Doni dan keempat temannya sudah berada di Galunggung lima hari ini. Selama itu pula, mereka mendapat banyak sampel-sampel tanah dan unsur pepohonan Galunggung. Melakukan penelitian berdasarkan tugas KKN-nya.
Tak ada hal-hal aneh yang mereka dapati selama itu. Rasanya aneh ketika kejanggalan itu hilang dari kehidupan mereka. Tidak ada lagi gangguan yang Riani rasakan, atau hewan-hewan yang bertingkah tidak normal.
Ini aneh.
Selain meneliti unsur tanah beserta isinya, mereka juga mencoba meneliti beberapa batang pohon yang memang tumbuh khas di kawasan Galunggung. Menaruh sampel-sampel daun dalam stoples dan tanah dalam plastik penelitian.
Tanah yang tergerus aliran lava menjadi sangat subur. Kawasan yang mengandung unsur-unsur itu menumbuhkan pohon-pohon yang tinggi menjulang ke langit. Rimbun dan hijau.
Selain terus meneliti, mereka juga menikmati keindahan Galunggung. Satu hari penuh mereka habiskan untuk menikmati segarnya air terjun di pemandian air panas.
Rere beberapa hari sebelumnya terus saja merengek ingin sekali menjajal tempat wisata yang terkenal dengan airnya yang panas itu. Doni tidak sanggup lagi menimpali rengeknya yang mengengkelkan.
Ia hanya bisa pasrah dan mengiakan ucapan gadis berambut hitam pekat itu. Karena berdasarkan pengalamannya beberapa hari terakhir, Rere tampak tak semangat selama permintaanya belum dipenuhi.
Maka setelah semua mendapat apa yang diinginkan, Doni sebagai ketua langsung bersikap tegas dengan menjalankan kembali semua rencana yang sudah disusunnya baik-baik. Kalau nanti ada yang meminta lagi untuk menikmati pemandian, Doni akan menyuruhnya pulang jalan kaki.
“Oke, kita udah senang-senang. Kita harus serius dalam kegiatan ini,” tutur Doni sembari mengepak lagi barang-barangnya. Ini kali keempat mereka kembali ke hutan setelah penelitian ketiga beberapa hari sebelum mereka berlibur ria. “Seharusnya enggak ada lagi yang ngerengek minta libur,” tambahnya.
“Jangan terlalu serius kali, Don. Kita gak boleh kerja di bawah tekanan,” papar Rere tak terima sembari memilah dua bungkus makanan siap saji di tangannya. Dia adalah orang yang menyarankan untuk berlibur di tengah kesibukan.
Makanan yang mereka siapkan adalah hasil dari Rega belanja sehari sebelumnya. Dia menyusuri jalan hingga menemui sebuah pasar di kawasan Tawang Banteng.
“Iya, bener apa kata Rere,” celetuk Soni setuju. Tangannya tak singkron dengan mulutnya yang mengomentari. Lelaki itu memilih-milih roti dan memasukkannya ke saku jaket.
“Bukan gitu. Gue cuma gak---”
Belum sempat Doni merampungkan ucapannya, Soni sudah lebih dulu menyambarnya dengan beberapa kalimat yang memang membuat tensi Doni naik. Bagaimana tidak, Soni seakan mengolok-olok jika Doni itu gila kerja.
“Work holic tahu gak lu. Ah, gak asyik.” Soni mencibir, kemudian melanjutkan lagi kegiatannya memilih makanan untuk dibawa ke hutan nanti. Rere di sampingnya manggut-manggut setuju, sambil mengunyah roti cokelat. Rega dan Riani hanya diam memerhatikan.
Kebiasaan yang sudah terorganisir menjadikan pribadi Doni dispilin. Dia akan menyelesaikan semua tugasnya lebih dulu sebelum hal lainnya. Jadi, singkatnya sesuatu yang menurutnya penting akan diprioritaskan.
Tapi semua itu tidak untuk keempat temannya. Mereka belum begitu terbiasa dengan kebiasaan Doni yang teratur. Tapi bagaimanapun, Doni senantiasa mengalah dan mengiakan beberapa hal yang memang disepakati empat teman lainnya.
“Kalian tahu sendiri, kan kedatangan kita ke sini untuk KKN. Gue harap kalian paham itu.”
Riani mengangguk setuju. Dia tahu itu.
“Oke, setelah makan siang, kita ke arah hutan bagian barat.”
Di tengah-tengah kesibukan, tiba-tiba Soni menceletuk tentang sesuatu yang terasa aneh belakangan ini.
“Lo ngerasa enggak, sih kalau selama ini hal-hal yang janggal selama KKN mulai enggak ada?” tanya Soni pada teman-temannya. Memaksa mereka berhenti bergerak dari aktivitas dan menoleh bersamaan kepada Soni.
“Bukannya bagus?” tanya Doni.
“Bagus atau justru itu malah buruk?” tanya Rere pada Doni yang tadi menanggapi perkataan Soni.
“Apa pun itu, gue harap ini baik.”
Doni berjalan menghampiri empat remaja yang tengah duduk manis menyusun barang. Tadi pagi, setelah semua bersiap, pemilik penginapan datang lagi dengan camilan khas Sunda serta teh hangat mengepul.
Rere dan Soni senang bukan main. Teh itu membuat mereka semangat lagi. Namun, untuk Riani, dia merasa jika tubuhnya menggigil setelah meminumnya, dan pandangannya seolah-olah meremang.
“Bagaimana kalau kita coba buat nginep di hutan, sekalian kemping gitu?” Rega menyarankan sesuatu yang menarik. Alis matanya naik-turun, mengisratakan pertanyaan setuju atau tidak?
Semua saling pandang. Ada tatapan tak setuju, ada juga yang antusias. Terlebih Rere yang menurutnya itu adalah ide paling jenius yang bisa Rega utarakan. Menginap di hutan? Tentu saja Rere mau.
“Yakin?” tanya Riani sedikit ragu. Dia menggosok sikutnya pelan, menoleh gantian pada keempat temannya.
Doni yang duduk di dekatnya menepuk pundaknya pelan, memberitahukan jika semuanya akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan selama mereka terus bersama-sama.
Doni paham dengan ketakutan yang Riani rasakan. Mengingat keberangkatan mereka terasa begitu janggal dan penuh tragedi. Riani sudah pernah merasakan hal aneh yang beberapa hari lalu diceritakan pada Doni.
“Santai, Ni. Gak akan ada masalah,” ucap Doni menenangkan.
“Iya, Don. Makasih. Gue cuma gak yakin aja.”
“Boleh sih. Tapi kita gak bawa alat kamping,” balas Rere. Gadis mungil berambut panjang itu menoleh pada Rega untuk meminta jawaban atas ucapannya barusan.
Benar, bagaimana mereka bisa kemping sementara semua alat yang akan mereka gunakan tidak ada?
Sejenak mereka saling pandang, sebelum akhirnya Doni mengambil alih semuanya. Dia berkata jika itu bisa dicari di pusat Cipanas.
“Sewa aja. Gue yakin udah banyak orang yang kemping di sini. Bukan gak mungkin kan kalau di sana ada yang sewa barang-barang yang kita butuhkan?”
Telunjuk Doni mengarah pada kios-kios samping lapangan pusat Cipanas.
“Ehm ... boleh juga. Ide bagus.” Rega tersenyum, merasa ide gilanya didukung.
Semua tampak senang, kecuali Riani yang makin terlihat gelisah. Kedua matanya terus tertuju pada pintu masuk yang terbuka lebar. Menatapi satu sosok yang sejak tadi berdiri menatapnya.
Menatap dengan mata hitam legam.
***
Cahaya mentari terasa begitu menusuk ubun-ubun ketika jarum jam berada tepat di angka dua belas, terasa seperti dihujani ribuan jarum yang menerpa kepala tanpa henti. Gerah semakin menjadi. Sejauh mata memandang, fatamorgana terlihat berkibar di atas bebatuan.
Dua gadis berumur sedang itu terus saja mengepakan tangannya gerah, keringatnya sudah tak terhitung lagi mengucur dari pelipis hingga dadanya. Begitu juga tiga pria yang sedari tadi sudah melet-melet tak keruan. Mereka kehausan.
Tak disangka jika hutan yang gelap dan tampak sejuk itu akan terasa begitu panas di siang hari. Soni sampai mengutuk Doni diam-diam karena sudah mengambil keputusan datang ke hutan barat yang panas seperti ini.
Tiga hari sebelumnya tidak begitu panas.
Rega terus saja mengeluh, merasa perutnya terbakar, seperti ada kobaran api yang menyala-nyala di sana. Rega tidak tahan.
“Son, masih ada air? Gue haus.” Rega menatap dengan melas. Wajahnya sudah basah oleh keringat. Soni yang sama hausnya dan menderita hanya bisa menggeleng sambil terus membungkuk berjalan, melewati pohon-pohon pinus.
Mereka sampai di tengah hutan.
Barang-barang berserakan di tanah. Tas besar dan penuh tergeletak begitu saja. Mereka lebih memilih berteduh sejenak ketimbang harus berpanas-panasan melanjutkan kegiatan.
Setelah menyewa alat kemping di pusat Cipanas, mereka akhirnya berangkat ke hutan dan rencana menginap itu bukan lagi jadi hal yang tak mungkin dilakukan. Mereka siap melihat pemandangan Galunggung malam hari di tengah hutan.
Soni menggeleng tak kuat.
“Hutan bagian barat panas. Kenapa, ya?” tanya Rere terkapar di bawah pohon.
“Gua rasa cuma karena cuacanya lagi cerah aja sih,” balas Doni yang juga ikut berteduh di bawah pohon dekat Rere.
Sementara yang lain terkapar kepanasan.
Rega terlihat tak nyaman dengan posisi duduknya. Doni sejak tadi memerhatikan dan rasanya gatal ingin berkomentar tentang keadaan temannya itu. Namun sebelum dia bertanya, Rega sudah berkata jika dia kebelet pipis.
Tangannya ditaruh di sana, pada tonjolan antara paha, sambil membungkuk menahan sakit yang menjalar ke bawah perut.
“Sumpah, gue gak tahan.” Rega menoleh pada Soni yang sedang mengipas-ngipaskan tangannya santai.
Menilik dari keadaanya, gampang saja bagi Rega untuk mengeksekusi masalahnya saat itu juga. Toh tempatnya terbuka dan itu di dalam hutan, mereka tidak dilarang untuk buang air di mana pun. Tapi mengingat Rega orang yang sopan dan santun, dia tidak bisa semena-mena melakukannya begitu saja.
Ia harus mencari tempat yang tertutup, belum lagi harus melakukan pembersihan secara merata. Rega harus selalu bersih secara lahir dan batin.
“Soni, anter gua nyari tempat buat ‘tu’. Mau gak?” tanyanya sembari menekuk setengah badan.
“Mules?” tanya Soni.
“Ah, jangan banyak tanya. Ayo aja!” Rega berjalan sempoyongan lebih dulu meninggalkan tempat berkumpulnya.
“Tuh di sana, tuh.” Rere menunjuk semak-semak yang rimbun. Semua tertawa, kecuali Rega yang terlihat sebal pada Rere.
Soni berdecak kesal.
Mengapa harus dirinya yang mengantar Rega buang air? Argh ... Soni tak habis pikir. Kalau bisa, dia akan menolak, tapi bagaimana jika yang kebelet itu dirinya? Apakah dia sanggup mencari tempat untuk ‘itu’ sendirian?
Bodoh amatlah. Dia tak peduli.
Soni berjalan mengikuti Rega dari belakang sembari membawa sebotol air mineral di tangannya, untuk Rega.
**
Soni sudah geram. Dia kesal harus menunggu lama-lama. Batinnya menggerutu, memerintahkan dirinya sendiri untuk mencari hal yang lebih menarik ketimbang harus menunggu seseorang yang tengah mengurusi panggilan alam.
Soni tanpa sadar terus melangkah menyusuri jalan setapak hingga membawanya pada tempat asing penuh kegelapan mencekam. Meski begitu, matanya terkagum-kagum melihat pemandangan yang menakjubkan di hutan siang itu.
Pinus dan semak-semak belantara, mengisi kekosongan antara batu besar dan batang pohon mati.
Walau sudah berapa kali pun melihatnya, dia tetap dibuat takjub.
Soni merogoh saku, menarik sebuah benda pipih dengan warna dominan putih dari sana, lalu menjepret beberapa kali gambar yang memesona itu. Soni tanpa sadar semakin jauh berjalan, entah sudah sampai mana melangkah, tapi yang jelas suasananya sudah berbeda dari tempat yang tadi disinggahi.
Ia sampai di sebuah tempat yang cukup membuat bulu kuduk merinding hanya sekedar melihatnya saja. Belum lagi aura yang dirasakannya berkesan negatif membuat kulit kepala serasa bergejolak bangkit.
Matanya menangkap sebuah pemandangan tak biasa, ada sekitar tiga kepala kerbau dan dua belas kepala kambing di atas sebuah altar terbuat dari bambu. Juga ada beberapa kendi dari tanah liat yang berjejer di sekeliling penggalan-penggalan kepala itu. Kepulan asap dari sebuah tembikar tua mengepul ke udara.
Sebuah tempat persembahan, pikir Soni.
Hal itu tak membuat Soni berhenti melangkah, justru semakin membuat rasa penasarannya naik drastis. Ia berjalan perlahan menghampiri altar bambu itu dengan terus siaga. Perutnya terasa mual seketika setelah melihat puluhan lalat hijau yang berkumpul di atas bangkai kepala yang kini sudah mulai menghijau.
Tangannya refleks menutup mulutnya rapat-rapat. Mualnya naik pitam, bergejolak naik terus hingga memaksanya memuntahkan apa yang sudah dimakannya beberapa saat lalu.
“Apa ini? Sebuah persembahan?” tanya Soni sembari bergidik ngeri.
Lalat hijau berputar, berlarian ketika mendapat satu gerakan dari tangan Soni yang mencoba melihat dengan jelas kepala kerbau di depannya. Aromanya sudah busuk menyengat.
Tangan kiri dia gunakan untuk menutup mulutnya yang sudah basah karena sisa muntahan, sentara tangan kanannya liar mengambil beberapa gambar pemandangan aneh itu.
“Persembahan buat apa ini? Gak ada yang bilang soal ini. Gue harus kasih tahu temen-temen soal ini.”
“Mereka harus tahu,” ujar lelaki berparas tampan itu sembari beberapa kali menyentuh tombol di layar ponselnya. Soni sudah menyimpan sekitar lima sampai tujuh gambar yang sama.
Ketika Soni anteng menjepret gambar, sekelibatan bayangan bermunculan di sela-sela pohon tinggi di sekitarnya. Insting Soni naik tajam, dia mulai peka dengan perubahan yang terjadi di areanya. Untuk ke sekian kalinya, tengkuknya lagi-lagi merasa bergidik
Masih melakukan pemotretan, Soni mencoba mengabaikan sesuatu yang muncul di belakangnya. Dia kembali bergidik saat lalat-lalat di bangkai itu berterbangan dan menjauh tak kembali.
Merasa ada yang tidak beres dan ada yang mengamatinya secara diam-diam, dia kemudian berniat kembali. Soni berjalan sambil mempercepat langkahnya meninggalkan tempat yang dikiranya sebuah persembahan itu buru-buru.
Semakin lama, kelibatan bayang itu semakin cepat di balik pohon-pohon yang dilewatinya. Ia semakin panik setelah beberapa suara yang kini mulai terdengar memekakan telinga.
“Hah ... hah ... hah. Suara apa itu?” jeritnya seraya mempercepat langkah kaki. Kepalanya bergerak otomatis ke kanan dan ke kiri, mencari sosok apa pun yang tengah mengejarnya dalam kegelapan hutan.
Soni berhenti di balik sebuah pohon besar yang dia temui setelah cukup jauh berlari.
Suara apa itu? Bagaimana bisa ada bayangan hitam yang berkelibatan secepat itu? Batin Soni terus bergejolak, memikirkan semua kejadian menyeramkan yang dialaminya barusan. Sampai dia tak sadar jika dirinya sudah berada di tempat asing.
Dan dia pun baru sadar jika lokasi Rega buang air bukan di sana, di tempatnya dia berdiri saat ini
Soni tersesat.
Pekikan suara itu kembali terdengar di antara pepohonan, seperti sebuah tawa yang melantun ngeri untuk didengar.
“Hah ... hah ... anjing. Apaan, sih. Gila!” Dia berputar di tempatnya berdiri.
Soni terpejam beberapa saat. Mencoba menenangkan semuanya. Sepanjang dia mencoba untuk tak mendengar suara itu, telinganya mulai lamat-lamat menangkap suara yang kian menjauh.
“Huhft ....”
Ia menghela napas lega ketika bayangan itu tidak lagi mengikutinya.