai jumlah pacarnya, Dia tahu semua. Ada pacar yang ia memang serius jatuh cinta, ada juga cuma iseng saja karena penasaran. Jadi kalau Arsya bilang Dede sok tahu, itu salah. Waktu berjalan tanpa terasa. Adzan magrib berkumandang, disusul adzan isya. Mereka sempat berhenti sebentar untuk salat dan makan, lalu melanjutkan lagi. Sesekali Arsya bercanda, sesekali Dede menegur. Suasana hangat, akrab, dan nyaman seperti yang selalu mereka rasakan sejak dulu. Tanpa disadari Arsya, di balik sikap santai Dede, ada perasaan yang tidak pernah berubah. Menemaninya belajar, mendengarkan keluhannya, menjadi tempat ia bersandar saat lelah, semuanya sudah terlalu biasa bagi Dede. Terlalu sering dan terlalu dekat. Namun bagi Arsya, hanya satu hal, mereka bersahabat. Dan malam itu, seperti banyak malam lainnya, Dede kembali memilih diam. Menyimpan perasaannya rapat - rapat, sambil terus menjelaskan fisika sebaik yang ia bisa, seolah hatinya tidak ikut lelah. --- Pagi itu udara Medan masih menyisakan dingin tipis sisa hujan subuh tadi. Halaman sekolah sudah mulai ramai oleh suara motor, mobil dan tawa siswa, juga langkah kaki yang tergesa. Dede turun dari mobil mamanya diantar oleh sopir, sementara Tanti yang rumahnya searah ikut menumpang. Mereka jalan berdua menuju kelas sambil menyesuaikan tas di pundaknya. "Kau belajar semalam sampai malam kali, ya, De. Mukamu agak pucat ku lihat," kata Tanti sambil meliriknya. "Biasa lah, kau tahu Fisika berat, harus ekstra serius belajarnya," jawab Dede ringan. Padahal yang membuatnya sedikit lelah bukan cuma pelajaran. Arsya pulang agak malam semalam, dan seperti biasa, Dede baru benar - benar membuka bukunya sendiri setelah rumah kembali sepi. Di depan kelas, beberapa siswa sudah berkumpul. Ada Hakim, teman sekelas mereka yang lebih sering dipanggil Opung karena gaya bajunya selalu seperti anak zaman dulu, duduk santai di bangku depan sambil membaca buku fisika. Semantara Arsya belum kelihatan. Dede dan Tanti masuk ke kelas. Mereka duduk di deret tengah dekat jendela. Dede mengeluarkan buku, sementara Tanti sibuk merapikan rambut di kaca kecil. Belum sampai bel masuk berbunyi, pintu kelas kembali terbuka. Arsya masuk dengan langkah santai, wajahnya segar, seperti orang yang menganggap ulangan fisika bukan masalah besar. Beberapa temannya terdengar menyapa, tapi Arsya malah berhenti sejenak, matanya mencari sesuatu. Begitu melihat Dede, ia langsung menghampiri. "De," panggilnya pelan. Dede menoleh, agak terkejut. "Kenapa?" Arsya mengeluarkan sebungkus coklat dari tasnya dan meletakkannya di meja Dede. "Ini. Makasih ya semalam. Kalau nggak ada bu guru Dede, bisa berabe aku ulangan nanti." Dede terdiam sepersekian detik. Tangannya refleks menyentuh coklat itu. "Ih, kok repot. Nggak usah lah, udah sering kali kamu kasih aku coklat kayak gini, nanti diabetes pula, aku," katanya sambil bercanda. "Sudah lah, ambil aja, coklat enak itu. Jangan banyak kali mikirnya, bukan kasih rumah pun, aku," balas Arsya sambil tersenyum singkat. Tanti yang duduk di sebelah hanya melirik sambil menaikkan alis, jelas menahan komentar. Arsya tidak lama di situ. Setelah itu ia berbalik, menghampiri bangkunya sendiri dan menjatuhkan badan di kursi, Opung juga sudah duduk disebelahnya. "Pagi kali kau datang hari ini, Sya, biasanya kalau belum bel, belum muncul kau," kata Opung tanpa menoleh dari bukunya. "Biasanya juga gini aku," jawab Arsya. "Iya, biasanya terlambat," sahut Opung datar. Arsya tertawa kecil, bukan 'biasanya', tapi ia pernah beberapa kali terlambat. Sementara itu, Dede masih menatap coklat di mejanya. Hal kecil, sepele, tapi cukup membuat dadanya terasa hangat dengan cara yang ia kenal terlalu baik. Tanti akhirnya mendekatkan wajahnya. "Kau belajar sama Arsya?" "Iya," jawab Dede santai, seolah itu bukan apa-apa. Tanti mendecak pelan. "Kok bisa kali kau tahan hati, ya? Heran lho, aku." Dede menoleh, menatap sahabatnya itu. Ia tersenyum kecil, senyum yang sudah ia latih sejak lama. "Biarkan aja lah. Dia nggak bikin aku sakit hati ini." "Terus kau mau nunggu sakit hati dulu?" Tanti menggeleng pelan, "Kau cantik, De, otak encer, nggak cocok kau cinta sepihak kayak gitu." Dede menunduk sebentar, jari - jarinya memainkan ujung bungkus coklat. "Aku nggak nunggu apa - apa, Tan. Aku cuma jalanin aja. Selama dia baek sama aku, ya sudah." "Itu namanya kau yang baik kali, bukan dia," gumam Tanti. Bel masuk berbunyi, memotong percakapan mereka. Guru fisika masuk tak lama kemudian, membawa tumpukan kertas soal. Suasana kelas mendadak hening. Saat kertas ulangan dibagikan, Arsya sempat menoleh ke arah Dede. Sekilas saja. Tapi cukup membuat Dede mengangkat kepala. Arsya mengacungkan jempol kecil, lalu kembali menunduk ke kertas ujian yang baru diterimanya. Dede membalasnya dengan anggukan tipis. Di balik ketenangannya, Dede tahu, hal - hal kecil seperti coklat, senyum singkat, dan ucapan terima kasih sederhana inilah yang membuatnya bertahan terlalu lama bersahabat dengan Arsya. Dan pagi ini, seperti pagi - pagi sebelumnya, ia kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik - baik saja. Padahal, ia sedang jatuh cinta ... sendirian.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
313.6K
bc

Too Late for Regret

read
308.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
144.0K
bc

The Lost Pack

read
427.8K
bc

Revenge, served in a black dress

read
151.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook