Eps 3.1

2031 Kata
Gunung Galunggung dengan ketinggian 2.168 m di atas permukaan laut, pernah meletus empat kali dalam beberapa tahun terakhir. Pada letusan ketiga, tepatnya tahun 1918 pada awal bulan Juni, Galunggung menghasilkan kubah lava baru setinggi 85 m dengan ukuran 560 x 440 m persegi. Pada tahun1982, Galunggung kembali memuntahkan lavanya dan menghancurkan kubah lava hasil dari letusan ketiga dan membentuk danau baru di atas gunung, kemudian daerah inilah yang sekarang dinamakan kawah. Masyarakat Tasikmalaya percaya, jika di dalam danau tersebut hidup satu makhluk yang sangat besar. Mitos hanya sebuah isu belaka dan hingga kini belum pernah ada yang secara langsung melihat makhluk itu menampakan diri. Namun dengan mitos tersebut membuat sebagian warga di daerah sana memilih untuk tidak mengambil risiko. Untuk mereka yang percaya, tetap menjauhi larangan. Namun bagi yang tak meyakini, tak membuat mereka ikut campur dan menganggap semua itu hanya isapan jempol belaka. Entah siapa yang mencetuskannya, kawasan Galunggung menjadi sebuah tempat wisata yang banyak dikunjungi masyarakat baik dari Tasikmalaya sendiri ataupun dari luar kota. Sebuah pemandian air panas. Itu menjadi daya tarik yang ada di Galunggung. Riani menutup bukunya setelah mendapat infomasi baru tentang Galunggung selama perjalanan ke puncak gunung itu. Jalanan sejak tadi terasa sepi dan baik-baik saja, melewati perkampungan dan pesawahan yang terlihat menghijau. Doni menyerahkan tugas menyetirnya pada Rega. Sementara Soni duduk nyaman di belakang menatapi jalanan. Perjalanan ini terasa membosankan. Suasana panas menyeruak masuk melalui jendela kaca yang dibuka seperempatnya. Selain itu, angin sepoi juga terasa begitu menyejukan. Benar kata Doni, jika Tasikmalaya sudah terasa panas sejak beberapa tahun terakhir. Terlihat dari fatamorgana yang melambai-lambai di jalanan aspal yang mereka lewati. Di sampingnya berjejer pesawahan yang masih hijau. Wanita paruh baya terlihat tengah membongkok di dalamnya, mereka sedang ngarambet, atau bisa diartikan membersihkan tanaman liar yang tumbuh di sela-sela padi yang baru ditanam. Tidak hanya itu, pria dewasa di sisi lain sawah tengah memboyong sebuah traktor, atau dalam bahasa Sunda mereka menyebutnya dengan ngawuluku/ngelaktor yang jika diartikan adalah kegiatan di mana mengolah tanah sebelum ditanami padi. “Pengin, asik pasti,” ucap Rere sambil menatapi dua orang lelaki paruh baya sedang mencangkul di sawah. Dia menyeringai, menatap Doni lewat kaca spion dengan tatapan memelas. Doni menganggak membalas senyum merekah yang penuh kelalahan. “Gak!” Soni menyambar. Perkataan Rere hanya alasan agar dirinya bisa bermain kotor-kotoran di sawah. Itu jelas tidak perlu dilakukan. “Kita bisa teliti lumpur di sawah itu, Soni!” jawab Rere, merengut sebal sambil menunjuk muka Soni. Gadis itu menaruh kedua tangannya di d**a, kemudian menatap Doni untuk meminta izin. Namun sayang, Doni malah mendukung Soni, membuat gadis itu semakin kesal. “Enggak usah. Kandungan yang ada di dalam tanah pesawahan sudah diteliti. Mereka sudah menemukannya,” balas Doni, menoleh ke belakang. “Fosfor lebih mudah tersedia dalam tanah pesawahan. Selain itu, keberadaan fosfor sangat baik bagi padi,” jelas Doni. “Tanah juga memiliki sifat kimia, dan semua itu mengalami perubahan setelah proses penggenangan. Seperti turunya kadar oksigen, pertumbuhannya potensial redoks, perubahan pH tanah, reduksi Ferri menjadi Ferro serta---“ “Sudah cukup, aku tahu,” potong Rere sembari menolehkan pandangannya pada Doni. Pria yang tengah menjelaskan itu mendengus kesal. Benar-benar menyebalkan. Sudah sekitar empat puluh menit lebih mereka menempuh perjalanan menuju Galunggung semenjak keluar dari penginapan. Waktunya terbilang cukup cepat, karena memang tidak begitu banyak macet di Tasikmalaya. Selain itu jalur yang menuntun mereka hingga kawah Galunggung seperti memiliki jalur sendiri. Maksudnya ada jalur khusus yang dibuat untuk mencapai Galunggung. Perjalanan yang lancar juga tak luput dari mudahnya informasi yang mereka dapat ketika mencapai Galunggung. Tak banyak tanya-tanya pada warga setempat soal jalur, karena mereka punya sebuah peta digital. Hanya sekitar seperempat perjalanan lagi hingga mereka memasuki kawasan Galunggung. Jalanannya tak begitu banyak kendaraan, masih sekitar satu-dua motor juga mobil yang terlihat selama perjalanan. Setelah cukup dekat, terlihat lonjakan tanah yang menjulang tinggi ke langit, puluhan bahkan sampai ratusan pohon pinus tumbuh di sekitaran Galunggung. “Itu Galunggung, kan?” tanya Rere sembari mengeluarkan kepala lewat jendela, menilik tiap inci lonjakan tanah yang menjulang tinggi ke angkasa. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan. Belum lagi pohon-pohon yang tumbuh di sekitar jalan menuju pintu masuk. Walau terlihat gelap dan rimbun, tapi tetap indah dan nyaman dipandang. “Iya, itu Galunggung, cuma masih anaknya. Maksudnya bukan induk gunung,” balas Doni. Rere mengangguk takjub menanggapi. Tempatnya KKN ini benar-benar luar biasa. Apa dia akan menemukan hal menarik di sana? Rere menggeleng tak tahan. Dia ingin segera sampai di lokasi. Jelas, KKN adalah hal yang tidak dia sukai, tapi jika lokasinya seindah ini, apa dia akan masih merasa bosan dan tak suka? Tidak! “Ada berapa anak tangga di sana?” tanya Rere lagi ketika matanya menangkap rentetan balok putih yang berjejer naik mengikuti kemiringan tanah Galunggung. Gadis itu masih menggeleng takjub. “Sekitar 600 lebih lah.” Soni menanggapi ucapan Rere kali ini. Tatapan pria itu tak lepas dari ponsel pintar di tangannya. Menaikturunkan jempolnya bagai sedang membaca artikel. “Eh, sok tahu!” Riani dengan cepat menggubris ucapan Soni. Dia terkekeh-kekeh. Buku tebal masih ada di pangkuannya. Tentu saja bagi Riani info itu bukan hal yang baru, tapi jika Soni yang mengatakannya, akan terdengar seperti sebuah kebohongan. “Gue baca di google-lah.” Tangannya menunjukan ponsel putih dengan layar yang menampilkan tulisan-tulisan kecil. Senyum jahil merekah di bibirnya yang merah. “Pantesan pinter,” ketus Rere. Sudah dia duga, Soni tidak mungkin tahu soal Galunggung itu di kepalanya. Tak akan pernah! “Menurut sejarah yang gue baca, Galunggung memakan banyak korban dari letusan-letusan yang udah terjadi selama empat kali. Kalian bisa bayangin betapa ....” Riani mengantung ucapannya. Tatapannya tertuju pada Doni yang ada di belakang. “Betapa menderitanya Tasikmalaya saat semua itu terjadi.” “Gila, sih. Apa enggak ada, yaa campur tangan orang-orang dalam atau semacam guru kunci gitu buat bantu mengusir bala?” tanya Rere penasaran. Punduknya mendadak meremang hanya dengan memikirkannya. “Gue rasa ada aja, tapi kuasa Tuhan siapa yang bisa menolak? Bahkan sekuat-kuatnya dukun, pasti kalah kalau lawannya bencana alam.” Doni menanggapi ucapan Rere. Gadis itu mengangguk-anggukan kepalanya seolah paham apa yang dikatakan Doni barusan. “Dari apa yang beredar di masyarakat, tentu dari mulut ke mulut, Galunggung memang lokasi yang indah dan tentram. Enggak ada apa pun. Itu yang berhasil gue dapatkan,” tambah Riani. Gadis itu memilik banyak pengetahuan akibat hobi membacanya. Maka tak heran, jika ada apa pun yang tak Rere ketahui, dia akan langsung bertanya kepada Riani. Mengesankan. “Tapi siapa yang tahu, kan?” sambar Rega santai. Semua orang menoleh ke arahnya. “Memang,” jawab Riani santai. Setenang embusan angin menerpa ranting pohon kaliandra. “Pokoknya, gue jamin kalau Galunggung memang aman. Jadi santai aja. Kalau ada sesuatu yang ... ya, terasa ... aneh. Gue rasa itu hanya proses adaptasi tubuh kita sama lingkungan di sini. Santai.” Doni mengangguk-anggukan kepala, menguatkan ucapannya sendiri agar teman-temannya tak merasa cemas. Meski begitu, Riani tetap merasa dirinya tidak baik-baik saja saat memikirkan semua hal mengerikan yang dia temui belakangan ini. Apalagi soal mimpi menyeramkan itu. Siapa yang tahu jika ketiga temannya juga mengalami mimpi buruk sama seperti dirinya dan Doni, hanya saja tak ada yang berani angkat bicara. Bagaimana jika semua itu adalah petunjuk? Siapa yang tahu. Riani menggeleng. Mencoba mengenyahkan pemikirannya yang melantur. Jangan terlalu dipikirkan. “Oke, kita lanjutkan,” teriak Doni, mengangkat tangan. Teman-temannya melakukan hal yang sama dan perjalanan pun berlangsung begitu saja setelah percakapan panjang mahasiswa geologi tersebut. Sejauh ini tak begitu banyak hambatan yang ditemu selama perjalanan, masih seperti sebelumnya, hanya satu hingga dua mobil saja yang mereka temui. Dengan hal itu, Rega berinisiatif untuk mempercepat laju mobilnya, pikirnya semakin cepat, makin baik. Rega menginjak gas di kakinya lebih dalam, menaikkan laju kendaraanya beberapa kilometer dari sebelumnya. Memang nyaman ketika jalanan tak ada hambatan. Laju mobil yang mereka naiki sudah dua kali lipat dari sebelumnya, hingga beberapa meter kemudian mereka mengalami sesuatu. “Astaga, astaga. Regaa, apa itu?” teriak Riani, diikuti Rere yang terkejut karena Riani tiba-tiba berteriak begitu saja. Semua orang yang sejak tadi diam kini dibuat panik. “Astaga, Rega, berhenti, Rega. Berhenti.” Riani memukul-mukul pundak pria di depannya untuk berhenti. “Apa, sih?” tanya Rega kesal. Dia menoleh pada Riani, memelankan laju mobilnya sambil meringis kesakitan. “Berhenti dulu. Berhenti. Lo baru aja ....” Mobil mereka harus berhenti. Pasalnya, mobil yang mereka tumpangi baru saja .... Menggilas seekor kucing yang tengah menyebrang jalanan. Rega menginjak remnya dalam-dalam, membuat semua orang terpental ke depan. Rere yang ada di belakang menjerit saat kepalanya membentur jok mobil. Dia meringis sambil memukuli Rega. Doni dan Soni celingukan di tempat. Wajah mereka sama tegangnya dengan Riani yang kini mulai melepas sabuk pengaman dan bersiap akan keluar mobil. “Apa? Gilas kucing?” teriak Soni setengah bertanya. Dia tak tahu soal itu. Pemuda itu celingukan, menatapi teman-temannya yang kini mulai berlarian keluar mobil. “Iya. Ya ampun, Rega, kamu sih ngebut.” Rere menekan ucapannya dengan kesal. Ia panik di tempat. Ikut-ikutan membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu mengikuti Riani yang sudah berdiri di luar. “Dih, bukan salah gue kali.” Rega menyangkal ucapan Rere. “Udah, udah. Ayo turun! Kita cek kucingnya.” Doni membuka pintu sebelahnya, kemudian disusul Soni yang keluar setelahnya. Riani dan Rere berpegangan tangan. Wajah mereka tegang. Ketika Rega turun, Rere berlari ke arahnya dan ikut mendekati Doni yang ada di belakang mobil. Dengan segera mereka berlarian ke belakang mobil untuk mengecek mayat kucing yang baru saja dilindasnya. “Gimana?” tanya Rega ketika melihat Doni membungkuk mencari ke bawah mobil. Beberapa jenak lelaki itu diam tak menjawab. Matanya masih mencari sesuatu di sana. Doni bangkit, diikuti tatapan teman-temannya yang meminta jawaban. Mereka sama paniknya karena mengingat mitos tentang seekor kucing yang selalu menyebrang jalan. Jika ada hal seperti itu, akan ada hal buruk menimpa. Maka dari itu, semua terlihat khawatir. Terlebih Riani. Dia makin dibuat merinding hanya dengan mendapati fakta jika mereka baru saja menggilas kucing. Namun hasilnya sama sekali di luar dugaan. Mobil yang mereka kira telah menggilas seekor kucing malang itu nyatanya baik-baik saja. Setelah Doni cek, tak ada apa pun di sana selain asap mobil yang masih mengepul. Doni yakin jika ban mobilnya bersih. Tidak ada bercak darah yang berceceran dari muncratnya tubuh kucing malang itu. Juga tidak ada bekas lindasan di bannya. “Enggak ada,” jawab Doni, menatapi satu per satu temannya. Menggeleng. “Eh, kok, kucingnya gak ada?” Soni bertanya heran. Dia memeriksa bawah mobil, lalu memastikan ban mobilnya benar-benar bersih dari darah atau apa pun yang berhubungan dengan kejadian barusan. “Masa, sih? Cari lagi. Kamu salah lihat kali,” kata Rere. Gadis itu membungkuk dan mengintip ke bawah mobil. Namun hasilnya sama saja. Tidak ada apa pun. “Kok bisa?” tanya Rere heran, menatap Riani. “Jelas kok tadi Rega nabrak kucing,” sambung Riani sembari panic, menggosok sikutnya beberapa kali. “Iya, gua juga ngerasa kok,” ucapan Rega meyakinkan hipotesa Riani. “Halusinasi?” tanya Doni. Alis matanya naik, kulit dahinya berkerut. “Gak mungkin. Kita semua ngerasain kok,” sangkal Soni. “Abis, apaan dong? Masa kita semua halu. Engggak mungkin, kan?” Rere melirik keempat temannya bergantian. “Gue jadi makin khawatir nih.” Riani menggosok sikutnya lagi, kini semakin kencang. “Santai, Ni. Kita lanjut, ya?” ucap Doni setengah bertanya. Merasa seperti ada hal janggal yang mereka rasakan, kelimanya bertatapan kemudian alis matanya saling naik-turun. Mengisayaratkan pertanyaan yang sama di benak mereka. “Anggap aja kita sama-sama halusinasi,” tambah Doni. Lelaki itu tidak melihatnya sendiri ketika kucing itu melintas di jalan. Namun dia merasakan guncangan ketika mobil itu menggilas sesuatu. Anehnya, ketika diperiksa, tidak ada apa-apa selain keheningan yang mulai membuat mereka khawatir. Semuanya mengangguk dan mulai kembali ke mobil. Doni tidak ambil pusing soal hal itu, toh jika pun benar mereka menggilas kucing, mereka akan tanggung jawab dan menguburkannya dengan layak. Namun pada kenyataanya tidak ada, jadi Doni tidak usah ragu lagi. Mereka harus melanjutkan kegiatannya. Sebelum masuk, Rega menatap Doni yang masih mencoba memecahkan misteri kecil itu. “Beneran enggak apa-apa, kan?” tanya Rega. Doni hanya mengangguk. “Iya. Buruan masuk!” ucap Soni kesal dari dalam mobil. Rere tidak suka, meringis. “Udah, gak usah dipikirin. Bentar lagi sampe di lokasi.” Riani menggosok sikutnya beberapa kali sambil menatap ban mobil. Dia merasa hal aneh semakin banyak mendatangi kelompoknya. Ada apa sebenarnya? Apa hal yang berkaitan dengan kucing adalah sebuah petunjuk? Bencana? Atau apa? Dia menggeleng mengenyahkan pemikiran itu sambil masuk ke mobil. Semuanya terasa semakin mengerikan. Riani pun belum berbicara tentang seluruh tanda-tanda itu kepada teman-temannya. Soal wanita berpakaian panjang, tentang anak kecil bermata hitam, dan sekarang tentang kucing yang menyebrang jalan. Apa pun itu, dia tak ingin memikirkannya, dan tak ingin sesuatu terjadi pada mereka. Riani berharap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN