Kang Cil?

1123 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Nela sudah menutup tokonya satu jam yang lalu, kini dirinya tengah berada di sebuah taman kota yang lumayan ramai oleh para muda-mudi yang nongkrong di sana. Nela tidak langsung pulang setelah menutup tokonya, ia ingin jalan-jalan keliling taman kota. Meskipun setiap hari ia melewati taman ini, tapi ia tak pernah menikmati ramainya dan indahnya taman kota ini. “Subhanallah, tuh cowok ganteng bener ya!” serunya saat melihat seorang pria yang lumayan lah. Namun saat ingin mendekati cowok itu, Nela justru tidak dapat melewati trotoar, sial banget ya. “Gak jodoh kali ya sama tuh orang. Sudahlah mau ja–“ Nela menghentikan ucapannya saat ponselnya berdering dan sang kakak yang meneleponnya. “Iya Mas! Ada apa?” “Kamu di mana?” “Di taman!” jawab Nela. “Cepat pulang! Ini sudah mau magrib.” “Baru juga jam lima, magrib nanti jam enam, aku mau beli bakso dulu, nanti aku pulang sebelum magrib, assalamu’alaikum!” Nela segera menutup teleponnya, sudah di pastikan jika sang kakak akan marah besar nanti. Dan jika ia pulang lewat dari Magrib, maka akan di pastikan, kelar hidupnya. Brak! Belum juga motornya berjalan, dari arah belakang ada seorang gadis yang menabrak motor Nela. “Innalilahi orang jatuh!” ucap Nela. Ah padahal dia yang jatuh. “Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja!” ucap gadis yang menabraknya tadi. “Wah, kalau nyetir itu kaki di pakai untuk mengerem dan tangan juga, nah sementara mata di pakai untuk melihat situasi. Jangan cuman cengengesan kayak kuntilanak saja,” ucap Nela sinis. “Maaf, Mbak!” “Maaf, maaf! Maaf gundulmu itu,” ucap Nela seraya membangunkan motornya. “Gak usah nangis, percuma! Gak guna! Lagian masih ingusan jam segini keluyuran,” ucap Nela dan ia pun tancap gas. Dasar Nela! Namanya saja Nela, selalu begitu bisa bikin orang lain emosi, tapi dia juga bisa emosi. Dengan terus saja menggerutu Nela menjalankan motornya. Dia tidak akan sadar jika Malaikat Atib dan Rakib, tengah mencatat setiap ucapannya. “Astagfirullah! Maafkan hamba ya Allah! Pak Kat, jangan catat setiap ucapan ku tadi ya! Nanti aku belikan penghapus kalau gak punya,” ucapnya saat ia sadar dengan berbagai macam jenis umpatan yang di ucapkan nya. Sungguh salah satu jenis manusia yang berkualitas tinggi dalam menjadi calon penghuni neraka. Para sayton akan senang jika melihat manusi model kayak Nela gini, tapi Nela juga tidak akan sudi didekati para sayton, itupun jika ia tahu, jika tidak ya mau bagaimana lagi, godaan syaiton itu sangat mengiurkan. “Lah, bukannya itu Kang Cil ya?” ucap Nela. “Kang Cil?” tanya Nela pada pria yang tengah berjongkok di sebelah motornya. Seketika itu sang pria mendongak. “Kang Cil?” kata pria itu. “Kang cilok! Hahaha!” ucap Nela seraya tertawa. “Wong somplak!” gerutu Panji. “Kang Cil, itu motor kenapa?” tanya Nela. “Kamu gak lihat kalau ini, mogok?” “Lihat sih. Tapi aku pura-pura gak tahu biar bisa tanya sama kamu,” ucap Nela seraya tersenyum genit. Panji bergidik ngeri melihat tingkah laku Nela yang menurutnya sangat memuakkan. Nela cemberut saat Panji tidak menjawab ucapannya, lalu ia duduk di sebelah Panji. “Sini! Dari tadi kok ya Cuma di otak-atik saja,” ucap Nela seraya mendorong tubuh Panji hingga terguling ke samping. “Hey ka–“ “Sudah toh, diam saja. Ini motor mogok karena businya mati, lagian dari tadi kok malah di pegang-pegang saja, lah mending pegang saya napa dari pada pegang motor,” ucap Nela. “Eh, cacing kermi! Gak usah sok tahu deh kamu!” ucap Panji. “Aku gak sok tahu, tapi sok tempe! Lagian kamu itu cowok, masa busi motor mati saja gak tahu? Eh tapi gak apa-apa sih, asalkan kamu tahu cara membahagiakan aku saja,” ucap Nela. “Astagfirullah! Amit-amit ya! Amit-amit!” ucap Panji. “Awas aja, kalau nanti jatuh cinta sama aku. Aku akan suruh kamu kasihkan cilok gratis sama anak-anak jalanan!” ucap Nela. “Gak usah nunggu jatuh cinta sama kamu, aku juga bakalan ngasih cilok gratis sama anak-anak jalanan!” ucap Panji kesal lalu mulai mendorong motornya meninggalkan Nela. “Eh, kang Cil, tungguin,” ucap Nela lalu menyusul Panji. “Ngapain sih ngikutin aku?” tanya Panji kesal. “Nih, pasang sono di motormu!” ucap Nela seraya memberikan sebuah busi. Dengan heran Panji enggan menerima busi dari Nela, ia merasa jika hal itu akan membuat Nela memanfaatkan hal itu untuk selalu mendekatinya. “Mau gak? Tenang saja ini tuh pas sama motormu, aku juga punya motor seperti ini di rumah,” ucap Nela. Panji pun menerimanya, daripada ia harus mendorong motornya sampai rumah yang jaraknya lumayan jauh dari sini. “Nah gitu dong! Nanti terima cinta aku ya!” ucap Nela. Panji seketika melotot ke arah Nela. “Ops! Tenang saja Kang Cil, jangan melotot ntar aku perkosa kamu di sini loh, kalau melotot! Sudahlah aku mau pulang bentar lagi magrib, gadis Sholehah harus pulang sebelum magrib biar dapat jodoh ganteng kayak kamu,” ucap Nela seraya menstarter motornya. Panji bergidik ngeri mendengar ucapan Nela. “Dadah, Kang Cil. Muach!” “Huek! Jijik!” ucap Panji. Nela tertawa terbahak-bahak seraya mulai menjalankan motornya. Baginya menjahili cowok seperti Panji sangatlah menyenangkan. Memang ia sadar jika hal itu tidak baik, tapi mau bagaimana lagi Nela tidak suka jika hanya diam-diam saja saat ada cowok ganteng yang ada di depan matanya. Namun meskipun begitu ia masih pilih-pilih soal tipe pria, jika pria itu genit, maka Nela akan menjauhinya. Jika cowok itu seperti Panji maka Nela akan selalu menggodanya sampai kesabaran cowok tersebut habis. Ngomong-ngomong soal Panji, Nela mengetahui nama itu dari Ingka, karena temannya itu pembeli setianya Panji, jadi ia tahu nama Panji. Berbeda dengan Nela yang tampak bahagia saat pulang. Panji malah melakukan banyak-banyak istighfar, dan berdoa agar tidak bertemu dengan Nela lagi. Sungguh, Panji tidaklah suka dengan gadis yang menyodorkan dirinya pada pria lebih dulu. Baginya hal itu sangatlah merendahkan kodrat seorang wanita. Jangankan yang seperti Nela, cewek seperti kakaknya saja, yang cerewet seperti radio rusak sudah membuatnya pening dan pusing. Entahlah kenapa Panji sampai tidak suka dengan cewek yang bar-bar, ia lebih suka cewek yang anggun lemah lembut dan tutur bahasanya lembut dan halus. Seketika pikiran Panji membayangkan jika Nela bisa lemah lembut dan juga feminim, pasti gadis akan terlihat cantik. “Astagfirullah, Ya Allah, kenapa aku harus ketemu sama cewek yang modelan kayak Nela itu,” gerutu Panji seraya mencoba menstarter motornya. “Alhamdulillah,” ucapnya saat motornya kembali hidup. “Tunggu sebentar kenapa aku jadi tahu nama gadis itu? Amit-amit!” ucap Panji seraya mulai melajukan motornya. Ia merutuki pikiran bodoh nya yang tiba-tiba saja membayangkan Nela jadi feminim, sungguh ia benar-benar merasa bodoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN