Begitu tiba di rumah, Frans langsung menuju ke lantai dua. Ia tahu Nana ada di dalam kamar mereka karena rumah sudah sangat sepi dan beberapa lampu telah dimatikan.
Berdiri di depan pintu kamar, Frans merasa tidak sanggup membuka pintu. Ia mengatur napasnya dan berusaha merapihkan rambut dan pakaiannya. Ia memastikan bahwa aroma parfum yang ia semprotkan di mobil tadi telah menutupi bau menjijikan Sofia yang mungkin tertinggal di tubuhnya.
Setelah meneguk liur dan berdehem beberapa kali, Frans menyentuh gagang pintu dan mendorongnya terbuka.
Aroma kamar yang Frans sukai kini malah membuatnya merinding. Dengan jantung yang terasa akan meledak setiap berdegub, Frans melangkah masuk seraya melihat sekeliling untuk mencari sosok Nana yang tidak ia temukan di mana pun.
“Nana..” Panggil Frans, bagai sedang memanggil dewa kematian.
Bayangan akan rumah tangganya yang suci dan bahagia selama ini membuat Frans semakin takut karena ia telah menodainya. Ia telah mengecewakan Nana, dan itu dengan bodohnya ia lakukan sejak awal tanpa sadar. Ingatan bagaimana semua ini bermula datang bertubi-tubi mengelilingi kepala Frans.
***
Beberapa bulan yang lalu…
“Na..”
“Nana,”
Kening Nana mengkerut. Perlahan, ia membuka kedua matanya karena mendengar suara berat bergema yang terus memanggil namanya dan sebuah usapan di pipi kirinya.
“Hm…” Nana hendak meluruskan punggungnya untuk duduk dengan benar. Namun sebuah tangan besar melingkari perutnya.
“Ah.. Akhirnya kau bangun juga, sayang,” Suara Frans bergema di kamar mandi itu bersama suara riak air ketika ia menegakkan punggungnya dari sandaran, sekaligus membantu Nana untuk duduk dari posisi setengah berbaring di atas tubuh berotot penuh tatonya.
“Berapa lama aku tidur, Frans?” Tanya Nana.
“Sepuluh atau lima belas menit, mungkin?” Frans nampak berpikir.
“Lima belas menit?” Kedua alis Nana matanya terbelalak.
Frans tersenyum kecut seraya meraih tangan istrinya, “Sebaiknya kita segera keluar. Tanganmu sudah sangat keriput seperti ini,”
Nana mengangguk kecil seraya memperhatikan baku-baku jarinya yang benar terlihat seperti milik nenek-nenek berusia seratus tahun. Ini terjadi karena ia terlalu lama berendam di dalam air hangat.
“Kemarilah,” Frans yang sudah keluar dari bathtub, membentangkan sebuah jubah handuk putih yang bukanlah miliknya karena ia tidak akan muat. Itu adalah jubah handuk milik Nana, istrinya tercinta.
“Pelan-pelan saja, Na,” Ucap Frans, dengan sigap memegangi lengan Nana karena wanita itu agak terhuyung ketika hendak berdiri.
Begitu Frans menangkap Nana, ia langsung memeluk wanita itu ke dalam jubah handuk lalu mengangkatnya keluar dari bathtub dalam sekali gendongan. “Maaf yah... Kelihatannya aku kelewatan lagi.” Bisiknya di telinga Nana sebelum melepaskan pelukannya.
Menahan sabar, Nana hanya bergerak mengenakan jubah handuknya yang dibentangkan oleh suaminya. “Aku sudah bosan mendengarnya, Frans,”
Frans tertawa kecil. “Tapi aku sudah membiarkanmu beristirahat setelahnya.”
Nana menyipitkan kedua matanya pada Frans. “Kelihatannya itu bukanlah sesuatu yang dapat kau gunakan untuk membela dirimu. Aku bisa tertidur di dalam air karena nyaris mati berkat ulahmu,” ucapnya sinis dengan mengikat tali jubahnya asal lalu mengambil sebuah jubah handuk tebal berwarna abu-abu dari dalam rak handuk.
Frans membalikkan punggungnya menghadap Nana yang sudah merentangkan jubah handuk itu. Kemudian ia menarik sendiri jubah tersebut menyelimuti pundaknya karena Nana terlalu pendek untuk melakukan hal itu untuknya. Setelah itu, Frans kembali berbalik untuk menghadap Nana, “Tapi, Na… Bukankah kau menyukai tidur sambil berendam dengan menjadikanku sebagai matras manusia? Aku bahkan memijatmu sebagai ucapan terima kasih,”
Nana hanya menghela lelah sembari mengikatkan tali jubah suaminya yang mengesalkan, “Jadi aku harus berterima kasih padamu sekarang?” ia menaikkan pandangannya untuk menatap kedua iris coklat terang itu.
Frans tertawa geli lalu menggeleng sebelum memeluk Nana dengan sayang, “Tentu saja tidak. Satu-satunya manusia di dunia ini yang berhutang ucapan terima kasih terbesar kepadamu adalah diriku. Terima kasih, istriku yang manis namun galak. Aku sangat teramat mencintaimu,” ucapnya sebelum memberikan kecupan dan kedua pipi, kening, dan bibir Nana.
Perlakuan manis Frans membuat Nana tidak tahan untuk mengembangkan senyum. Bahkan setelah hampir dua tahun pernikahan, pria itu masih sukses membuat kedua pipinya merona. Ya, Nana tentu tidak sungguhan kesal atau bahkan marah pada Frans. Ia hanya bercanda meski kelakuan Frans sungguhan membuatnya lelah setengah mati hingga pinggangnya seakan remuk.
Nana tidak pernah dan tidak akan marah pada Frans karena sejak awal, ia sudah tahu betul pria macam apa yang akan ia nikahi. Frans si m***m yang ketika muda selalu menyewa dua atau tiga wanita bayaran secara sekaligus untuk memuaskan dirinya yang seperti monster. Dan kini, Nana harus seorang diri berjuang menghadapinya. Ia merasa cukup beruntung Frans selalu mengendalikan kewarasannya agar setidaknya tidak membunuh istrinya sendiri.
***
Sinar matahari berhasil menembus gorden abu-abu kamar itu. Meski hanya sedikit cahaya yang masuk, itu sudah cukup membuat kamar yang gelap saat malam menjadi cukup terang saat pagi datang.
Hari ini, tidak ada suara jam waker berbunyi. Itu hanya suara kicauan burung yang menjadi alarm alami untuk membangunkan pasangan yang masih terlelap nyaman di dalam pelukan satu sama lain. Legenda mengatakan mereka akan tetap berada di dalam posisi itu hingga kiamat datang jika salah satunya tidak berinisiatif untuk bangun dan melepaskan diri. Salah satu yang dimaksud itu adalah Nana. Di balik selimut tebal itu, hanya dirinya manusia yang cukup waras untuk berpikir bahwa mereka bisa melanjutkan tidur di dalam pelukan hangat itu nanti malam.
“Frans,” Gumam Nana dengan menggeliatkan tubuhnya. Namun seperti biasa, kedua lengan penuh tato itu bagaikan badan ular python raksasa yang melilitnya seakan hendak meremukkan tulangnya.
“Frans..” Nana berusaha melepaskan dirinya.
“Tsk,” Frans bergumam sebal sembari melonggarkan pelukannya. Padahal ini adalah hari libur. Ia ingin tidur sampai sesiang mungkin sambil memeluk istrinya yang hanya bisa ia temui saat pulang kerja.
Nana tersenyum tipis. Ia tahu Frans merasa kesal karena mereka harus bangun pagi-pagi. Bulan ini memang sangat padat untuk Frans. Pria itu sedang mengerjakan sebuah proyek besar yang benar-benar menyita waktunya.
“Frans.. Bangunlah..” Bisik Nana dengan menolehkan wajahnya ke atas untuk menatap kedua mata suaminya yang masih terpejam erat dengan kening agak mengkerut yang menandakan ia benar-benar kesal.
Dengan tawa kecil, Nana menggeliat naik untuk mengecupi wajah suaminya dan itu terlihat berhasil, karena Frans nampak tidak mampu menahan senyumannya.
Akhirnya kedua mata itu terbuka, menampakkan sepasang iris coklat terang yang langsung memantulkan bayangan wajah Nana yang sangat dekat dengannya. Namun ketika Nana menarik napas untuk berbicara, dengan cepat kedua tangan Frans menarik belakang leher wanita itu untuk memberikan ciuman selamat pagi yang jika bisa, tetap berlanjut menjadi selamat tidur.
Napas Nana mulai terasa sesak. Frans memang akan menjadi jelmaan gorilla jika ia sedang berada dalam kondisi panas seperti ini. Namun ia akan menjadi king kong saat ia sedang membutuhkan kehangatan Nana, namun keinginannya terhalangi oleh sesuatu.
Kening Nana mengkerut di tengah erangannya ketika ia merasakan satu tangan Frans mulai menyelinap masuk ke dalam piyama birunya. Ia ingin protes namun Frans nampak menyadarinya hingga ia dengan lebih ganas membungkam mulut Nana agar wanita itu tidak dapat mengeluarkan satu kata pun selain suara-suara yang mendongkrak adrenalinnya.
‘Ugh.. Kau keterlaluan, Frans. Ini gawat,’ Pikir Nana di dalam hati dengan tubuh menggeliat, berusaha keluar dari dekapan suaminya sekaligus sebagai respon tanpa kendali atas tangan besar yang menari-nari di balik piyamanya.
Jika Nana tidak menguatkan diri dan iman, ia mungkin akan tenggelam di dalam gulungan ombak yang Frans buat.
Nana sebenarnya merasa kasihan pada Frans, namun acara itu hanya satu kali seumur hidup bagi sahabat mereka. Tentu Nana akan lebih merasa bersalah jika mereka tidak hadir hanya karena sebuah kegiatan yang jauh lebih menyenangkan namun bisa dilakukan beribu kali di lain waktu.
Dengan segenap tenaga dan kewarasan yang tersisa, Nana menempelkan kedua telapak tangannya di d**a bidang Frans dan mendorong tubuhnya menjauh agar ciuman berikut dekapan Frans terlepas. Untungnya, ini adalah pagi hari, sehingga tenaga Nana masih terisi penuh. Ia berhasil memberikan kesempatan bagi dirinya sendiri untuk berbicara dan setidaknya kabur beberapa centimeter agar cakar harimau itu tidak mudah menggapainya untuk menerkamnya lagi.
“Frans! Aku benar-benar minta maaf. Tapi kita harus pergi.” Ucap Nana dengan napas terengah dan posisi pakaian yang sudah tidak karuan. “Aku mengerti kau sedang sangat sibuk akhir-akhir ini. Namun acara itu hanya sekali seumur hidup. Tora akan sangat kecewa jika kita tidak datang. Kau tahu ini sangat penting untuknya.”
Kedua mata Frans masih terbuka setengah. Ia menatap Nana dengan sinis.
Menghela panjang, Nana kembali menggeser duduknya untuk mendekati Frans yang masih berbaring menyamping. Tentu saja ia berani melakukan hal ini karena merasa Frans sudah cukup tenang. Begitu ia sudah berada tepat di samping pria itu, ia mengusap rambut coklatnya dengan sayang, “Nanti malam saja, yah. Sekarang kita harus bersiap-siap agar tidak terlambat. Jakarta sangat macet di hari minggu.”
Bujukan manis Nana akhirnya membuat Frans luluh. Meski sambil mendecak kesal, ia menurut untuk bangkit duduk, “Aku pikir hari ini jatahku dua kali,” gumamnya.