6.2

2046 Kata
Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Istilah lama itu selalu disangkutpautkan dengan sesuatu yang sulit kita temukan di kala mencari benda yang memang diinginkan. Mungkin pepatah itu bisa berlaku bagi Rega dan Riani yang sudah mencari ke sana ke mari habis-habisan. Hingga mentari tidak ingin lagi menyaksikan dua insan yang tengah bersusah payah, sampai gelap gulita dengan senang hati menyambut dua sosok yang masih bergelut dengan waktu, mereka masih belum menemukan Soni. Tak ada tanda-tanda keberadaan Soni. Pria pembuat masalah yang sampai kini belum diketahui kondisi dan keberadaanya. “Masa iya, sih dari siang sampe sekarang gak ketemu? Di mana, sih si Soni?” Riani menggerutu jengkel. Kedua tangannya sudah menjadi begitu otomatis menepuk-nepuk lututnya yang kini terasa akan copot. Rasanya dia sudah tidak bisa lagi berjalan. Air yang mereka bawa sudah habis dan sekarang tenggorokannya kembali kering. Haus. “Kita pulang aja, Ni. Gua rasa Doni udah ketemu sama si Soni,” balas Rega yang duduk di samping Riani, ikut mengusap-usap pelipisnya yang sudah basah. Dengung suara serangga hutan terdengar ria menyoraki lembayung senja yang menyelinap masuk ke tiap celah pepohonan. Suasananya sudah gelap bertabir cahaya oranye di mana-mana. Sekitar pukul sembilan belas lebih dua puluh menit di arloji yang dikenakan Riani, dan mereka sudah harus kembali sebelum masalah lain timbul. “Yaudah ayo. Gue juga udah enggak kuat.” Rega menyarankan lebih baik kembali sebelum benar-benar gelap semuanya. Mengingat tak ada yang bisa mereka lakukan di gelapnya malam. Hanya bermodalkan sebuah senter dari ponsel itu sudah cukup untuk jalan kembali. Namun belum sempat mereka melangkah kembali, sekelibatan bayangan di cela-cela pohon itu terlihat cepat melintas ke sana ke mari, mengundang tanda tanya besar juga membuat detak jantung terpompa naik. Riani peka. Dia celingukan, bola matanya gesit mengikuti gerakan yang membuat rasa penasaran bergejolak naik seketika. Rasa takutnya membabi buta setelah bayangan itu semakin dekat mengarah pada dua insan yang masih duduk di bawah pohon pinus. “Mereka datang lagi,” gumam gadis itu, menilik ke segala arah. Namun masih belum berani bilang pada Rega. Sedetik kemudian ketika dia berusaha untuk tak menggubrisnya, kelibatan bayang kembali melintas di kegelapan. Riani tersentak. Dadanya terasa panas. Dia sigap menyalakan senter di ponselnya, menyisir tiap sudut kegelapan malam yang dirasanya memang ada sesuatu yang tengah mendekat. Paniknya parah, takutnya tinggi. Kini kedua rasa itu menjelma menjadi parno yang amat sangat besar. Riani tegang. “Kamu lihatkan? Itu ... itu,” tunjuknya mengikuti gerakan bayangan. Namun tidak ada apa pun, hanya menyisakan daun dan rerumputan yang bergoyang bagai ditiup angin. “Apa?” tanya Rega. “Mereka, entah apa pun itu gue enggak tahu, tapi mereka datang,” jawab Riani sigap. Dia menyinari bagian-bagian gelap lagi. “Hati-hati,” kata Rega. Riani mengangguk. “Iya. Lu jangan jauh-jauh,” tambahnya sambil berdiri di depan Riani, membentangkan ke dua tangannya. Riani dan Rega mulai menjauh dari sesuatu yang bersembunyi di balik gelapnya malam. Mereka berlari sekuat tenaga. Walau napas mulai terasa berat, tak membuat siapa pun berhenti melangkah. Menggilas rerumputan. “Terus lari,” teriak Rega pada Riani di sampingnya. Gadis itu tak merespons. Tatapannya fokus ke depan. Seakan belum puas memberi kode akan keberadaanya, makhluk yang entah apa itu, memberikan lolongan yang memekakan telinga. Raungannya melengking kencang sembari terus terdengar seperti sebuah tawa yang mengigil Burung-burung riuh berterbangan ketika suara itu pertama kali terdengar. Membawa kengerian yang menusuk tulang sumsum. Bahkan hanya dengan mendengarnya saja, Riani merasakan seluruh tubuhnya bergetar. “Khh ....” Riani menutup kedua telinganya dengan terus bergidik ngeri mendengar lolongan yang datangnya entah dari mana. “Suara apa itu, Ga?” tanya Riani melepas tangan dari telinga, berhenti berlari kemudian berputar di tempatnya sambil mendongak pada dedaunan pohon pinus di sekitarnya. Lagi-lagi suara menyeramkan itu terdengar di tengah kegelapan. Menjerit bagai makhluk yang kedinginan. Suara yang terus bergema, memantul pada batang pohon menjulang tinggi. “Jangan panik, ayo cepetan lari!” Rega menarik tangan Riani sembari terus mendobrak ilalang yang bergoyang tertiup angin malam. Gadis itu tak siap dengan tarikan tangan Rega, membuatnya nyaris terjerembab dan terseret, dibawa lari. “Buruan!” teriak Rega lagi. Sebelum jauh meninggalkan sosok yang mulai muncul dari balik pohon pinus, Rega sempat mendengar sosok itu menjerit. Memaksa bulu kuduknya meremang, dan Rega merasakan sesuatu yang buruk akan menimpanya. Merasa belum puas dengan membuat dua insan itu ketakutan, makhluk pemilik suara menyeramkan itu memelesat sangat cepat dan menghantam tubuh Rega yang tengah berlari dengan cakarnya yang panjang dan tajam dari arah samping. Dalam hitungan per sekian detik, tubuh Rega sukses menghantam batang pohon pinus dua meter jauhnya, darahnya berceceran dari pinggang yang sobek penuh sayatan, menetes ke tanah. Guratan empat jari terukir jelas di perutnya. Menganga. “Aah,” desah Rega. Riani yang menyaksikan hal itu menjerit histeris. Dia tak sadar akan serangan kejutan barusan. Setahunya, ketika dia masih berlari, Rega ada di depannya. Saat ketika matanya mengerjap, lelaki itu sudah hilang dari hadapannya, dan terbaring di dekat pohon pinus dengan luka di perutnya. Riani kembali menjerit. “Regaa!” Setelah sukses membuat tubuh Rega terpental, si pelaku kembali melolong kencang, membuat Riani semakin takut. Riani makin menjerit. Riani berputar di tempat, mencari dari mana asal suara aneh dan menyeramkan yang baru saja didengarnya itu. Mencari sosok yang bertanggungjawab atas semua luka yang ada di perut Rega. Riani buru-buru berlari ke arah Rega yang masih merintih kesakitan. Namun Riani merasakan seluruh tubuhnya kaku. Kaki-kakinya sulit digerakan dengan semestinya. “Rega!” teriaknya. Dia mencari asal suara itu. “Makhluk apa lo? Hah ... hah ... Rega!” Riani menggerakan senternya ke kiri dan ke kanan, kemudian menoleh pada Rega lagi dan mencoba menghampirinya. Namun langkahnya harus terhenti ketika lolongan mengerikan itu terdengar lagi. Suara berat dan keras terbawa angin malam, masuk dengan paksa ke gendang telinga Riani. Membuat gadis itu menggigil saking takutnya. “Aaa ... hentikan. Setop!” Gadis itu menutup kedua telinganya rapat-rapat, memejam. Membayangkan jika sosok itu muncul dengan wajah menyeramkan dan siap membunuhnya, membuat seluruh tubuhnya membeku lagi. “Hah ... Hah ....” Gejolak paniknya sudah membobol barometer. Merasa tidak nyaman dengan aura di sekitarnya, Riani bergidik berkali-kali. Ia paham jika makhluk itu tengah berada di sekitarnya dan sangat dekat. Bahkan, bisa saja mahluk itu tengah mengintainya dari jarak 5 sentimeter. Riani memutar pandangannya perlahan ke arah belakang dengan senter yang dia taruh di depan wajahnya. Cemasnya mendidih, perlahan tapi pasti dilakukan. Darah yang ada dalam tubuhnya seakan bergolak bagai dibakar, membuat semua yang dia rasakan memanas. Alangkah terkejutnya Riani ketika kedua bola matanya sukses menoleh ke arah belakang. Ada sosok yang tengah berdiri tepat di depannya. Wajah buruk rupanya semakin terlihat menyeramkan ketika tersenyum jahat ke arah Riani. Ia menyeringai. Empat gading panjang terpasang rapi di bibirnya yang tengah tersenyum simpul. Matanya merah menyala, dengan kulit pipi yang terkesan tebal serta kotor berbulu. Rupanya sempurna menyerupai monyet. Helai demi helai rambut tumbuh dari kepala hingga badan, seakan seluruh tubuhnya diselimuti rambut. Riani refleks menjerit. Dadanya seperti dihantam benda tumpul dengan keras. Ada rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya ketika dia menggigil dengan kencang. Ia melempar senter di pegangannya asal, paniknya meraja lela. Tanpa tujuan, dia berlari menjauhi makhluk menyeramkan itu, hanya berpikir untuk menjauh saja, bahkan tak ingat jika Rega sedang merintih kesakitan. “Aaa!” teriaknya histeris. Kegelapan menyergap begitu saja. Pandangan Riani menjadi terbatas dalam hitungan detik. Riani tak peduli dengan kegelapan. Dia bahkan tak peduli ketika ponselnya sudah jatuh entah di mana. Sudah bukan soal terang atau gelap, Riani tidak peduli soal itu sekarang. Pikirannya dikuasai rasa takut. Dia harus selamat. Riani menerobos ke arah kebun pinus, pepohonan menjulang tinggi itu membawa hawa yang sama dengan makhluk di belakangnya. Ketika memasukinya, Riani merasakan sesuatu menelisik pundaknya. Seiring dengan kencangnya napas yang naikturun, kaki Riani berlomba dengan ketakutan untuk bisa menjauh dari sosok menyeramkan yang jauh tertinggal di belakangnya. Langkah kaki itu berbelit dengan rumput liar yang tumbuh di sepanjang jalan. Riani dengan susah payah mendobraknya sembari menahan rasa lelah juga takut itu bersamaan. Lututnya terasa nyeri saat terus dipaksa untuk menjauh. Dengan terus berlari, Riani sesekali melirik ke belakang, memastikan monyet menyeramkan itu telah jauh darinya. Rencananya, dia akan kembali ke tempat Rega setelah berhasil melarikan diri. Ya, atau dia bisa mencari Doni dan mengajaknya ke tempat Rega bersama-sama. Dia harus menyelamatkan Rega, tapi sebelum itu, dia harus menyelamatkan dirinya sendiri dulu. Saking terlalu lelah berlari diiringi rasa takut, napasnya terasa berhenti di tenggorokkan. Ludahnya tersekat dan Riani tak kuat lagi berlari. “Hah ... hah. Gue rasa ... di sini aman. Hah.” Dia membungkuk sambil menjulurkan lidahnya panjang-panjang. Sungguh, dia sudah tak mampu lagi untuk berlari. Namun sosok yang tengah mengejarnya tak ingin memberikan waktu bersantai kepada Riani. Jauh dari gelapnya malam antara pepohonan pinus, makhluk berwajah menyeramkan itu kembali melolong. “Sial,” umpatnya sembari mulai berlari lagi. Sambil meraba, dia membuka jalan baru menuju hutan paling dalam. Tak peduli ke mana pun itu, yang terpenting dia bisa selamat. Pandangannya terbatas di tengah gelapnya malam. Deru napas naik-turun bersaing dengan rasa lelahnya dirasakan di lututnya, tapi batinnya memaksa kaki-kakinya harus terus berlari menjauhi sosok buruk rupa yang ditemui barusan. Kini hutan yang dia masuki dipenuhi dengan pepohonan kering dan mati. Batang-batang pohon menjuntai dari segala arah, menghalangi jalannya. Riani mulai memelankan langkahnya sembari mengatur napas yang habis satu-dua kali tarikan napas. Berusaha untuk tenang setelah merasa sosok itu tak ada lagi. “Hah. Gila. Makhluk apa itu? Ada apa dengan Galunggung?” Namun belum juga tenang dengan istirahatnya, Riani harus merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya kembali meremang. Dia pikir sosok itu ada di belakangnya, dan ketika kedua matanya dia