Arlane Panji Supitra
Panji, adalah namanya, lengkapnya Arlane Panji Supitra. Heleh namanya buaguse pol. Orangnya ganteng, bersih dan agak pendiam agak ya, bukan pendiam. Badan tinggi kulit sawo matang senyumannya bikin klepek-klepek gigi gingsul yang membuat senyumannya manis. Hadeh! Emak saja sangat klepek-klepek pemirsa.
Anak ke dua dari dua bersaudara, kakaknya cewek biasa di panggil Mbak Yul, lengkapnya Yuliana Supitra. Balik ke Panji, usianya dua puluh lima tahun tapi berasa usia dua puluh tahun, wajahnya itu sangat awet muda, katanya dulu pas penciptaannya dirinya itu ketumpahan formalin jadi ya gini risikonya dia harus menanggung memiliki wajah yang awet muda. Tinggal di desa yang sangat teramat asri seasri jiwa dan raga yang tidak punya hutang. Pekerjaannya sangatlah mulia suka menyenangkan hati anak-anak, kok hati anak-anak? Kang cilok alias tukang cilok, bukankah pekerjaannya sangat mulia? Karena kehadirannya di nantikan oleh anak-anak. Tolong di iyakan saja ya, biar Author senang.
Setiap hari Panji berkeliling dari sekolah satu ke sekolah yang lainnya untuk sesuap nasi, padahal orang tuanya lumayan orang berada, mereka memiliki sebuah toko bahan makanan yang lumayan besar di desa mereka. Lalu kenapa Panji memilih jadi Kang cilok? Karena ia ingin mandiri alias tidak mau selalu merepotkan orang tuanya selain itu ia sangat menyukai anak-anak, apa lagi senyuman anak-anak sangatlah membuatnya bahagia. Apakah ia tak kuliah? Oh tidak jangan salah, ia lulusan S1 jurusan ekonomi. Lalu kenapa jadi Kang cilok? Kembali lagi, ia ingin mandiri. Aneh hanya untuk berjualan cilok ia harus menyelesaikan pendidikan S1 nya. Keren kan? Keren banget.
“Nji? Kamu sekarang libur jualan kah?” teriak Suyati sang Ibu.
“Astagfirullah, aku kesiangan! Iya Bu sebentar!” ucap Panji.
“Ini jam berapa? Baru bangun?” tanya Suyati.
“Kayaknya aku gak jualan, Bu,” ucap Panji.
“Sudah ibu buatkan cilok nya, tinggal pindahin ke gerobak,” ucap Suyati.
“Emangnya aku mendorong gerobak apa, Bu!”
“Cepetan mandi sana, sebelum waktu subuh berakhir.”
Panji pun pergi mandi di kamar mandi satu untuk semua alias kamar mandi bersama. Setelah selesai melakukan rutinitas subuh, ah biasanya dirinya akan bangun jam dua pagi tapi entah hari ini ia tidak terbangun. Dengan semangat kini Panji mulai menata cilok nya dan bergegas untuk berkeliling ke tempat yang biasa ia lewati, penampilannya jangan di ragukan, kaus abu-abu di padu dengan hem bermotif kotak-kotak dan juga celana jeans kebanggaannya itu, membuatnya semakin teruwuw pokoknya.
“Bu, aku berangkat!” pamit Panji.
“Iya.”
“Assalamualaikum,” ucap Panji setelah mencium punggung tangan sang Ibu.
Bagaimana dengan Ayahnya? Ayahnya Panji tengah pergi ke rumah saudaranya bersama Yul, entah ada acara apa, Panji tidak tahu, tepatnya tidak mau tahu!
Setelah sampai di sekolahan Panji mulai membunyikan klakson motornya dengan bunyi yang khas, yang menjadi ciri khasnya saat berjualan. Dan saat itu juga anak-anak berkumpul mengerubungi Panji. Ah bahagianya Panji saat melihat anak-anak yang sangat antusias untuk membeli cilok nya. Andai saja setiap hari seperti ini, pasti cepat kaya si Panji. Waktu telah berlalu anak-anak sekolah pun sudah pulang, kini Panji berkeliling untuk menjajakan sisa cilok nya. Matahari pun sudah berada di puncaknya, dan hal itu membuat Panji kepanasan, ia pun memilih berteduh di bawah sebuah pohon besar dan ia meminum air mineral yang ia bawa.
“Mas! Jualan cilok ya?” tanya seorang gadis pada Panji.
Panji menatap gadis itu dengan sedikit aneh. Rambut lurus sepunggung yang di ikat dengan warna abu-abu di sisi luar dan biru toska di bagian dalam. Baju kaus kebesaran yang terlihat seperti seragam sebuah toko.
“Nggeh Mbak saya jualan cilok. Mbak mau beli?” tanya Panji.
“Maunya sih, di lamar sama Masnya,” ucap gadis itu.
Panji beristigfar mendengar ucapan gadis itu.
“Maaf, Mbak saya cari rezeki bukan cari jodoh,” ucap Panji.
“Elah serius banget, Mas. Aku beli tiga bungkus sepuluh ribuan.”
“Dari tadi ngapa bilang, pakai acara ngomong gak jelas dulu,” batin Panji.
“Ini pedas semua Mbak?” tanya Panji.
“Yang satu, dikit aja sambelnya, yang dua ful pedesnya.”
Dengan cekatan Panji menyiapkan cilok pesanan gadis bar-bar itu, sebenarnya Panji risih, tapi mau bagaimana lagi namanya pembeli kan bermacam-macam jenis dan bentuknya.
“Mas, namanya siapa?”
“Panji.”
“Saya, Arnela. Panggil Nela saja, panggil Sayang juga boleh kok.”
Ya gadis bar-bar bin aneh bin nyebelin di depan Panji itu adalah ARNELA alias Nela. Entah apa yang membuat dia pergi membeli cilok sendiri, biasanya kalau gak Nurul ya Ingka yang di suruh, tapi namanya rezeki ya pasti ada jalannya. Rezeki ketemu cowok ganteng maksudnya.
“Nih cilok nya Mbak, semua tiga puluh ribu,” ucap Panji sedikit kesal.
“Ih, Masnya ganteng-ganteng kok sewot aja sih,” ucap Nela seraya menyerahkan uang seratus ribuan.
“Ini kembaliannya, Mbak.”
“Panggil Nela saja Mas, biar lebih akrab. Aku kan pembeli setia kamu loh,” ucap Nela.
“Perasaan baru kali ini Mbak beli cilok saya!” ucap Panji. Memang kenyataannya seperti itu ia baru sekarang melihat gadis yang mengaku sebagai Nela itu.
“Biasanya temanku yang belikan Mas. Sekarang mereka sibuk jadi aku yang harus menggantikan mereka,” ucap Nela.
Panji hanya diam tak menimpali lagi ucapan Nela.
“Saya permisi dulu ya Mas, assalamu’alaikum. Semoga kita berjodoh,” ucap Nela seraya memberikan cium jauh pada Panji.
“Astagfirullah kok ada ya makhluk hidup seperti itu? Perasaan selama aku sekolah dulu tidak pernah bertemu cewek modelan kayak gitu,” gerutu Panji.
Ya Panji memang tidak suka dengan cewek yang modelnya bar-bar dan juga ceplas-ceplos, apa lagi yang tidak tahu malu terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada pria yang baru dia kenal, ya meskipun itu hanya bercanda saja tapi tetap saja hal itu sangat tidak nyaman baginya.
Panji mulai menjalankan motornya dan bersiap berkeliling lagi, tapi baru beberapa meter ia menjalankan motornya ia di cegat oleh cewek yang ada di depan sebuah toko baju. Dan cewek itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nela, si cewek bar-bar nan ngeselin bagi Panji.
“Mas, beli cilok nya lagi, tiga ya,” ucap Nela.
Panji hanya mengangguk saja tanpa mau menimpali ucapan Nela. Setelah selesai membungkus cilok pesanan Nela, Panji memanggil Nela.
“Cari siap, Mas?” tanya Nurul.
“Tadi cewek berambut abu-abu pesan cilok,” ucap Panji.
“Oh Nela?”
Panji hanya mengangguk.
“Loh, Mas kok ada di sini?” tanya Ingka. Ingka adalah pembeli setia Panji ketika ada di taman tadi, dia tidak keluar karena pengunjung toko lagi rame.
“Ngantar cilok,” jawab Panji singkat.
“Si Nela yang beli, tapi tau tuh anak ke mana,” ucap Nurul.
“Bukannya tadi dia udah beli ya?” tanya Ingka.
“Ini jadi gak ya? Teman kalian mana sih?” tanya Panji kesal.
“Jadi dong, nih uangnya,” ucap Nela yang baru datang.
Tanpa pikir panjang Panji mengambil uang dari tangan Nela dan memberikan cilok itu pada Nela.
“Eh, buru-buru banget! Gak duduk dulu Mas?” tanya Nela.
Tanpa menjawab ucapan Nela, Panji berlalu meninggalkan toko baju milik Nela.
“Nel, ngapain kamu beli cilok lagi?” tanya Ingka.
“Aku belum kenyang!” ucap Nela seraya memberikan dua bungkus cilok itu pada Ingka.
“Sudahlah, aku capek mau tidur sebentar nanti bangun aku ya?” ucap Nela.
“Ntar kalau udah kiamat aku bangunin kamu, sekalian kenalan sama Pak Iz!” ucap Ingka.
“Pak Iz? Siapa?” tanya Nela.
“Izroil!” ucap Ingka.
“Hamidun kamu Ing! Amit-amit ya, aku masih mau nikah masih mau menikmati indahnya dunia dan indahnya pahatan tubuh pria yang waw!” ucap Nela.
“Sak karep mu, Nel!” ucap Ingka.