5.2

2038 Kata
 “Son? Soni? Eh buset.” “Soni?” teriak Rega lagi, kelimpungan di tempatnya. Rega yang sudah selesai dengan urusannya, kemudian berjalan menghampiri tempat Soni tadi menunggu. Dia menggerutu sambil menyumpahi ketika tahu jika Soni tidak ada di tempatnya. Pikirnya, Soni itu menyebalkan, hanya diperintahkan untuk menunggu sebentar saja dia sudah tidak ada. Rega geram dan bersumpah akan menghajarnya habis-habisan saat dia bertemu dengannya lagi nanti. “Gila, sih gak ada belas kasihannya sama temen. Padahal gue suruh tunggu doang bukan gue suruh cebokin,” ucapnya menggerutu. Kedua tangannya membetulkan posisi resleting yang belum naik. Dia mengikuti langkah kaki yang habis menggilas rerumputan, membawanya kembali ke kumpulan. Rega melihat ketiga temannya sedang berdiri di depannya, kedua alis Rega naik bergantian. Satu orang tidak ada pada tempatnya. “Udah beres?” tanya Doni ketika melihat Rega yang berjalan tegak seperti orang normal lainnya. Dia sudah tidak merasakan sakit di bagian bawah perutnya. “Soni mana?” timpal Riani sebelum Rega sempat menjawab pertanyaan dari Doni. “Bukannya dia udah pulang duluan ke sini? Gue mau hajar tuh bocah,” ucap Rega kesal. Dia mengepalkan tangan, celingukan mencari keberadaan Soni dan siap menghantamkan tinju di wajah lelaki petakilan itu. Mereka bertiga bertatapan, menggeleng sambil celingukan mencari di mana Soni. Riani pikir jika lelaki itu sedang bersembunyi, karena sifat Soni yang jahil dan otaknya yang tak beres, bisa saja merencanakan sesuatu untuk mengerjai mereka. Kembali Riani menggeleng. Bahkan sejak kepergian dua lelaki itu tadi, Soni belum terlihat lagi. Malah Rega-lah yang kembali lebih dulu. “Lha, bukannya kalian berdua, ya tadi?” tanya Riani bingung. Rere di dekatnya manggut-manggut mengiakan ucapan Riani. “Belum. Kalian ngurusin gituan aja lama banget,” celetuk Rere kesal. Dia bangkit, kemudian mengipasi wajahnya yang mulai memerah, berkeringat karena kepanasan. “Sori,” jawab Rega. “Udah mulai sore, nih. Kita harus segera bikin tenda.” Doni mengambil tas berisi tenda yang baru disewanya tadi pagi. “Serius si Soni belum ke sini? Dia balik duluan ninggalin gue tadi.” Rega masuk ke kelompok, mengambil alih tas paling besar dan berdiri di samping Rere yang kini mulai melet kepanasan. “Belum, seriusan. Kalian kenapa bisa terpisah?” “Gue enggak jauh-jauh dari dia. Setelah gue selesai, cowok itu udah hilang dari tempatnya. Tadinya---“ “Udah. Kita cari Soni. Ingat, kan kata penjual karcis?” potong Doni. “Jangan sampai berpisah atau jalan di hutan sendirian?” tanya Riani mengingat penjelasan Doni saat mereka berada di mobil waktu itu. “Sekarang gimana?” Rega bertanya sembari menatap ke segala arah. “Bikin tenda dulu,” jawab Doni. “Makanan juga harus ada,” tambah Rere girang, nyaris melupakan kondisinya sendiri yang hampir-hampiran jadi mumi. Kering. “Habis itu telepon aja si Soni.” Riani menyarankan. Doni setuju dan mengangguk paham. Segera dia menghubungi Soni, menunggu cukup lama hingga teleponnya benar-benar direspons Soni. Tidak, bukan direspons, lebih tepatnya hingga jaringan mereka saling terhubung. “Enggak bisa,” jawab Rega menggeleng. Riani mengangkat ponselnya, melihat jaringan miliknya. Rega sudah geram soal jaringan di ponselnya begitu buruk. Rere sama kesalnya ketika mencoba menghubungi Soni setelah Rega bilang sinyal di ponselnya tidak bisa diajak kompromi. Alasannya sederhana, ponsel mereka seakan hilang kontak ketika berada di hutan. “Apa mau ditunggu?” Riani bertanya. “Cih, anak itu. Udah dibilangin jangan misah. Apa dia lupa apa gimana?” kata Doni kesal. Dia menatapi satu per satu temannya yang juga ikut khawatir. Bukan apa-apa, jika penduduk asli Galunggung saja bilang jangan sampai terpisah, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres saat pengunjung benar-benar terpisah. Mereka harus selalu bersama agar semuanya terkendali. Doni terdiam cukup lama, sampai akhirnya dia mengangguk setuju. “Susul aja kali,” ucapnya ketika mereka sudah begitu lama menunggu dan Soni belum juga sampai. “Kita harus ingat pesan bapak itu. Jangan sampai terpisah. Mungkin maksudnya jangan sampai berjalan di hutan sendirian.” “Terus gimana?” tanya Rega. “Kita bagi dua kelompok. Selagi enggak sendirian, gue rasa aman.” Ketiga temannya mengangguk setuju. Merasa ada yang tidak beres, soal tidak pulangnya Soni, Doni akhirnya membagi menjadi dua kelompok untuk mencari Soni yang belum juga kembali. Ia menempatkan Rega dengan Riani, kemudian dirinya bersama Rere yang akan mencari ke arah berlawanan yang sudah ditentukan. Doni yakin selama tidak sendirian mencari, semua akan baik-baik saja. Namun, pikirannya malah tertuju pada Soni yang tengah berada di hutan sendirian. Bagaimana kondisinya? Dia menggeleng gelisah. Niatnya, mereka harus menemukan Soni sebelum malam. Jika sampai matahari tenggelam Soni belum ditemukan, itu akan sangat berbahaya. Untuk jaga-jaga, dengan bekal pencahayaan sebuah senter dari ponsel masing-masing, mereka mulai berangkat. Akan menjadi sulit mencari seseorang yang hilang di hutan yang luas, terlebih mereka harus mencarinya di malam hari. Mereka harus sukses bertemu Soni sebelum waktu isya tiba, jika tidak, masalah lain akan muncul. Hewan buas apa yang ada di Galunggung? Siapa yang tahu. Rere komat-kami mengutuk sumpah-serapah pada Soni. Ia kesal. Bagaimana bisa Soni begitu ceroboh dan tersesat di hutan hingga malam tiba. Setelah kejadian monyet hari itu, kini Soni kembali berulah. Dasar! “Dasar, selalu aja bikin masalah.” Rere berjalan malas. Kedua kakinya sudah terasa lemas. Sejak tadi dia menerobos semak belukar dan mengijaki ilalang. Di tengah jalan, Rere merasa ada aura tak mengenakan yang muncul dari arah belakang. Seperti ada langkah kaki yang terus menginjaki rumput dengan pelan. Rere bergidik ngeri. Secepat suara itu datang, dia menoleh ke belakang. Namun tak ada apa pun. “Don, kamu ....” Rere menggigit bibir bawahnya. “Ya?” tanyanya. Doni masih berjalan di depan Rere sambil berteriak, menyebut nama Soni sambil menoleh kanan-kiri. “Enggak.” Rere menggeleng, berjalan lebih cepat dan bersisian dengan Doni. Dia yakin jika itu hanya perasaanya saja. Tidak ada apa pun. Mereka terus mencari sampai ke dalam hutan. Soni di mana? Sampai kapan akan mencari? Argh ... Rere sudah tak kuat. “Don, capek!” “Ih, udah. Ayo, jangan ngomel terus.” Doni yang berdiri di samping Rere berjalan sambil membuka jalan baru menuju hutan lebih dalam. ** Suara terdengar lantang di tengah sunyinya malam. Beberapa kali terdengar menjerit, terkadang juga terdengar seakan geram dan kesal. Sudah sekian kali wanita berambut sebahu itu meneriakkan nama Soni, tapi tidak ada jawaban apa pun, seakan pria yang dipanggil namanya sedang tuli. “Soni,” teriak gadis itu. Dia mencabuti ilalang yang menjadi penghalang langkahnya sambil masih celingukan. “Soni?” teriak Rega juga. “Son lu di mana?” tambah Riani, menyibak kegelapan dengan senter ponsel, sambil terus berteriak, nyaris tak peduli pada jerit demi jerit di tengah hutan malam hari. Mereka sudah mencari lelaki itu dari siang dan ketika malam mulai muncul, tidak ada tanda-tanda bahwa Soni sedang berada di dekat mereka. Sudah sekitar tiga puluh menit mereka mencari tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Soni. Lelah jangan ditanya lagi. Setelah melakukan ini dan itu untuk mencarinya, tapi lelaki itu tak kunjung ditemukan. “Ke mana, sih tuh anak. Dia selalu aja bikin masalah. Ini udah malam. Cih.” Rega mendecak sebal. Dia ingin menghantam wajah Soni untuk dua hal. Pertama karena telah meninggalkannya sendirian di hutan, dan kedua, karena membuatnya harus susah payah malam-malam di tengah hutan. Kalau nanti Soni ketemu, Rega pasti akan memukulnya. “Ga, gue udah capek. Apa kita mau kembali?” tanya Riani. Waktu tak henti berputar, jarum jam sudah pas di angka delapan. Waktu isya sudah terlewat dan Soni masih belum terlihat. “Kembali ke tenda aja, kita cari besok.” Rega membalik arah jalannya, kemudian melangkah duluan, Riani paham dan mengikuti langkah Rega dari belakang. “Gue yakin si Soni udah ada di tenda,” tambah Rega. Rembulan tak seindah malam-malam sebelumnya, cahayanya redup menyinari bumi. Beberapa sudut hutan semakin terlihat mencekam saja dibuatnya. Riani hanya bisa mengandalkan cahaya dari ponselnya untuk berjalan di hutan malam itu. Tak ada lagi bunyi jangkrik dan serangga sore tadi, semua bergulir, digantikan dengan lolongan anjing malam, juga burung-burung yang bernyanyi sendu. Riani masih berjalan di belakang Rega dengan apik, menyinari tiap inchi tanah yang dipijaknya. Ia merasa ada sesuatu yang tak biasa, seperti sesuatu yang tengah mengicarnya dalam diam. Gadis itu kembali peka, menilik tiap celah dari pohon yang berjejer dengan sigap. Sesekali menekuk kedua tangannya di d**a. Cemasnya membabi buta. Dia yakin tengah diawasi. Tengkuknya terasa dingin, dan bulu-bulu roma meremang. Ada sesuatu. Sesuatu datang. Apa pun yang ada di balik kegelapan itu, pasti tengah menyeringai ke arahnya. Pohon pinus berdiri menjulang ke angkasa, dalam celahnya, banyak bintik merah bagai manik menyala yang terus berkedip ke arah mereka. Riani menelan ludahnya kasar, kemudian menoleh ke arah Rega yang sedang menyinari area sekitar. Lelaki itu tak merasakan apa pun. “Lo ngerasa, kan?” bisik Riani sembari terus berjalan. “Apaan?” tanya Rega masih belum paham situasinya. Ia masih berjalan mendobrak ilalang malam. Seolah masih ragu dengan apa yang dia rasakan, Riani hanya menggeleng menjawab pertanyaan Rega. Riani tidak mau mengacaukan pikirannya hanya dengan sesuatu yang dirasanya sebuah halusinasi. Riani tahu jika dirinya hanya lelah. “Enggak. Ayo jalan terus,” pintanya. Riani tahu jika cahaya-cahaya berbentuk titik di dalam celah itu adalah sesuatu yang mengerikan, atau apa pun itu, pasti akan membahayakan nyawa mereka. Namun Riani tak mau membuat dirinya parno sendiri. “Lo ngerasa ada yang aneh, kan?” Rega berbisik. Riani di sampingnya menoleh, dia tidak tahu jika pria di sampingnya juga ikut merasakan hal itu. Riani mengangguk pelan. “Ada sesuatu di sana. Gue pikir itu---“ “Jangan disebut,” sambar Rega. Kedua tangannya dia pegangkan erat-erat di senter ponsel, kemudian diarahkan pada gelap yang mencekam di celah pohon. Tidak ada apa-apa. “Sori,” balas Riani. “Kalau lo merasakan sesuatu, cukup diam. Gue tahu itu,” kata Rega. Kali ini dia harus memberitahukan apa yang dirasakannya pada orang lain, terlebih dalam kondisi seperti ini. Awalnya Riani menganggap itu hanya perasaanya saja, tapi ketika tahu Rega juga peka pada situasinya, Riani harus menceritakan semuanya sekarang. Ia bilang, ada sesuatu yang mengikuti mereka dari tadi. Riani tidak berpikir yang aneh-aneh, hanya menganggap itu adalah hewan malam, bisa jadi serigala atau anjing hutan. Gadis berambut sebahu itu menyarankan untuk berjalan lebih cepat, agar sampai di teda dengan selamat tanpa ada hal aneh terjadi. “Jalan terus,” titahnya. ** Langkah kakinya sudah begitu berat terangkat. Lelahnya sudah menjelma jadi rasa malas. Hanya untuk berjalan saja sudah begitu sulit. Dia hanya ingin tidur saja dan istirahat. Gadis dengan iris mata hitam itu masih mengeluh, tak kuat. Doni dan Rere sama-sama merasakan lelah yang amat saat mereka harus bergelut dengan ilalang dan rumput liar malam hari. Bau dari getah dan daun yang terinjak menyeruak ke penciuman. Membuat perut mereka yang terasa sakit semakin mual. Pencarian Soni belum menemukan hasil sama sekali. Mereka yakin perjalanan ini sudah begitu jauh ke dalam hutan. Sangat berbahaya jika terus melanjutkannya. Rere merengek tak kuasa. Lelah. Ingin menangis saja. “Pulang aja, Don. Aku yakin kok Soni bisa jaga diri, besok subuh dia pasti udah pulang,” rengeknya sembari terus memukul-mukul lutut. “Jangan gitu, kita cari dulu sampe ketemu.” “Tapi ini udah jam 8, Don.” Doni berhenti, Rere yang masih mengeluh sambil merengek tak tahu jika punggung lelaki di depannya sudah siap dihantam dengan kepalanya. Maka ketika Rere mendongak untuk melihat jalan, wajahnya menabraknya dengan keras. Rere meringis. “Ish. Udah, yuk. Aku yakin Soni udah ketemu sama mereka,” kata Rere sambil menggosok hidungnya. “Yaudah. Gue rasa lo bener.” Doni berbalik, menyoroti wajahnya sendiri dengan senter, membuatnya menjadi sangat menyeramkan. Rere yang melihat itu menjerit ketakutan dan memukuli d**a bidangnya. “Sialan. Ish. Nyebelin lo,” kata Rere kasar. Doni hanya terkekeh-kekeh. Doni menghela napas setelahnya. Dia menatap arlojinya, kemudian menatap lagi Rere yang sudah tampak menyedihkan. Batinnya setuju dengan Rere. Dia juga merasakan hal yang sama, seharusnya sekarang sudah berbaring di tenda atau setidaknya membersihkan dirinya dari debu dan kotoran. Ia menimbang beberapa saat, setelah memikirkan ucapan Rere yang dirasa ada benarnya, lantas berjalan kembali. Doni pikir mereka harus istirahat! Saat di perjalanan pulang, Rere merasakan sesuatu. Ada suara langkah kaki yang terus mengikutinya dari belakang. Terdengar jelas seperti seseorang yang tengah menginjaki rumput yang basah. Bau daun menyeruak lagi ke hidungnya. Bersamaan dengan itu, bulu romanya meremang. Rere merasakan hawa dingin menusuk dadanya dari depan. “Don, kamu ngerasainnya, kan?” tanya Rere sambil menggosok sikutnya pelan, menatap Doni yang berjalan di sampingnya. “Gue tahu,” jawab Doni. Kegelapan malam makin mencekam. Pepohonan pinus yang mereka lewati semakin mengerikan dengan bintik-bintik merah di antara celahnya. “Don, lari!” teriak Rere, menarik tangan Doni, membuat senter di tangannya jatuh. Rere menjerit saat kegelapan makin menjadi. Doni mengenyahkan tangan Rere, memaksa gadis itu meringis. “Lo, sih. Jangan gitu, ah!” bentak Doni, berjalan kembali ke belakang. Mengambil senter yang terjatuh tadi. Namun ketika dia sukses mengambilnya dan mengarahkannya ke depan sambil berdiri, Doni sempat melihat sesosok makhluk bertubuh tinggi dengan bulu-bulu kecokelatan hitam lebat yang lewat dalam kecepatan tinggi. Doni melongo dan tubuhnya bergetar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN