Eps 2.2

2292 Kata
Riani insomnia. Tidak dapat tidur beberapa jam ke belakang. Selain memang mengalami gangguan dalam tidur, hal lain yang membuatnya tak tidur kala itu adalah rasa kebeletnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Riani harus segera ke kamar kecil sesegera mungkin. Dia menyesal sedikit. Harusnya ketika makan malam beberapa waktu lalu, tak harus menambahkan cabai di nasinya terlalu banyak. Alhasil dia minum terlalu banyak juga karena memang nasinya pedas. Riani bangkit dari posisi tidurnya, berjalan perlahan sambil menahan sakit. Riani kelimpungan, harus keluar dan berjalan sendirian menuju kamar mandinya. Menyebalkan. Setelah berdiri di depan pintu, dia terdiam sejenak, menimbang. Ia harus keluar kemudian menyusuri koridor hingga sampai di kamar mandi. Namun dia terlalu takut karena ini sudah malam. Gelap. Riani masih berdiri di depan pintu. Tangannya diangkat ragu-ragu. “Re, Rere?” ucapnya, menoleh pada gadis yang tengah terlelap dipeluk selimut tebal. Riani berdecak sebal. Matanya kembali pada gagang pintu. Gadis itu sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya terus-terusan, harus segera menyelesaikan masalahnya sekarang juga, atau dia tidak akan bisa tidur pulas malam ini. Tak ada yang bisa Riani mintai bantuan, Rere sudah tidur pulas dan tidak bisa diganggu guat. Dia sedang mencerna makanannya dibarengi mimpi indah. “Kenapa harus sekarang?” gumamnya pelan. Tanganya ditaruh di bawah pusarnya, dengan badan yang ditekuk ke bawah sembari menahan rasa sakit menjalar di antara s**********n ke perut bagian bawah. “Oke, enggak papa, gue cuma harus lewat lorong. Gak masalah.” Nekat, ya memang harus seperti itu. Riani memberanikan diri, kemudian membuka pintu itu pelan-pelan. Tak mau membangunkan siapa pun yang bisa mendengarnya. Atau, karena memang dia tak mampu bergerak terlalu keras jika tak ingin apa yang ditahannya keluar begitu saja. “Kenapa harus di luar sih kamar mandinya? Kenapa gak di dalem kamar aja.” Setelah bergumam perlahan, dan membuka pintu kamarnya dengan terpaksa, akhirnya dapat melihat ruangan yang gelap sejauh mata memandang. Gelap! “Beneran gelap,” gumamnya pelan, melongokkan kepalanya di tengah kegelapan, belum benar-benar meninggalkan ruangan hangat dan penuh cahayanya. Riani perlahan menyusuri koridor hingga memboyongnya ke kamar mandi di ruangan paling belakang. Ia meraba-raba semua tempat yang dirasanya memang jauh dari benda-benda yang akan membuatnya menghalangi jalan. Kamar mandinya berada di sebelah ruangan dapur. Seperti yang diucapkan empunya jika penginapan ini sederhana, dan itu memang benar. Sangat sederhana. Rumah yang mereka sewa ini harganya juga murah, mungkin ini alasannya, fasilitas di dalamnya kurang nyaman. Hanya untuk ke kamar mandi saja, penghuni harus berjalan cukup jauh dari kamar yang ditempatinya. Perkataan tentang lampu yang belum diganti mengisi kepalanya. Sepadat kegelapan yang menyergapnya dari berbagai arah. Riani sampai merasa jika dari balik celah-celah gelap itu ada dua manik terang yang sedang mengamatinya diam-diam dengan mulut terbuka penuh air liur yang menetes. Mengerikan. Membuat bulu kuduk berdiri. “Ih, nahan biar gak bocor aja susah. Gue harus naha sambil jalan. Kesel.” Riani kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Setelah dengan susah payah mencapai kamar mandi, akhirnya sebuah pintu berwarna biru muda itu terlihat di ujung dapur. Riani berjalan lebih cepat, kemudian buru-buru meraih handle pintu dan masuk dengan cepat. Merasa nyaman setelah urusannya selesai, Riani lalu beranjak untuk kembali ke ruangannya. Ia ingin tidur. “Hah ... lega.” Riani berjalan sembari menghela napas nikmat. Riani sudah bisa kembali tidur kali ini, tak ada lagi kebelet, tak aka nada lagi insomnia. Waktu tidurnya sudah terbuang percuma tadi. Dia harus segera tidur sekarang sebelum mentari mulai tampak dan takkan punya waktu untuk istirahat lagi. Riani berjalan seperti semula, meraba-raba keadaan sekitar, melewati beberapa meja juga sebuah ruangan yang Riani pikir adalah sebuah kamar tidur tak terpakai. Kegelapan kembali membuatnya menggigil. Embus napas entah dari mana sukses membuatnya mematung. Merayap di tengkuknya. Dia mengabaikannya secepat datangnya. Setelah cukup jauh berjalan, Riani merasa aura di sekitarnya berubah, hawanya mendadak mencekam, perasaanya tak enak sekarang. Riani merasa ada angin dingin yang berlalu lalang di tengkuknya, lagi. Gadis berambut pendek itu mengerjap di tempat, celingukkan. “Doni? Rere?” katanya, mengelus tengkuk sembari melanjutkan langkah. Riani tahu betul, dan dia yakin jika ada sosok yang berdiri di dekatnya, tepat di depan ruangan kosong dapur. “Jangan iseng!” Tangannya masih mengelus pelan tengkuknya sembari sesekali merapatkan pelukan tangannya di d**a. Hawa dingin yang sebelumnya menjalar menjelajahi tengkuk Riani, kini terasa semakin menjalar ke seluruh tubuh. Ketika langkahnya tepat melewati sebuah pintu yang Riani pikir kamar kosong, bulu di tubuhnya semakin berdiri. Ada yang tak beres, pikirnya. Merasa ada yang mengikutinya dari belakang, Riani berjalan makin kencang sembari meraba keadaan sekitar, sesekali menengok ke belakang memastikan tak ada siapa pun di sana, di belakangnya yang gelap gulit. “Please, deh. Jangan kayak film horor.” Riani berlari kemudian menutup pintu kamarnya rapat-rapat, tak lupa mengunci dan berlari ke selimutnya yang terpasang rapi di tubuh Rere. “Geser.” Riani melompat, kemudian menerkam tubuh Rere yang diselimuti itu. Keringatnya sudah banyak, Riani ketakutan. Beberapa saat setelah Riani merasa aman dari sesuatu yang mengikutinya tadi, kini sebuah suara decit pintu terdengar keras di sunyinya malam. Riani tersentak, mengerjap di tempat, mendengarkan suara itu dengan saksama. Ia menurunkan selimutnya, dan menutupi setengah wajahnya. Pikiran Riani tidak macam-macam. Dirinya masih berpikir positif, yakin jika decit pintu itu berasal dari ruangan sebelah, dari kamar yang tertutup tadi. Pasti ada seseorang yang mencoba keluar dari kamar itu, pikirnya. Menilik dari keadaan tadi siang, Riani jadi ingat jika yang tidur di penginapan itu hanya mereka berlima saja dan tidak ada lagi selain si empunya yang memang sudah pulang sedari magrib. Riani kaget sejadinya sekarang. Jadi, siapa di sana? Karena Riani yakin jika tiga lelaki itu tidur di satu kamar yang sama. “Re, lo dengerkan?” tanyanya setengah berbisik. Riani membuka separuh selimut di wajahnya, kemudian pandangannya diarahkan pada pintu kamar. Mata Riani terbelalak ketika melihat gagang pintu kamarnya bergerak-gerak, ternyata pintu kamarnyalah yang mengeluarkan decitan itu. Kali ini dia benar-benar merasa seperti sedang berada dalam film horor. Riani tidak suka itu, benar-benar tidak suka. Tubuhnya mendadak terasa panas seperti sedang dibakar hidup-hidup. Melihat gagang pintu yang terus bergerak, membuat mata Riani terbelalak. Secepat penampakan itu muncul, secepat itu pula dia menggeleng mengenyahkan semuanya. Bukan, bukan hantu. Enggak ada hantu, batinnya bergelut. Decit gagang pintu itu makin keras, makin kencang, kemudian suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Riani mengerjap lalu menutup seluruh tubuhnya dalam-dalam dengan selimut. “Khh ... gak, itu bukan hantu. Enggak. Bukan.” “Re, lo belum tidur, kan?” bisiknya sembari terus mencoba membuat pikirannya membuang khayalan liar soal hantu. Ketika Riani mencoba untuk tidak mengingat dan mendengar suara itu, tiba-tiba suaranya hilang begitu saja. Gadis itu mengerjap lagi dan membuka selimutnya. Matanya menyusuri tiap sudut ruangan, menelisik apa saja yang akan menjadi kemungkinan aneh, termasuk kembali menatap gagang pintu yang sekarang jelas sekali tak bergerak. Riani mengembuskan napas lega. Itu pasti halusinasi, pikirnya. Baru saja perasaannya merasa lega beberapa saat, kemudian hal aneh lain terjadi lagi. Angin malam tiba-tiba bertiup kencang, menerbangkan gorden yang terpasang rapi di jendela. Riani kaget bukan main. Riani merasa sedang dipermainkan entah oleh siapa, yang jelas ini sukses membuatnya ketakutan. Gadis itu memiliki kepekaan yang sensitip. Dia memang bisa merasakan hal-hal yang tak wajar sejak kecil, tapi itu hanya sebatas merasakan, tak lebih, tidak sampai melihat wujud dan bentuknya. Gadis berambut sebahu itu melirikkan pandangannya perlahan pada jendela yang gordennya sedang tertiup. Dia tak ingin ketika melihat ke sana dan mendapati hal aneh yang tak ingin Riani lihat. Perasaan cemas dan takut sempat berkecambuk di pikirannya, Riani bisa menghapus semua itu setelah melihat jendela itu memang ada celah untuk angin masuk, di bagian ventilasi. Riani menghela napas lagi lega. Ia berdoa seraya menutup matanya. Riani ingin agar tidak ada lagi hal aneh yang mengganggunya. Nyatanya, semua belum berakhir ketika seseorang mengetuk pintunya berkali-kali. “Sekarang apa?” Riani kembali membuka matanya. Ia jelas mendengar seseorang di luar menyebut namanya, diikuti ketukan pintu dalam jumlah ganjil. Riani terbangun lagi. “Itu suara Rega,” gumamnya, lantas menyibakkan selimut di tubuhnya buru-buru. “Kok malem-malem?” Riani bangkit dari terbaring, kemudian melangkah menuju pintu kamar. Sudah Riani tanggapi sahutan dari luar kamarnya itu. Namun tetap saja masih menyerukan nama Riani dan mengetuk pintu itu tiga kali. “Ada apa, Ga?” katanya sambil membuka pintu. Riani melongo ketika pintu itu dibuka dan tidak ada siapa pun di sana. Entah dari mana suara yang menyerukan namanya beberapa saat yang lalu, tapi orang itu benar-benar tidak ada di sana. “Eh? Ga? Rega?” Riani celingukan. Ia mengulur panjang lehernya untuk mengintip koridor dari pintu kamar, lalu menolehkannya ke sisi lain. Tidak ada. Sepi. Selalu merasa dipermainkan, ketakutan melanda pikiran Riani. Gejolak cemasnya membabi buta. Gak mungkin gue berhalusinasi. Sungguh, ini bikin gue gak nyaman. Gadis itu membatin. Dengan berusaha berpikir positif, Riani kemudian kembali ke kamarnya. Namun langkahnya harus terhenti ketika suara aneh dan berat terdengar dari dalam ruangannya. Bergema. Mengerikan. Pulanglah, dan jangan kembali! Suara aneh. Sekarang sebuah suara terdengar. Halusinasi itu terasa kembali. Kali ini suaranya lantang dan penuh entakan, menyerukan Riani agar kembali. Riani yakin kali ini benar-benar tidak sedang berhalusinasi. Dia jelas sekali mendengar suara itu memerintahkannya untuk kembali, tapi kenapa? “Siapa?” tanya gadis itu ketakutan. Pulang! Seakan tak peduli pada pertanyaan Riani, suara itu kembali terdengar dan bahkan lebih lantang dengan entakan yang lebih kuat dari sebelumnya. “J-jangan ganggu gue. Pergi lo! Gue gak tahu siapa lo.” Riani celingukan di tempatnya berdiri. Menilik tiap sudut ruangan, mencari asal suara itu. Tak cukup hanya sebuah suara aneh menyeramkan yang menyuruhnya untuk kembali, kini Riani mendengar suara tawa yang entah dari mana asalnya. Suara itu seolah terkekeh-kekeh, membuat bulu kuduk merinding. Membangkitkan rasa takut yang amat sangat. “Pulang, pulang sana lo. Jangan ganggu gue!” teriak Riani mulai ketakutan. Darah dalam tubuhnya memanas. Riani menutup rapat telinganya, kemudian tubuhnya dalam posisi jongkok. Perasaan seperti ini bukan hal yang biasa Riani rasakan. Dahulu, Riani juga pernah merasakan hal semacam ini, hanya saja auranya tidak sekuat dan sebesar seperti sekarang. Kalianlah yang harus pulang, jangan kembali! Suara itu makin keras bergema di ruangan. Riani tidak tahu apakah suara itu bisa terdengar oleh yang lain, mengingat lantang dan kerasnya suara itu. Namun yang jelas Riani yakin hanya dia yang bisa mendengarnya karena Rere masih tidur tak terusik. “Pergi!” teriaknya lagi. Ruangan itu lengang sejenak setelah Riani memberikan titahnya beberapa saat lalu, hanya ada gorden yang tertiup angin saja. Gadis berambut sebahu itu menelan ludahnya lalu berputar di tempat mencari ke mana suara aneh itu pergi Angin malam bertiup lebih kencang dari sebelumnya, gemuruhnya terdengar lebih keras lagi. Riani agak merunduk ketika tahu gorden yang tadinya tertiup pelan kini semakin membabi buta bak akan copot. Dari balik gorden yang tertiup angin, sebuah kain putih dengan corak tanah kotor berdiri di depan jendela, ruangan lengang lagi untuk beberapa saat ketika mata Riani mendapati sesosok makhluk yang entah apa itu. Pandangannya tertunduk menatap lantai, rambut panjangnya menutupi seluruh wajahnya yang entah bagaimana rupanya, Riani pun tidak tahu. Tubuhnya membelakanginya. Makhluk itu hanya diam termangu di sana, tak tahu bagaimana ekspresi Riani ketika melihat sosoknya di sana. Kaki Riani bergetar otomatis, napasnya seakan berhenti begitu saja. Setelah semua rasa takut yang sejak tadi muncul dalam dirinya, kini penampakan itu menjadi puncak semua ketakutannya. Menjelema menjadi sosok mengerikan bergaun putih panjang. Pulanglah, dan jangan kembali! Tanpa memperlihatkan rupa sosoknya sendiri, dia kembali memberinya titah yang bahkan Riani pun tidak tahu apa maksudnya. Sesaat Riani berharap jika sosok itu tak akan menatap ke arahnya. Namun Riani tak bisa menghentikan itu. Sosok yang sejak tadi menatap lantai, tiba-tiba mengangkat pandangannya. Wajahnya yang busuk penuh luka mengeluarkan darah. Matanya hitam dengan bola mata putih mengilap. Kepala makhluk itu bergerak-gerak miring, membuat cairan-cairan segar merah berjatuhan. Riani diam, mati kutu. Perutnya melilit mual. Ia tak tahu harus berbuat apa, kakinya terasa membeku, tubuhnya tak bisa digerakan. Ini pertama kalinya Riani melihat makhluk seperti itu. “Ka-ka ....” Bibirnya bahkan terasa kebas. Dia sama sekali tidak bisa mengucapkan apa pun untuk mengutarakan ketakutannya. Pergi. Pergi! Makhluk itu menguntap beberapa kali. Suara yang keluar dari mulut sobek busuknya bergema, memekakan telinga. Setelah mengucapkan beberapa kata yang entah apa itu maksudnya, makhluk mengerikan itu hilang. Benar-benar hilang. Riani tersadar, kemudian melirik ke arah kanan dan kirinya. Tubuhnya mendadak lemas dan ambruk di lantai. Semua yang dia lihat tadi mengisap seluruh kekuatannya. Apa pun itu, Riani bersyukur jika makhluk itu sudah pergi dari hadapannya. “Eh? Ke mana makhluk itu?” ** Riani termenung di pojokan. Pikirannya masih tertuju pada kejadian semalam. Batinnya bergelut antara percaya atau tidak. Dia masih yakin jika hal yang dialami semalam adalah mimpi buruknya, tapi mengingat soal rasa sakit yang dirasakan ketika menahan kebeletnya bisa dibilang itu kejadian yang nyata. Riani belum bercerita pada siapa pun. Ia tidak ingin ucapanya dianggap lelucon. Terlebih jika Soni tahu, itu akan dijadikannya olok-olok, dia akan mengira Riani hanya mengada-ngada dan ingin pulang saja. Riani terdiam sejenak, napasnya ditarik perlahan kemudian dilepaskannya secara teratur, mencoba membuat pikirannya tenang. Gadis itu beranjak dari duduk termenungnya lalu berjalan perlahan menuju teman-temannya yang diam menunggunya dari tadi. Riani mencoba tak terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Apa lo baik-baik aja?” “Sejak datang ke sini lo banyak diem. Apa lo sakit?” tambah Soni. Riani menggeleng. “Gue bilang kalau gue enggak apa-apa. Lagian, kita udah di sini. KKN udah harus dimulai hari ini.” “Tapi kalau kamu sakit, jangan maksain, Ni. Kami masih bisa menunggu. Doni bisa bantu kamu ke---“ “Gue baik-baik aja, Re,” potongnya. Keempat temannya saling pandang. Tak lama mulai berpencar untuk masuk ke mobil dan mengambil posisi masing-masing. Sebelum masuk, Doni menatap lagi pada Riani yang masih diam menunggu. “Siap berangkat?” Sambil tersenyum, Riani mengangguk yakin. “Oke.” Rega mengangguk mengiakan ucapannya, Rere tersenyum lebar. Gadis berambut kuncir itu antusias dua kali lipat dari sebelumnya. Rere benar-benar tidak sabar ingin segera sampai di Galunggung.  “Huft ... oke, aku siap.” Riani mengangkat pandangannya, kemudian tersenyum pada keempat temannya. “Oke. Galunggung, kita datang,” teriak Doni, diikuti teman-temannya yang juga bersorak ria. Setelah membayar sejumlah uang sewa pada pemilik penginapan, mereka mulai meluncur menuju kawasan gunung Galunggung, mengambil rute menuju sebuah desa kecil, bernama Tawang Banteng, kemudian memelesat hingga Kawah Cipanas, Galunggung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN