Hamparan bintang memenuhi angkasa. Jutaan cahaya itu terlihat lebih jelas kala malam hari. Gelap gulita di beberapa sudut malam perlahan sirna tersinari cahaya rembulan. Menyingkap kengerian yang menggelayut di udara.
Angin malam berembus kencang menyelinap di antara pepohonan lebat dan hijau rimbun. Membawa hawa dingin yang tak segan masuk ke sumsum, meremangkan bulu roma di pundak.
Rembulan tersenyum manis pada orang-orang yang tengah menyaksikannya dengan bangga, memberikan jutaan pesona yang indah.
Rere menyelimuti dirinya dengan jaket merah yang ditaruh di pundak, lengan jaket menyilang di lehernya, mengikis rasa dingin menusuk sumsum. Pandangannya tertuju pada satu titik cahaya yang amat besar di angkasa. Ia merenung sembari ditemani segelas teh hangat di sampingnya.
Rere duduk di depan rumah sendirian.
Dia ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dari semua kelelahan yang membelenggu. Harapnya, dengan di luar rumah sendirian akan mengusir semua yang dia rasakan.
Malam itu Cipanas tampak sepi, sudah tak seramai tadi siang. Beberapa kios mulai kosong dari pengunjung, satu-dua pemilik menutup kiosnya rapat-rapat. Menyisakan keheningan seolah tak pernah ada kehidupan.
Lapangan yang menjadi pusat area Cipanas terlihat lebih menyeramkan dan mencekam. Sudut-sudut yang tak tersinari cahaya rembulan semakin menambah kesan angker di pusat tersebut.
Hanya dengan melihatnya saja, Rere merasakan takut yang amat, memaksa bulu romanya meremang tiba-tiba.
Berbeda dengan siang, tempat yang kini terlihat begitu menyeramkan itu akan sangat ramai dikunjungi orang. Ada pedagang asongan yang tak bosan menjajalkan dagangannya, dan beberapa anak yang berlarian bermain di tengah lapang. Namun ketika malam tiba, semua sirna, gelap dan tak berpenghuni.
Baru dua kali tegukan teh hangat di cangkirnya, Rere merasa ada sesuatu yang tak biasa di sekitarnya. Rere peka, gadis berambut hitam pekat itu menggosok tengkuknya pelan, diikuti gerakan kedua tangan yang dia tengkup di d**a.
Rere merasa ada sesuatu yang tengah berdiri di sampingnya. Mengamati dalam diam, di kegelapan. Kepulan asap yang keluar dari cangkir putihnya bergerak ke samping, seolah ada sesuatu yang dengan sengaja meniupnya dari sisi lain.
Dua-tiga kali dia menggosok sikut. Dingin kembali memeluk tubuhnya. Memaksa gadis itu mengembuskan napas hangat beberapa kali.
Gadis itu sebisa mungkin tidak berpikir hal yang aneh-aneh. Dia yakin jika cuaca dingin yang terasa di tengkuknya adalah efek dari angin malam Galunggung. Rere mengerjap, lalu menaruh gelas di pegangannya berdampingan dengan ponsel yang juga ditaruh di sampingnya.
Rere menguatkan ikatan jaket di pundaknya disusul dengan menggosok kedua telapak tangan, mencoba menghangatkan dirinya sendiri.
“Ya, ini udah malem. Namanya pegunungan, pasti dingin,” gumamnya sembari meraih ponsel itu, berniat untuk melihat jam di dalamnya, Namun dadanya terasa berdegub saat kedua matanya menatap sesuatu dalam layar hitam ponsel di tangannya.
Rere terbelalak begitu saja, kedua tangannya bergetar hebat, seolah sulit untuk digerakkan. Setelah mencoba stabil, dia kemudian merapikan barangnya buru-buru, meninggalkan kepulan asap yang terus berputar dari cangkir kopi.
Ketika Rere masuk, keempat temannya tampak heran dengan tingkah Rere yang terkesan sedang buru-buru, seakan ada sesuatu yang tengah dihindari. Doni menghentikan kegiatan mengobrolnya, lantas bertanya soal tingkah Rere yang tidak biasa. Rere hanya mendelik ke arah Doni tanpa menjawab.
“Lo kenapa? Kayak lihat setan?” tanya Doni. Rere hanya menatap wajah Doni tanpa berkata.
Soni terkekeh-kekeh.
“Menyepinya udah?” Soni bertanya sarkas. Beberapa saat lalu Rere bilang dia ingin menyendiri karena di dalam rumah terlalu berisik untuknya menikmati malam hari. Namun melihat Rere masuk dengan cepat, jelas Soni ingin mengejeknya.
“Udah malem, mau tidur sekarang?” tanya Riani pada Rere yang terlihat mengencangkan ikatan jaket di lehernya.
“Iya, ayo tidur sekarang,” balasnya kemudian. Selain tidak ingin berdebat dengan Soni yang menyebalkan, dia juga tak ingin banyak memikirkan hal yang tak semestinya dia lihat di pantulan layar ponsel tadi.
Mungkin dengan tertidur dia bisa melupakannya. Atau bahkan tidak akan ingat sama sekali ketika mentari kembali terjaga di timur nanti.
“Yaudah, kami mau ngobrol dulu sebentar,” tambah Doni sebelum Riani menanyakan mereka akan tidur atau begadang. Kebiasaan laki-laki jika sudah minum kopi dan ngobrol sampai malam.
Rere tidak berani bercerita apa yang baru saja dilihatnya. Jelas sekali Rere melihat pantulan bayangan itu di ponselnya. Dua pasang bola mata yang menatap ke arahnya.
Matanya hitam dengan iris merah, ukuran bola matanya tidak wajar. Rere yakin jika sesuatu yang terpantul itu memiliki semacam bulu-bulu lebat di area pipi dan wajahnya. Karena hal itu, Rere buru-buru merapikan barang dan masuk tanpa sepatah kata pun.
Jika perkiraan Rere tidak keliru, makhluk itu lebih mirip ... monyet! Menyeramkan.
Bagaimana jika Rere bilang bahwa dia melihat sesosok aneh yang terpantul di ponselnya? Apa mereka akan percaya? Tidak, Rere tidak mau mengacaukan pikiran mereka hanya karena hal yang belum tentu itu benar. Bisa saja itu hanya ilusi.
Ya, Rere lebih baik bungkam saja dan seolah tidak melihat apa pun.
Setelah Rere memutuskan untuk tidur, semuanya makin sunyi, dan malam semakin mencekam. Burung malam menyanyi sendu, menyerukan nyanyian kematian, anjing malam tak mau kalah, melolong menyahuti nyanyian burung. Mereka berdebat, unjuk diri, siapa paling unggul. Menambah kesan angker malam itu.
Hal yang menambah angker suasana adalah terdengarnya suara selain burung dan anjing, ada begitu banyak sahutan dari dalam hutan. Beberapa lebih terdengar lolongan putus asa, kera-kera yang berteriak meminta tolong. Mereka gelisah.
Dari puncak pohon di lereng gunung, terdengar jerit kera-kera merintih.
Burung-burung berterbangan diikuti makin kerasnya lolongan putus asa dari sekumpulan kera-kera malang malam hari.
“Berisik banget, ya hidup deket hutan. Mana angker banget suaranya. Ngeri, gila.” Soni bergidik ngeri sembari berusaha memeluk dirinya sendiri.
“Ya ginilah kalau hidup di hutan, banyak suara yang didenger. Apalagi mereka yang nokturnal,” timpal Doni sembari memegangi segelas kopi.
“Gue gak yakin bisa betah di sini,” tambah Soni. Pemikirannya tentang tempat yang tak nyaman itu ternyata benar.
“Bodo amat ah. Kalau lu gak betah mah pulang sana sendirian, gue gak mau balik ke Bandung cuma buat anterin elu,” ucap Rega sedikit sarkatis.
“Bodo ah, gue juga bisa balik pake bis,” balasnya ketus.
“Lo kira dari sini ke terminal itu deket?” Rega tak ingin kalah dalam debatnya.
“Gua bisa minta anterin Doni,” timpalnya lagi.
“Gua mah gak mau,” sambar Doni ketika namanya disebut-sebut.
Soni diam tak menjawab. Skak mat. Jelas dia kalah jumlah.
“Gua bisa jalan kaki,” ucapnya tak mau kalah. Tapi jelas sebenarnya dia sudah kalah.
Doni tahu jika Soni selalu seperti itu, takkan mau kalah. Rega tersenyum sinis, kemudian tertawa setelah tahu berhasil membuat Soni terpojok.
Mengingat jarum jam yang terus berputar, detik dan menit yang terus berjalan, mereka harus tidur sekarang juga. Arloji milik Doni sudah menunjukan pukul dua belas tepat, terlihat empat lingkaran sempurna di sana. Doni dan yang lain harus segera tidur, jangan ada lagi minum, jangan ada lagi bergadang.
**
Riani bersandar di ambang pintu, kepalanya terarah ke sebelah kanan, sembari menikmati cahaya mentari di pagi hari. Sesekali tangannya merayap meraba bagian dadanya yang mulai terasa hangat.
Sunguh, Riani menikmati masa-masa seperti ini.
Matanya anteng menatap pemandangan menyejukan mata, ditambah sinar mentari terasa begitu nyaman, menghangatkan sendi-sendi dan bagian tubuh miliknya.
Namun di tengah kehangatan, dia merasakan sesuatu yang menggelitik tangannya. Riani mengerjap, menoleh pada telapak tangan yang terasa masih berkedut tanpa sebab. Berselang beberapa detik, dia menatap teman-temannya yang masih diskusi.
“Aneh, ada apa, ya?” gumam Riani.
Keempat temannya baru saja selesai mengepak barang-barang. Riani sudah lebih dulu menyelesaikan urusannya, jadi tidak heran jika sudah diam dan duduk manis menikmati keindahan Cipanas sendirian.
“Oke, gua rasa kita bawa barang yang memang penting aja dulu. Kita orientasi dulu sama lingkungannya.” Doni menepuk-nepuk tas hitamnya yang sudah penuh. Tak seperti Rere, dia hanya membawa barang yang dibutuhkannya saja.
“Makanan juga jangan lupa, itu bagian paling penting.” Soni memperlihatkan stok makanan di tangannya. Ada dua roti, sebungkus makanan ringan juga beberapa persedian siap saji lainnya.
“Ya kali harus sebanyak itu?” Rere memprotes tingkah Soni ketus, merasa Soni terlalu maniak soal makanan. Meski Rere tahu jika dirinya sama seperti itu, tapi tingkah Soni dua tingkat darinya, dan itu berlebihan menurutnya.
“Sampe sore, kan kita di hutan?” Suara Soni pelan menyelesaikan ucapanya yang terpotong tadi.
“Bisa jadi.” Doni mengangguk mengiakan.
“Gue rasa, ya ... emang bawa makanan seperlunya aja.” Doni menoleh ke arah Soni.
Beberapa menit setelah debat soal makanan apa yang harus dibawa, mereka akhirnya siap untuk berangkat. Rere sudah siap dengan semua barang miliknya, Soni juga membawa banyak barang, tak mendengarkan saran Doni soal perbekalan yang tak harus dibawa terlalu banyak.
Rega sudah duduk manis di belakang, di sampingnya ada Soni dan Rere yang diam celingukan meratapi tiap inchi tanah yang menjulur lurus ke lapangan. Doni sudah siap menyetir lagi, sementara Riani di sampingnya.
“Siap?” Rere mengambil start dengan mengomando lalu Doni menginjak gas di kakinya, kemudian meluncur setelah ucapan terakhirnya tersampaikan.
Perjalanan dari penginapan menuju jalan yang terarah langsung ke gerbang karcis, terasa aneh dan tak biasa. Kelima orang itu menatapi jalanan yang lengang. Namun dipenuhi pepohonan kaliandra. Rimbun.
Merasa ada yang tak beres dengan situasinya, Soni yang sedari tadi duduk menatapi keadaan sekitar Cipanas tak hanya diam membisu. Tidak, Soni tidak seperti itu, dia banyak menyampaikan unek-uneknya.
Katanya, Cipanas yang dia kunjungi sangat jauh berbeda dengan apa yang beredar dari mulut ke mulut. Soni tahu jika Galunggung dijadikan tempat wisata bagi masyarakat lokal maupun pengunjung luar kota, tapi sejauh mata memandang, dia hanya mendapati satu-dua orang yang datang. Itu pun hanya beberapa saja, sisanya entah ke mana.
Sepanjang jalan pun, tak ada mobil atau motor dari pengunjung lain yang datang.
Entah apa yang terjadi, tapi hal ini cukup membuat batin Soni bergelut sendiri. Soni tak begitu memperhatikan keempat temannya yang ternyata sadar akan hal itu juga.
Akhirnya mereka sampai di gerbang. Bukan untuk meninggalkan area Galunggung, tapi Doni hanya ingin menanyakan beberapa hal pada penjual karcis sebelum melanjutkan perjalanan ke dalam hutan.
“Selamat pagi, Pak?” sapa Doni ketika mereka sampai di depan gerbang. Tidak, lebih tepatnya kawasan dekat gerbang karcis. Doni membawa mobilnya masuk ke arah kanan dekat sebuah gubuk untuk parkir, lalu setelahnya turun untuk berbincang beberapa hal dengan pria gempal di gerbang itu.
Seperti saat pertama datang, pria bertubuh besar itu tidak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum dan menatapi tiap inci wajah Rere dan Riani.
“Pak, kami akan berangkat menuju hutan. Apa kami bisa bawa kendaraan hingga atas sana?" Doni berdiri di depan pria berbaju cokelat itu sembari menggerakan tangannya, memperagakan beberapa kalimat yang diucapkan.
“Atuh, ya bisa, tapi hanya sampai parkiran di atas sana, saatosna (setelahnya) mah kalian berjalan saja,” tututrnya kemudian sembari menunjuk jalanan yang menanjak curam penuh kelokan.
“Jadi kami hanya bisa sampe parkiran. Jauh tidak, Pak?” tanya lagi dari Doni.
“Lumayan, kalian ikuti saja jalan tanjakan ini sampe parkiran di sana,” tunjuknya. Meski Doni tidak bisa lihat di mana parkiran yang sedari tadi ditunjuk pria gempal itu, dia tetap mengangguk mengiakan.
“Kalian bisa sewa ojek dari penduduk di sini kalau mau, biar nanti orang-orang kami yang antar kalian sampai ke tengah hutan. Bagaimana?” tanya pria itu. Doni yang tengah berdiri di hadapannya hanya diam. Tak tahu soal ojek itu sebelumnya.
“Enggak, Pak terima kasih. Kami bawa mobil sendiri saja.”
“Kalau begitu silakan. Tapi, ya kalian hanya akan sampai parkiran. Sisanya jalan seperti apa yang saya tadi katakan,” jelasnya. Doni mengangguk menyetujui.
“Oh gitu, Pak. Yaudah, makasih ya, Pak.” Doni beranjak kemudian berlari menghampiri keempat temannya yang menunggunya di tempat menaruh mobilnya tadi.
“Tapi ingat ....” Ucapan itu memotong langkah Doni. Rasa penasaran tumbuh di benaknya, kemudian berbalik dan menatap pria itu lamat-lamat.
“Tapi ingat? Tentang apa?” Rasa penasaran itu sukses mekar di pikiran Doni. Ia menanggapi kata yang dilontarkan pria penjaga karcis itu.
“Kalian jangan pernah terpisah di hutan. Jangan pernah, sekali pun!” tuturnya tegas. Tatapan dingin itu menjalar masuk melalui kedua mata Doni yang memperhatikannya beberapa detik lamanya. Membuat lelaki itu beku di tempat. Ada aura yang aneh dari tatapan si pria gempal.
Tanpa sadar Doni mengangguk paham. Ia merasa merinding hanya dengan mendengar beberapa titahnya saja. Entah apa yang dimaksud si penjual karcis itu. Namun untuk saat ini dengan memahami keadaanya saja itu sudah cukup.
Tidak, bahkan lebih, mereka harus hormat pada aturan yang ada di kawasan tersebut. Seperti apa yang pernah Doni katakan pada teman-temannya dulu.
Beberapa kali Doni mengangguk pasti, setelah yakin paham lalu kembali ke rencana awalnya untuk menelusuri hutan dan meneliti semua yang ada di sana. Tak akan ada masalah selama mereka turut akan aturan yang ada. Ya, batin Doni menegaskan.
“Yaudah, Pak. Kami berangkat,” pamitnya setelah menyetujui hal itu.
Mereka sama sekali tidak sadar, jika lelaki gempal itu baru saja tersenyum ketika mobil mereka masuk kembali ke jalanan menuju hutan yang menanjak.