Anak Lelaki di Depan Rumah Hantu
Tahun 2010
“Bersiul siul sepanjang hari
Dengan tak jemu jemu
Mengangguk angguk sambil bersiul
Trilili lili lilili….”
Gadis kecil itu mengemban hatinya yang hangat, ke mana-mana. Langkahnya melompat-lompat seperti kutilang kecil, seolah tidak pernah kehabisan tenaga. Senyum selalu mekar, bulan sabit di matanya.
Ketika matanya menemukan anak laki-laki pendek-gempal menunduk di tepi jalan, langkahnya perlahan berhenti, ekor mata menelisik, lalu mulut mungilnya membulat membentuk huruf O.
Dia takut lewat rumah hantu itu.
Menjelang petang, jalanan di pulau kecil ini memang sepi. Nelayan baru akan melaut pada malam hari hingga pagi, jadi, pukul segini, biasanya mereka tidur atau sekadar duduk-duduk di teras menikmati ketela goreng dan teh manis buatan istri mereka.
Anak-anak pun sudah dipanggil pulang. Hanya dirinya dan–mungkin–anak laki-laki itu yang keluar jam segini karena baru pulang les. Setidaknya, Elora Eirene menebak demikian karena ransel kecil di punggung besar itu sama dengan ransel miliknya dari tempat les.
Tadinya, dari belasan anak sebayanya di pulau ini, hanya El yang mengikuti kelas tambahan di kota. Jika anak laki-laki itu juga, berarti sekarang yang les ada dua. Sebentar, El menyipit, membuat matanya makin sabit, berusaha mengenali anak itu.
Tidak pernah. Dia tidak pernah lihat anak itu, baik di pulau kecil ini maupun di kelas tambahan. Apa dia anak baru atau El saja yang belum pernah menyadari keberadaannya?
Kembali ke rumah hantu. Sebenarnya, itu sama sekali bukan rumah hantu seperti yang ada di pasar malam. Itu hanyalah rumah tua yang terbengkalai karena ditinggal pemiliknya. Dulu, rumah besar itu adalah pabrik kerupuk kulit ikan, tapi, bangkrut setelah pemiliknya kerajingan judi sabung ayam.
Katanya, pemiliknya itu gantung diri.
Katanya, sewaktu pemiliknya itu masih tergantung, ayam jago peliharaannya berkokok-kokok di bawah kakinya seperti menangis mengaung–atau malah lega?
Anak lelaki pendek-gempal itu pasti mendengar rumor itu dari seseorang, makanya, dia takut. El menghela napas, lega karena masalahnya sepele. Berpura-pura tak melihat, El kembali mengayunkan langkah, melewati anak lelaki, pelan, sambil bersenandung lagi.
“Di atas pohon cemara….”
Ekor matanya melirik, bibirnya mengulas senyum karena anak lelaki itu bergerak, berjalan di belakangnya. Mission completed.
Besoknya dan besoknya lagi, anak lelaki berdiri di sana, seolah menunggu El, kemudian, mereka akan melewati rumah tua itu bersama-sama. Tiada sepatah kata ‘hai’, tiada kenalan, tiada janji saling menunggu, hanya seperti itu, setiap menjelang petang.
Suatu hari, El bertanya pada Pak Perahu yang selalu mengantar mereka pergi-pulang les, mengarungi lautan dari pulau ke daratan kota. “Ke mana anak itu?” Karena, sudah tiga hari El tidak melihatnya.
“Oh, dia? Pindah ke kota. Kamu tidak tahu? Ibunya artis terkenal. Dia cuma tinggal sementara di sini.”
Sore itu, El pulang memasang wajah memberengut. Kerikil tak bersalah ditendang-tendangnya sepanjang jalan. Di depan rumah tua, El mematung, menghela napas berkali-kali, hingga dirinya menemukan seutas pita menjuntai keluar dari dalam kotak pos.
El berlari mendekat, membuka kotak pos dan menemukan kotak hadiah kecil di dalamnya. Sebentar, dia ragu. Jika firasatnya benar, ini adalah kado untuknya. Tidak mungkin ada yang mengirim hadiah ke rumah yang bertahun-tahun telantar, kan?
El memutuskan mengintip isinya sedikit saja, lalu jika itu untuk orang lain, dia akan menaruhnya kembali. Di dalamnya, terdapat sebuah gantungan kunci dari kayu berbentuk boneka anak laki-laki berkostum tradisional Swiss.
El mengeluarkan gantungan itu dari kotaknya dan menemukan secarik surat di bawahnya. Sebentar, El dag-dig-dug. Apakah dosa mengintip surat milik orang lain? Namun, entah mengapa, dia yakin, itu miliknya. Setelah tolah-toleh memastikan tak ada orang, El membuka lipatan surat itu dan membacanya. Sederet huruf berantakan khas tulisan anak kecil.
Terima kasih sudah menemaniku melewati jalan ini. Berkatmu, aku tidak takut. Sekarang, maukah kamu menjaga Mat untukku? Dia kesepian karena sahabatnya ikut bersamaku ke Swiss, namanya Meitli (perempuan). Aku janji akan datang menjemput Mat supaya dia bisa bertemu Meitli.
*
“Anak laki-laki?” Sara menyisir rambut El, seperti biasanya sehabis keramas sore. Adiknya itu menceritakan tentang anak lelaki penakut yang memberinya hadiah boneka gantungan kunci. “Siapa namanya?”
El terdiam, berpikir dengan mulut terbuka,baru sadar: dia tidak tanya siapa nama anak itu. Bahkan mungkin, anak itu pun tidak tahu nama El. Melihat El tepuk jidat, Sara terkekeh, geleng-geleng.
“Tapi, aku tahu nama bonekanya. Mat. Satu lagi, Metli … eh, Meli atau Metli?” Gadis kecil berusia sebelas tahun itu meracau sendiri, kebingungan.
“Sudah, sudah. Bangunin Bapak sana, sebentar lagi gelap. Temani Bapak makan sekalian.”
El bangun dari duduknya di lantai, berlari kecil menuju kamar Bapak. Pria gendut berperut buncit itu tidur telentang, mengorok, mengeluarkan bunyi seperti siulan dari mulutnya yang terbuka.
Terkikik-kikik menahan tawa, El berjongkok di sebelahnya, lalu mengeluarkan botol garam dari balik badan, menaburkan butiran-butiran laut itu ke mulut ayahnya.
Sebentar, El menunggu reaksi ayahnya. Bibir pria paruh baya itu kemudian mengecap-ngecap, ujung matanya mengeriput, keasinan. El makin terkikik, menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“El!” panggil seorang wanita, dari luar kamar. “Jangan isengin bapakmu terus. Ayo, cepetan, Bapak harus melaut.”
“Iya, Bu!” sahut El, lantang. Karena suaranya, Bapak membuka mata. Melihat El duduk di sebelahnya dengan memegang garam, Bapak langsung menyerang anak bungsunya itu, menggelitiknya hingga jerit-jerit.
Dengan tumpukan baju baru dilipat di tangannya, Sara melongok ke dalam kamar dan mentertawakan mereka. Ibu menghampiri sepasang ayah-anak itu di kamar, sambil mengacung-acungkan centong sayur. “Dibilang cepat! Malah bercanda.”
Sara menaruh tumpukan pakaian ke atas bale-bale, kemudian melerai ibu dari mereka, tapi ibu terus memukul-mukulkan centong kayu itu ke Bapak dan El, pelan-pelan.
Keluarga kecil itu asyik bercanda, tanpa tahu, di atas genteng rumah mereka, seekor gagak terbang mengelilingi rumah, berkeak-keak melihat keberadaan sosok lain berwarna hitam yang membawa sabit besar di tangannya.
*
“El punya pacar?” tanya Bapak, sambil mengunyah nasi.
El mendelik ke kakaknya yang menunduk, menghindari adu pandang dengan El.
“Tidur saja masih mengompol, sudah mau pacaran?” ejek Bapak, membuat El merengek, menggosok-gosokkan kakinya ke lantai.
Bapak tertawa, lalu bertanya pada Sara, “Bagaimana novelmu, ada kemajuan?”
El melirik, Sara mengangkat bahu sebagai jawaban, lalu awan cerah di atas kepala kakaknya itu berubah mendung, kelabu.
“Jangan dipaksakan,” saran Bapak. “Menulislah kalau mood lagi bagus, supaya tidak tertekan.”
Senyum Sara mengembang, secepat itu. Namun, sekilas, El melihat ujung bibir kakaknya berkedut, seperti ingin menangis.
“Kamu? Jadi ikut tanding Minggu depan?”
“Jadi, dong!” El menjawab, membusungkan d**a. Ini soal turnamen taekwondo tingkat provinsi. “Aku akan bawa medali emas, untuk …. ”
“Untuk Bapak?”
El menggeleng, tersenyum penuh misteri.
“Terus?”
“Ra-ha-sia!”
“Ah, Bapak tahu. Untuk pacar kamu, ya? Siapa, Sar?” ledek Bapak lagi, mengajak Sara bersekongkol. Sara cuma tertawa menanggapinya dan El langsung naik ke punggung Bapak, menuntut agar bapaknya itu berdiri dan menggendongnya kelililing pulau.
“Berat!”
“Nggak mau tahu, pokoknya gendong aku keliling pulau!”
“Bapak harus cari ikan.”
“Ya sudah, gendong aku sampai pantai.”
Menyerahlah pria paruh baya itu, karena tidak punya pilihan lain, karena El tidak mau turun dari punggungnya.
Di perjalanan menuju pantai, mereka melewati sebuah rumah bergaya villa tepi pantai yang kosong tak berpenghuni, tapi, masih tetap indah dan terawat. “Loh, Pak Denny sudah pergi?”
“Pak Denny siapa, Pak?” El penasaran.
“Orang Jakarta. Sebulan kemarin dia liburan di sini bareng anaknya. Kamu nggak tahu?”
El menggeleng. Dia bahkan jarang lewat rumah ini, kecuali ingin ke pantai ikut Bapak kerja atau ikut ke kota, melelang ikan di pasar.
“Kayaknya, sudah berangkat ke Swiss,” gumam Bapak, tapi kedengaran El.
“Swiss?” El terperanjat. “Anaknya laki-laki, ya?”
“Kamu tahu?”
“Yang seumuran aku itu, kan? Tapi, pendek.”
Bapak mengiyakan lagi, lalu, El menceritakan semuanya hingga mereka tiba di pantai. Sebelum naik perahu untuk melaut, kala matahari mulai turun ke batas cakrawala dan langit berwarna oranye, Bapak membungkuk, membelai kepala El. “Malam ini, Bapak akan bawa pulang banyak ikan. Habis itu, kita pindah ke rumah tadi.”
“Pindah?”
“Pak Denny mengizinkan kita menempati ru
rah itu, sambil merawatnya selama dia di Swiss. Kamu dan Sara akan punya kamar sendiri dan halaman yang luas. Mau, kan?”
El tidak menjawab, tapi dari binar-binar di matanya, Bapak tahu, El sangat senang. Gadis kecil itu tiba-tiba mengangkat jari kelingkingnya, meminta Bapak berjanji. “Benar, ya? Janji?”
Bapak menautkan kelingking mereka, lalu tertawa bersama. Di atas pohon kelapa yang melambai-lambai, sesosok hitam dengan sabit di tangannya, mengamati keduanya seperti ingin menerkam.