Galunggung, sebuah gunung di Jawa Barat ini terletak 17 km dari pusat kota Tasikmalaya. Area wisata yang ada di kawasan ini sekitar 120 hektare, ini adalah nilai yang cukup fantastis untuk sebuah pengelolaan wisata pegunungan.
Terdapat sekitar 3 hektar berupa tempat pemandian air panas, juga tempat berendam dan bermain lainnya. Belakangan, pemerintah ikut membantu untuk mengembangkan wisata yang sudah terbangun sejak dahulu ini.
Mereka membuka sebuah tempat di kawah. Namun tak sembarang orang datang karena medan yang terjal dan susah dilewati.
Sudah beberapa menit lamanya mobil honda jazz itu memelesat dari gerbang masuk, mereka masih belum juga sampai di sebuah tempat yang dimaksud pria tadi. Keadaanya gelap terhalang pohon-pohon. Mencekam. Ada bunyi-bunyi aneh dari dalam hutan di antara celah-celah pohon.
Sepanjang jalan tumbuh pohon pinus yang indah menjulang ke angkasa. Tak lupa beberapa tanaman yang memang khas tumbuh di kawasan Galunggung.
Dari kegelapan celah yang tak tersinari cahaya matahari, terlihat beberapa hewan kera yang bergelantungan di dahan pohon. Mereka seperti tengah berdansa.
“Masih jauh?” ucap Rere sudah bosan. Ia tidak ingin berlama-lama menaruh pantatnya di jok mobil, jiwanya membara ingin segera menjelajahi tiap inci tanah Galunggung.
“Kayaknya sih dikit lagi,” jawab Doni. Dia sama tidak tahunya, jadi mungkin jawaban itu dirasa cukup untuk membuat Rere paham.
“Padahal ini masih siang, tapi udah gelap banget,” seru Soni sembari membuka sebagian kaca jendelanya. Ia menatapi tiap sudut bagian yang gelap tak tersinar cahaya matahari. Benar-benar mencekam.
Sekelibat bayang dari kegelapan terlihat di ujung pandang. Soni mengernyit saat sesuatu itu seperti berlarian dengan kencang di sana, di kegelapan.
Ludahnya meluncur secepat mobil Rega memasuki hutan makin dalam.
Rasa ingin tahunya berkembang begitu saja, memaksanya terkekeh-kekeh memikirkan sesuatu yang liar. Namun juga membuat tubuhnya menggigil.
“Lo lihat, kan?” tanya Soni pada Rere yang anteng mengambil gambar. Gadis itu terkekeh-kekeh sambil menatapi pepohonan digelayuti primata.
Merasa terganggu, Rere merengut sebal. “Apa?”
“Ehm. Gue kayak lihat sesuatu,” jawab Soni. Memaksa Riani menoleh. Gadis itu sama menyadari hal yang Soni rasakan. Dia hanya diam memerhatikan.
“Lo halu kali, Son.” Doni tersenyum di depan, menatap Soni yang kini terlihat kesal.
“Liat dong pohonnya, tinggi semua,” sambar Riani dari depan. Mencoba mengalihkan pembicaraan. “Lo lihat monyet kali di pohon,” tambahnya.
“Bikin serem juga, sih.” Rere menggosok tengkuknya tanpa alasan. “Apa bener orang-orang mau wisata ke sini?” tambahnya ragu. Mengingat tempatnya yang jelas-jelas tak cocok sama sekali untuk dipakai berlibur.
Mobil itu tetap memelesat memecah keheningan hutan. Sejenak sebelum mereka sampai, sesuatu yang memang aneh terjadi lagi.
Ini sudah kali kesekian mereka mendapati hal janggal. Jika dilihat dari waktu berdatangannya cukup dekat. Riani terkejut ketika bola matanya menyaksikan sesuatu di depan sana.
Ini bukan sebuah candaan atau festival dan arak-arakan. Bukan, hal seperti itu takkan pernah ada di Indonesia. Apalagi soal parade, jelas ini takkan pernah ada sebelumnya.
Iya, lebih spesipiknya tidak pernah ada sebuah acara parade kawanan monyet yang memblokade jalan. Sejumlah mahluk primata itu berbondong-bondong menyebrangi jalan kemudian terduduk manis di tepi ke tepi. Mereka seakan menutup sarana menuju tempat tujuan lima remaja itu.
Bukan main, jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Mereka kompak.
Hewan-hewan itu bermunculan dari semak-semak. Dari atas pohon yang terus bergelantung, mulai berlarian, turun ke tanah dan ikut dalam barisan.
Semua orang terkejut ketika mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba berhenti. Riani mengaduh saat kepalanya membentur jok di depannya.
“Kenapa?” tanya Riani. Rere dan Soni menatap ke depan dengan cepat.
“Lihat!” kata Rega, menunjuk barisan yang kini mulai makin banyak memenuhi jalanan.
Seketika saja Soni merasa punduknya diremas dari belakang. Bulu-bulu romanya meremang begitu saja hanya dengan menyaksikan pemandangan yang langka seperti itu.
Bagaimana bisa?
Entahlah. Hanya Galunggung yang tahu jawabannya.
“Ih, liat itu kera,” teriak Rere antusias. Rere yang dari tadi terduduk lesu, bangkit begitu saja dari duduknya.
“Itu monyet Re, bukan kera,” sangkal Riani menggubris ucapan gadis periang itu.
“Sama aja kali,” timpal Soni sembari menjepret beberapa gambar fenomena aneh di hadapannya.
“Beda, kera itu kedua tangan dan kakinya lebih panjang. Sedangkan monyet merupakan primata sejenis kera tapi kedua tangan dan kakinya pendek. Selain itu monyet berjalan dengan empat kaki dan memiliki ekor panjang. Ya seperti di sana itu,” jelas Doni sembari menunjuk satu-satu makhluk berbulu itu.
“Kemarin yang gelantungan di jalan, kera kan?”
“Iya. Tapi aneh, ya ada dua jenis di sini sekaligus.” Rere mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti.
“Terus sekarang gimana?” tanya Riani.
“Kita usir aja.” Tangan Doni siaga menekan klakson. “Boleh?” tanyanya meminta izin.
Riani mengangguk setuju, begitu juga ketiga temannya. Toh, itu hanya membunyikan klakson, tidak ada pihak yang tersakiti. Selain itu, bukan salah mereka jika mengambil tindakan tegas, salah mereka sendiri tanpa alasan menyebrang jalan lalu memblokade jalur.
Doni memencet klakson itu beberapa kali. Teriakan dari monyet-monyet terdengar ketika klakson dibunyikan, beberapa melompat di antara pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan. Baru saja dua kali terdengar, monyet-monyet itu berhamburan ke segala arah. Mereka terkejut dan ketakutan.
Soni terbahak melihat tingkah konyol monyet-monyet yang berhamburan. Sesekali tangannya liar menepuk pahanya yang kurus itu, masih terbahak, lucu.
“Jahil amat sih jadi orang, ih.” Rere bergidik sebal melihat Soni yang menikmati penderitaan hewan berbulu itu.
Namun ketika akan melanjukan mobil lagi, kawanan itu kembali dan tambah banyak.
“Wah, itu mereka bawa temannya,” teriak Rere. Doni mengernyit.
“Lho, sebenernya ada apa sih? Kenapa mereka turun?” katanya kesal.
“Coba pencet lagi klakson. Gue suka pas mereka kocar-kacir,” ucap Soni menahan tawa. Rere di sampingnya mendelik kejam.
“Gimana, Don?” tanya Riani. Lelaki itu hanya diam saat Riani menanyakan solusinya.
“Enggak ada pilihan lain, gue rasa memang harus turun,” jawabnya.
“Lo serius?” tanya Rega memastikan. Walau ragu, Doni mengangguk setuju. Toh mungkin hanya dengan mengusirnya secara langsung mereka akan bisa lewat.
Akhirnya tiga lelaki itu turun. Rere dan Riani menyaksikan dari dalam.
Ketika mereka menutup pintu, benturan yang menggema di hutan membuat kawanan di depan menoleh serempak. Soni sedikit meringis. Kedua matanya terbelalak saat hewan-hewan itu menyeringai dengan taring tajam.
“Lo yakin?” tanya Soni. Dia berdiri di belakang Doni.
Soni menilik keadaan sekitar, mencari ranting atau pemukul yang bisa dia gunakan untuk mengusir kawanan itu. Namun Doni dan Rega hanya diam sambil menatap hewan-hewan yang masih menyeringai. Mereka merasa terancam.
Melihat Soni berlari ke arah ranting di rerumputan dan mengambilnya, salah satu dari kawanan itu menjerit. Soni memekik sambil menutup kedua telinganya. Namun responsnya kurang cepat untuk menyadari bahaya saat tahu-tahu dia sudah dekat dengan salah satu hewan itu.
“Soni,” teriak keempat temannya bersamaan.
Soni menoleh dan hewan itu sudah berhasil mencengkram tangannya. Soni dengan kencang memukulnya. Hewan malang itu terpental sangat kencang, memekik kesakitan karena kepalanya dibentur dengan sekuat tenaga.
“Soni lo gegabah!” bentak Doni. Namun lelaki itu tak mendengarkan karena kaget dengan kejadian yang mendadak.
Pria itu menekan dadanya yang terasa terisap ke lubang dalam. Jantungnya seperti naik-turun di roller coster. Menyadari jika hewan yang baru saja dia pukul menggelepar di tanah penuh darah di kepala, Soni meringis dan melempar pemukul itu asal.
“Anjing, lo bunuh monyet itu,” teriak Rega, mengantisipasi jika kawanan itu mulai beraksi. Namun tampaknya semua itu terlambat ketika dia melihat ke kawanan, salah satu dari monyet itu berlari ke arah Soni.
“Soni lari,” teriak Doni. Lelaki itu ikut berlari ke arah Soni yang kini mulai mendekati ranting penuh darah. Bersiap untuk kembali melawan. Namun dalam sekejap Rega menerjangnya, membuat dua lelaki itu terjerembab bersamaan di tanah.
“Lo bego!” bentaknya.
Kawanan monyet itu berteriak, menjerit-jerit kemudian berlarian ke arah tiga lelaki tadi.
Napas Soni serasa akan habis dalam dua kali embusan saja saat kedua matanya menatapi monyet-monyet mendekat.
“Bangun!” pinta Doni, menarik salah satu ranting di dekat batu samping jalan. Pemuda itu ikut berlari bersamaan dengan Soni dan Rega yang mulai berdiri.
Dua sampai tiga monyet melompat dari depan, nyaris menerjang wajah Rega yang mematung jika tidak cepat-cepat dihantam oleh Doni dengan kencang di bagian perutnya. Monyet itu memekik, mengelepar dan menjerit.
“Doni,” teriak Rere panik. Dia akan beranjak dari duduk dan membuka pintu, tapi dengan cepat Riani mencegahnya.
“Jangan, Re. Mereka bisa masuk!” pinta Riani, mencekal tangan Rere kencang sambil menggeleng.
“Mereka dalam bahaya,” jawab Rere, menggigit bibir bawah.
Situasinya pelik. Rere tidak tahu harus melakukan apa. Jika dia nekat membuka pintu, maka bukan tidak mungkin monyet-monyet itu akan mengejarnya. Namun jika diam saja, Rere juga tidak ingin teman-temannya celaka.
“Tunggu, gue ada ide,” kata Riani, melepas tangannya dari Rere. Rere hanya diam menunggu dengan tatapan mata bergetar. Penuh rasa takut.
Doni dan kedua temannya berlarian ke belakang mobil. Mereka tidak ingin jika monyet itu ikut masuk ke mobil. Doni terus berusaha menghantam monyet-monyet yang bermunculan. Satu-dua nyaris menggigit tangannya.
“Gila, banyak banget!”
“Soni tolongin gue,” teriak Doni pada Soni yang masih sibuk dengan urusannya sendiri.
Ketika tiga monyet dari arah depan siap melompat ke arah wajah Soni, dan sudah tidak sempat untuk ditahan dengan ranting yang terjatuh akibat terkena empasan tangan monyet, suara klakson terdengar kencang.
Semua monyet yang sedang berteriak dan menjerit menggila itu mendadak diam. Riani terus memencet klaksonnya beberapa kali. Berharap jika kawanan itu segera pergi.
“Re, lihat mereka masih ada enggak?” teriak Riani di tengah jerit klakson.
Rere mengangguk. Dia bolak-balik ke depan dan belakang hanya untuk memastikan jika Doni dan kedua temannya selamat.
Monyet-monyet itu berbalik menyerang mobil.
“Bodoh,” pekik Doni. Dia berlarik ke arah mobil yang dikerumuni monyet dan menghantamnya satu per satu. Pekik demi pekik hewan itu saat berjatuhan membuat Rere ikut berteriak.
“Bantu gue,” teriak Rega pada Soni. Merasa jika kawanan itu tidak akan melawan, mereka memanfaatkannya untuk menyerang balik. Menjatuhkannya satu per satu.
Tidak peduli jika monyet-monyet itu akan terluka. Mereka bukan hewan, tapi iblis!
“Ni, berhenti, jangan diterusin,” teriak Doni.
Riani terkesiap saat sadar jika monyet-monyet berada di atas mobil dan depan kaca. Gadis itu menjerit, mundur.
Meski pada akhirnya semua tidak akan ada habisnya, tapi pada akhirnya monyet-monyet itu berlarian, menyerah.
Butuh beberapa saat hingga jalan itu benar-benar kosong dari monyet-monyet liar yang memang entah apa maksudnya menghalangi jalan hingga memakan waktu lama.
Soni melempar tongkatnya ke jalan dan merentangkan tangan di jalanan.
“Gila!” teriaknya. Doni dan Rega melakukan hal yang sama, kemudian disusul Rere serta Riani keluar mobil.
Mereka seperti melawan monster gila yang berusaha membunuh tanpa pandang bulu.
Soni sampai ngos-ngosan karena napasnya nayris habis.
“Lo bego. Di hutan jangan gegabah makanya,” bentak Rega. Soni hanya mengangkat tangan meminta maaf. Rere dan Riani ikut ngos-ngosan di samping mobil.
“Gue pikir bakal mati di usia muda,” kata Rere terkekeh-kekeh saat melihat Riani menggelepar di jalanan.
**
“Ah, akhirnya sampe juga.” Rere turun dari mobilnya diikuti Riani.
“Untung bisa sampai sini dengan selamat. Tapi gue jadi kapok. Haha.” Soni melempar tasnya ke tanah, menatapi parkiran yang dimaksud oleh si penjual karcis tadi.
“Gue mohon jangan lakukan hal yang sama, Son,” ucap Doni, menutup pintu mobil dan berjalan ke arah Rega yang sudah turun dari tadi.”
“Oke, gue bakal ingat itu. Haha.” Soni terbahak-bahak.
“Oh, jadi ini parkirannya, tapi lapangan sebesar ini kok sepi, ya?” tanya Rere. Gadis itu ikut memasang baju kuning kebanggaan geologi di tubuhnya.
Rega menatap Riani yang makin murung sejak kedatangan mereka di puncak parkiran. Baju kuningnya sudah menempel rapi di tubuhnya yang ramping.
“Lo enggak apa-apa?” tanya Rega pada Riani.
“Gue baik.”
Doni mengambil alih pembicaraan. Dia mencoba mengumpulkan teman-temannya di dekat pohon rimbun yang entah apa namanya. Pohon itu nyaris terlihat seperti beringin.
“Baiklah, mulai dari sini, gue mau ngasih peraturan baru.“ Doni mengangkat jari telunjuknya sambil menatapi satu per satu temannya yang kini mulai mengangguk pelan.
“Karena kita gak bisa bawa kendaran, jadi gue ngasih peraturan ini yang udah gue pikir sedari tadi,” jelasnya sembari menggerakan tangannya mengikuti kata per kata yang diucapkannya.
“Pertama, gua harap kalian ingat soal pesan dari bapak di bawah sana. Kedua, karena kita di hutan, jangan coba-coba buat berpisah. Usahakan selalu bersama, jika pun mau berpencar, setidaknya dua orang. Gue terus teringat sama ucapan si penjual karcis. Kita jangan terpisah.
“Kedua, terutama lo Soni, gue harap lo jangan gegabah. Teman-teman, jangan alam, jangan rusak apa pun itu. Kita adalah mahasiswa geologi. Jangan sampai kejadian kayak tadi terulang, dan terakhir, sebelum berangkat, kita berdoa untuk keselamatan dalam praktik selama sebulan ini.”
Doni mulai menundukan pandangannya setelah mengucapkan beberapa peraturan, diikuti teman-temannya yang juga ikut menunduk, membacakan doa di dalam hatinya masing-masing.
Langkah kaki dimulai ketika pandangan terangkat dari berdoa dan langsung meluncur hingga hutan dengan menyusuri jalan yang sudah dipandu Doni.
Mereka baru saja menjemput sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang akan menjadi awal petualangan maut.