Mereka sampai di depan gerbang karcis setengah jam kemudian setelah perjalanan menegangkan penuh kengerian.
Bayang-bayang tentang kucing itu tetap menghantui, walau sebagian dari mereka berusaha melupakannya.
Rega memelankan laju mobilnya saat moncong benda roda empat itu tepat di depan pintu. Disusul oleh kedatangan dua lelaki paruh baya yang tengah memegang gepokan kertas biru.
Doni menoleh ke teman-temannya bergantian. Dari tatapan itu, dia tahu mereka gelisah, tapi tak terlalu membebani pikirannya.
“Kita sampai,” kata Doni.
Suasana di area depan Galunggung terasa mencekam. Penuh aura dingin, merembes di sela-sela ventilasi mobil. Mereka bisa merasakannya meski di tengah cuaca panas.
Rere menggigit bibir bawahnya menatapi dua orang yang ada di ambang gerbang. Mereka mulai mengetuk kaca seiring mobil yang perlahan merapat ke arah dua insan itu.
“Selamat siang. Selamat datang di Galunggung,” ucap lelaki tambun yang sedang tersenyum ke arah Rega sambil membungkuk pelan.
Rere merasakan sesuatu yang tidak enak dari paras lelaki bertubuh besar di samping mobil jazz itu. Ada yang aneh.
“Siang. Kami harus bayar, ya?” tanya Rega saat lelaki bertubuh kurus membuka lembar karcis sambil menatapi wajah Rega yang penasaran.
“Tentu saja. Kalian sebagai pengunjung harus membayar biaya masuk,” jawab lelaki tambun itu. Rega mengernyit mendengar jawaban si lelaki. Ini tidak seperti yang diceritakan Doni kemarin.
“Karcisnya Rp. 35.000; satu mobil,” tambahnya.
Pria bertubuh besar itu to the point memberitahukan harga karcis masuknya.
“Tapi kami mahasiswa KKN dari Bandung. Bukannya sudah dapat izin langsung? Masih harus bayar, ya?” tanya Rega sedikit kesal. Lelaki di sampingnya terkekeh-kekeh sambil menggeleng pelan.
“Tapi kalian tetap pengunjung, kan?”
Rega hanya mendengus sebal. Dia tak mau berdebat lagi.
Akhirnya Rega menoleh ke arah Doni, meminta jatah untuk membayar pria gempal yang tengah berdiri di samping mobilnya. Lelaki besar itu menatap Riani serta Rere lamat-lamat untuk beberapa jenak, kemudian tersenyum tipis. Rere mengangguk sopan membalas tatapan pria besar itu.
“Selamat datang, silakan masuk.”
Soni terkekeh-kekeh melihat wajah Rega yang merah di kaca spion. Dia ingin ikut meledeknya, tapi Soni tahu betul jika lelaki itu sedang tidak dalam mood yang baik. Akhirnya memilih diam dan menatap jalanan.
“Nyebelin, ya,” gumam Soni masih terkekeh-kekeh.
Rega membawa mobilnya ke arah kiri setelah memasuki gerbang, memilih sebuah parkiran di halaman depan gubuk tua samping sebuah warung yang tidak begitu ramai.
Suasananya benar-benar mencekam, dingin, dan sepi. Aneh sekali, tidak seperti informasi yang didapatkan, jika Galunggung selalu ramai oleh pengunjung. Mata Rere memindai tiap sudut halaman, terlihat dua ekor anjing yang terbujur di depan gubuk, kemudian seorang nenek tua yang terduduk di sebuah babancik.
Tangannya anteng memainkan rambutnya yang putih beruban. Sesekali menendang anjing-anjing yang tengah tertidur di bawah kakinya.
Rere merasa iba dengan nenek tua itu. Menyedihkan sekaligus menyeramkan.
Doni turun lebih dulu, kemudian berbincang-bincang dengan penjaga karcis, membicarakn soal perizinan yang pernah Doni bahas dalam telepon. Dia bilang sudah dapat izin dari tetua di lokasi.
“Kalian bisa ambil rumah di sebelah kolam renang di dalam sana,” ucap pria gempal itu sambil menunjuk ke arah jalanan ditumbuhi pepohonan kaliandara.
“Niatnya kami mau mencari di kawasan luar, Pak.”
“Silakan saja. Di mana pun sama saja.”
“Tapi kayaknya lebih baik di sini saja. Enggak harus bayar terus karcis, kan?” tanya Doni setengah terkekeh. Pria gempal itu merengut tak suka.
“Kalau untuk tidur, bisa pakai penginapan saja. Ada Aki yang biasa siapin pamondokan. Kalian hanya perlu lurus saja ke sana,” jawab si pria gempal. Doni mengangguk dan berterima kasih untuk itu.
Mereka harus mencari penginapan terlebih dahulu.
Awalnya Doni menyarankan untuk mencari penginapan di luar kawasan Galunggung. Namun mengingat ongkos masuk dan ongkos jalan yang akan selalu keluar setiap harinya, kemudian dia berpikir ulang dan memilih tempat di sekitar Galunggung.
Di sisi lain, mereka juga lebih leluasa untuk menikmati tempat wisata Galunggung jika penginapan mereka masih berada di dalam gerbang. Meski perizinan untuk tinggal di kawasan itu awalnya dipersulit tapi pria bertubuh gempal itu menimbang kembali dan mengiakan beberapa bisikan dari temannya yang tubuhnya berbanding terbalik denganya.
Doni tidak ingin mencari rumah yang lokasinya jauh dari apa pun. Katakan saja strategis.
Jika dia tahu tentang apa yang Riani alami malam itu ketika kesulitan mencari kamar mandi, maka Doni yakin sekali akan mencari penginapan yang kamar mandinya ada di dalam rumah.
“Udah?” tanya Rere ketika melihat Riani dan Doni mendekati mobil. Riani baru saja selesai, berjalan keluar dari kamar mandi di sebelah warung dekat nenek tua tersebut.
“Udah. Kita bisa lanjut,” jawabnya.
“Jadi, kita mau tidur di mana?” tanya Rega sembari menoleh ke belakang. Doni masih duduk anteng di bangkunya.
“Jika memang di dalam sana ada pemandian air panas, berarti banyak rumah dan warung, kan. Kita bisa cari penginapan di sana. Tadi bapak itu bilang kita bisa pakai rumah yang disewakan Aki,” jawab Doni sembari menunjuk ke arah jalan raya yang menuntun masuk kawasan air panas.
Semua temannya mengikuti ke mana arah jari Doni ditunjukkan.
“Gimana?” sambung Doni.
“Boleh sih, ayo aja.” Rega setuju. Soni mengangguk, dan dua gadis sisanya hanya tersenyum. Mereka percaya pada kepemimpinan Doni.
Setelah semuanya setuju dengan apa yang dikatakan Doni, akhirnya Rega menancap kembali gas di kakinya dan menysuri sebuah jalan raya yang dibuat khusus mencapai kawasan air panas.
Menilik dari lahannya yang cukup luas, bisa dibilang perawatan dan pengelolaan wisata ini cukup baik. Ketika memasuki gerbang saja, terhampar rumput yang tumbuh di sepanjang pinggiran jalan, lalu pohon-pohon yang memang khas Galunggung tubuh di area tersebut.
Ada sebuah pohon yang memang hanya tumbuh di kawasan Galunggung, daunnya lebih mirip dengan petai, Namun memiliki bunga merah yang hampir serupa dengan bunga kumis kucing. Mereka menyebutnya kaliandra.
Dari pinggiran tebing yang berjejer di sepanjang jalan, terlihat beberapa kera bergelayut di cabang pohon. Mereka bermain mengikuti arus mobil.
Soni dan Rere menangkap gambar mereka melalui ponsel sambil tertawa riang. Riani yang awalnya merasa murung karena terlalu banyak memikirkan kejadian misterius, kini ikut tertawa melihat tingkah lucu hewan primata tersebut.
Setelah cukup jauh, kelimanya sampai di tempat pembayaran karcis lagi, hanya sakadar membayar untuk menaruh mobil. Harganya hanya dua ribu rupiah. Dua orang bertubuh kurus berdiri di depan mobil, mereka meminta uang untuk karcis.
Tatapan yang mereka pancarkan terarah langsung pada kelimanya, ada kesan mengerikan dari tatapan yang diberikan, lebih seperti perkataan yang disampaikan dalam isyarat, “Selamat datang dan nikmati siksaanya.”
“Bayar lagi?” tanya Soni dari kaca belakang. Pria yang memakai topi abu-abu itu menoleh sinis ke arah Soni.
“Masuk kamar mandi aja bayar, Nak,” jawab pria bertopi itu.
Skak mat, Soni tidak menjawab lagi.
“Baiklah, berapa?” Walau pada awalnya merasa jengkel, akhirnya Rega mengiakan. Dia meminta jatah lagi pada Doni untuk membayar karcis kedua.
“Dua ribu kok murah,” jawabnya.
“Ini Pak. Terima kasih.”
“Ya, silakan masuk.”
Kedua pria itu berjalan ke samping dan tersenyum.
Pada dasarnya memang adat sundalah yang ditonjolkan di sini, jadi beberapa bangunan yang berdiri sejauh mata memandang menampilkan bentuk-bentuk yang lebih tradisional. Ada begitu banyak rumah dengan atap yang terbuat dari gumpalan ijuk, atau dari beberapa helai daun kawung, sebuah pohon yang lebih mirip kelapa.
Rere antusias lagi.
“Tuh, itu tuh. Rumah itu aja, bagus,” tunjuknya sembari girang tak ketulungan.
Rere menunjuk sebuah rumah yang menghadap langsung ke arah Gunung Galunggung. Pun pandangan yang terarah langsung ke sebuah lapangan pusat pasar.
Bentuknya unik, ukurannya sederhana, beratapkan ijuk dan dindingnya dari anyaman bambu. Rere terpikat, suka bangunan unik itu. Lebih seperti Sunda pisan.
“Yaudah. Ayo kita ke sana.”
**
“Assalamualaikum,” ucap Rere ketika dia berdiri di depan rumah berbahan bambu yang dianyam, dicat warna putih yang sudah menghitam karena debu jalanan.
“Punten(permisi). Assalamu’alaikum.” Rere mengulang ucapan salamnya. Dia celingukan mencari si empunya. Keempat temannya berdiri di belakang. Doni ikut mencari.
“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam. Rere tersenyum.
“Permisi. Apa di sini bisa dipakai penginapan?” kata Rere langsung. Rega menyikut rusuk Rere, kemudian menyeretnya kebelakang. Benar-benar tidak sopan.
Gadis itu menatap Rega tak suka. Riani hanya menggeleng. Di tangannya ada buku tebal.
“Maaf, Pak kami dari Bandung. Kami datang untuk suatu kegiatan di daerah sini. Kami di sini sekitar dua sampai tiga bulan. Jadi dalam waktu selama itu, kami perlu tempat untuk menginap.”
Rega tidak menyelesaikan ucapannya, melirik Doni yang tersenyum di belakangnya. Rega peka lantas perlahan mundur. Bukan maksud Doni ingin sok menjadi ketua, bahkan Doni tidak menyuruh Rega untuk mundur.
Melihat hal itu, Doni mulai mengambil alih dan menjelaskan kedatangan mereka ke Galunggung.
“Kami butuh penginapan. Bapak penjual karcis bilang, kami bisa mendapatkan penginapan di sini. Benar ini Aki yang jaga penginapan untuk kami?” tambah Doni yang kini sudah berada di depan Rega.
“Oh, dari Bandung, ya. Jauh juga, atuh sok-sok masuk dulu.”
Keempat teman Doni merengut ketika mendengar kakek itu berkata dengan aksesn Sunda yang kental. Kata-katanya diucapkan dengan aksen asli khas Sunda.
“Oh, terima kasih, Pak,” balas Doni, kemudian mempersilakan teman-temannya lebih dulu.
“Janten eneng-eneng sareng ujang anu karasep ieu teh milarian pamondokan?” Pria itu mempersilakan Doni dan yang lainnya duduk, kemudian dia juga ikut duduk. (Jadi, adek-adek ‘perempuan’ sama adek yang ganteng ini nyari penginapan?)
Doni mengangguk cepat. Ia menjawab pertanyaan pria beruban itu. Meski Riani, Soni, Rere serta Rega tinggal di Bandung tapi mereka tidak begitu fasih dalam berbahasa Sunda. Hanya Doni yang sudah paham betul apa yang dikatakan pria paruh baya itu.
“Benar. Kami butuh untuk tiga bulan ke depan. Sepertinya lokasi di sini strategis, ya, Pak.” Doni berbasa-basi sambil tersenyum.
Doni sekali lagi menejelaskan detil kedatangannya ke kawasan Galunggung tersebut. Sekali lagi, dia ucapkan jika dirinya dan teman-temannya butuh tempat untuk menginap selama beberapa bulan.
Pria baruh baya itu terdiam sejenak, kemudian memandangi Doni lamat-lamat. Ia beranjak dan meminta izin beberapa saat untuk ke belakang. Doni mengangguk dan melihat pria itu hilang di belokan antara lemari dan kamar miliknya.
“Tunggu sebentar,” kata lelaki tua itu. Kelimanya hanya mengangguk.
“Yakin di sini?” tanya Soni ragu setelah pria tadi hilang di belokan. Soni kembali menanyakan hal yang sama saat mereka tiba di penginapan pertama.
Entah mengapa, dia merasa jika tempat ini mengandung hawa-hawa yang mengerikan. Soni bergidik memikirkannya.
“Lah, emangnya ada apa?” tanya Rere menyambar. Gadis itu duduk di dekat pintu masuk. Jelas Rere keberatan dengan pertanyaan Soni karena dirinya sudah merasa nyaman saat embusan angin menerpa kepalanya.
“Enggak sih, cuma gak yakin aja firasat gue.”
“Halah,” sambar Rega. Lelaki itu menggeleng.
“Udahlah. Kita harusnya bersyukur karena di sini ada penginapan. Gue yakin harganya pun enggak mahal. Lo lihat, kan lokasinya? Bagus banget,” jawab Doni sembari menunjuk pemandangan hijau dari ambang pintu.
“Yaudahlah.” Soni pasrah.
Sekitar beberapa menit mereka menunggu, pria beruban itu kembali dengan senyum-senyum tidak keruan di sudut bibirnya. Ia terlihat begitu senang, kemudian duduk di depan kelima remaja itu dan mengucapkan beberapa kata.
“Sekali lagi, kalau kalian suka, Bapak mah ya silakan saja. Bapak yang seneng atuh kalau gitu. Kalian mau pakai rumah ini.” Si lelaki tua tersenyum menyeringai.
“Jadi, kami bisa pakai rumah ini?” tanya Doni senang. Kalau sudah begini, dia hanya perlu memikirkan tentang KKN untuk tiga bulan ke depan.
Doni jelas tidak akan menolak. Jika harus mencari lagi di luar sana, itu akan sangat menyusahkan.
“Eta ge pami Ujang hoyong. Sok wae Apak mah,” tuturnya sembari menggosok kedua tangannya. (Itu juga kalau adek mau. Silakan saja sih kalo Bapak)
Mata lelaki itu tertuju pada telapak tangan Doni yang baru saja mengeluarkan sejumlah uang dari saku celananya. Rere yang memerhatikan bergumam sambil menyikut Riani beberapa kali.
Gadis itu berkata jika si pemilik rumah adalah lelaki tua mata duitan. Terlihat jelas di matanya yang berbinar menunggu uang masuk kantungnya.
Jelas sekali itu tergambar di wajah pria bangkotan di hadapan mereka. Selain memang pria itu butuh uang, juga dia punya dua rumah yang memang tidak dipakai. Begitu katanya ketika mereka bernegosiasi.
Doni sih setuju saja. Ia malah lebih senang jika pria itu memberikan mereka rumah untuk disewakan. Toh jadi mereka tidak perlu susah-susah mencari.
“Baiklah kalau begitu. Silakan pakai mulai besok. Bapak juga cuma nginep di rumah ini, cuma jagain aja,” jelasnya dengan logat yang masih sama seperti sebelumnya.
Sudah menjadi ciri khas jika orang Sunda berbicara bahasa Indonesia, maka akan terdengar ... lebih khas dari yang lain. Dengan sekali dengar saja, orang bisa tahu jika itu orang Sunda.
Itu merupakan salah satu ciri dari orang Sunda.
Doni dan temannya menurunkan barang dan merapikannya untuk menepati rumah gubuk itu ke depannya. Dua kamar dan satu kamar mandi, itu sudah cukup. Asalkan kamar mandinya di dalam rumah.
“Baiklah. Terima kasih, Pak.”
Pemilik penginapan itu tersenyum mengerikan, kemudian pergi meninggalkan kelima mahasiswa itu sambil masih terkekeh-kekeh.