arahkan ke samping bersama dengan tubuh yang mulai bergerak, dia melihat makhluk itu menyeringai lagi. Ludahnya meluncur ke kerongkongan secepat ketakutan kembali melanda kepalanya. Riani berlari lagi, menjauhi makhluk itu lagi. Tangannya lihat menjauhkan segala rintangan yang ada di depannya, sambil sesekali masih menoleh ke belakang, melihat jika sosok itu sudah sangat jauh. Di tengah usahanya berlari sambil berpatroli ke belakang, dia tak menyadari sesuatu hinga .... Clep .... Ketika Riani berbalik untuk menolehkan pandangannya kembali ke depan, tanpa ada jeda waktu untuk sadar, sebuah ranting kayu berujung runcing menancap mulus di mata kanan Riani. Darah muncrat begitu saja ketika ujung runcing itu mendarat dengan mulus dan sukses membuat mata kanannya buta. “Aaaa ....” Dengan mata yang masih menempel di kayu runcing, Riani menjerit kesakitan. Tubuhnya merespons rasa nyeri itu cepat. Menggelinjang. Dia kemudian menarik posisi tubuhnya ke belakang sembari menahan rasa sakit di matanya yang kini sudah pecah dan berlinang darah. Riani merasa setengah dunia mendadak gelap dan rasa nyeri yang tak pernah dia rasakan sebelumnya memeluknya dari segala arah. “Aaaa ....” Dia menjerit lagi, berjalan tak tentu arah. Kepalanya terasa nyeri ketika luka tusukkan itu berdenyut-denyut. Darah mengaliri tangannya yang masih menutup sebelah mata, mengucur di sela-sela jari, melewati hidung dan Riani bisa mencium bau amis dari darahnya sendiri. Air mata dan darah bercampur, sampai dia sendiri tak tahu apa yang mengaliri tangan serta hidungnya. “Mataku,” teriaknya. Dia menjerit-jerit. “Aah ... mataku. Sakit. Tolong!” Takutnya naik tajam, menguasai pikirannya. Kontrol tubuhnya tak seimbang, Riani sempoyongan sembari menekan darah yang terus meronta keluar. Cekikikan dari dalam hutan kembali terdengar. Walau samar-samar, dia bisa tahu jika sosok itu tengah menertawakannya. “Sial,” teriaknya. Riani mundur, dan tanpa sadar, ranting di belakang kepalanya menusuknya dengan kencang. Refleks saja gadis itu menjerit lagi saat belakang kepala mulai mengeluarkan darah. Rambut sebahunya berbelit dengan sulur dan tanaman kering yang tergantung di dahan-dahan pohon. Dia terlilit kencang. Gadis itu berusaha melepaskan diri sambil mengumpat, mengucapkan semua sumpah serapah. “Siaal!” Setelah sekuat tenaga berusaha menjauh, dia terlepas dan tubuhnya terhuyung ke depan. Tanpa sadar, langkah kakinya terus menuntunnya pada semak belukar penuh duri dan ranting yang mencuat ke angkasa. Kakinya lincah ke sana ke mari tanpa terkontrol hingga dalam hitungan detik tergelincir setelah menedang sebuah batang pohon yang telah mati. Tubuh langsing itu terpeleset kemudian menghantam tanah dengan gundukan ranting yang menggunduk runcing, dan sukses membuat sisa mata Riani tertusuk. Wajah mulus putihnya terkoyak oleh ranting, sobek dan mengeluarkan darah. Riani menjerit nyeri. Menahan wajahnya yang sudah berlumur darah agar tak terasa nyeri. Namun, rasa sakit itu ribuan kali lipat terasa. Riani kejang. Darah makin deras keluar dari matanya. Rasa sakit dan ngilu berputar di tubuhnya. Memaksa gadis itu terus menggelepar seperti seekor ikan kekeringan. Riani merintih kesakitan. Terus berusaha untuk bersuara. Namun tenggorokannya terisi penuh oleh darah yang kental dan bau amis. Dia hanya bisa menahan napas beberapa detik karena gumpalan darah mulai menutup kerongkongannya. “Kh ... kh ... kha ....” Napas terakhirnya terkikis, diiringi teriakan yang mulai terdengar serak. Hingga akhirnya dia kehilangan darah dan mati saat itu juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN