Berita Alify yang harus dirujuk ke rumah sakit telah sampai ke penjuru sekolah. Setengah dari mereka ada yang mampus-mampusin dan setengahnya lagi cuek bodo amat.
Berbeda dengan keadaan kelas Alify yang kini riuh mulai menggosipi si biang troublemaker yang emang jarang banget yang namanya sakit. Belum pernah ada Alify pingsan waktu olahraga atau upacara atau datang ke kelas dengan keadaan pucat. Alify yang mereka kenal memang selalu terlihat kuat dan tak terkalahkan.
"Pantes dia gak pernah mau piket. Setiap bersih-bersih bareng juga dia langsung kabur. Alergi debu toh."
"Ketara banget dia gak pernah bersih-bersih dirumahnya. Anak orang kaya kali ya?"
"Bukannya dia anak Gnw Corp? Nama ujung dia Gunawan kan?"
"Anjir, gue pepet jadiin temen dah kalau dia beneran anak Gnw Corp. Tapi mana mungkinlah anak tajir gayanya begitu. Kurang apa coba hidup dia?"
"Bener. Bukunya aja gak ada yang disampulin. Pulpen aja punya satu, hasil maling pula. Gak mungkinlah dia anak Gnw Corp, malu maluin wkwk."
"Heh! Jangan omongin bebep gue dong! Kasian dia lagi sakit malah lu omongin!" Iya, itu Dio yang tiba-tiba aja ngomong ke geng yang ada sebrang barisannya.
"Rio bantuin dong bela temen sebangku lo, masa lo tega dia dihina gini." Dio meminta pertolongan kepada Rio.
Rio menggedikkan bahunya. "Males ah, kenal dia juga engga."
Bener, Rio sama Alify bahkan belum berkenalan satu sama lain.
***
"Gak mau."
"Aku bilang gak mau ya gak mau!!"
Alify kehabisan kesabarannya ketika Ayahnya itu memaksanya untuk berkenalan dengan calon ibunya. Gunawan nampak masih berusaha menahan amarahnya agar tak meluap mengingat kini mereka sedang berada di ruang rawat inap.
"Mas sudahlah gak apa. Masih banyak waktu juga. Biar Alifynya istirahat dulu." Ujar sang calon yang membuat Alify menatapnya malas.
Cari muka.
"Ayah gak pernah ajarin kamu seperti itu Alify. Jaga sopan santun kamu didepan orang dewasa!" Nampaknya Gunawan tak menggubris ucapan calonnya itu. Ia masih ingin memberikan anaknya sopan santun terhadap lawan bicara.
"Emang Ayah gak pernah ajarin aku. Selama ini kan Ayah gak pernah ada di rumah. Bunda yang selalu ajarin aku ini itu, bukan Ayah." Alify mengatakan itu dengan suara yang lancang. Matanya menatap tajam kearah Ayahnya yang juga sama-sama sedang menatapnya.
"Lalu kamu tidak menerapkan apa kata Bundamu?!"
"Untuk apa? Bunda udah gak ada. Biar aku kayak gini. Biar Bunda tau kalau Ayah gak becus jagain aku selama ini. Dan biar Ayah tau juga seberapa penting sosok Bunda sewaktu hidup."
Gunawan hampir melayangkan tamparannya jika calonnya itu tidak menahan pergelangan tangannya. "Sudah, Mas. Sudah. Alify lagi sakit, jangan buat dia makin sakit karena kamu."
"Biarin, Tante. Biar Tante lihat gimana sifat asli Ayah yang tempramen dan kasar! Tak menghormati atau melindungi wanita! Tidak sayang bahkan tega dengan anaknya sendiri!"
"Batalkan pernikahan kalian. Atau aku tidak akan datang sekalipun yang menikah adalah Ayahku sendiri."
***
Rio menatap bangku disampingnya yang sudah terisi sesosok wanita. Wanita itu tengah tertidur dengan berbantalkan lengannya yang dilipat diatas meja. Dengan pelan -maksud tak ingin mengganggu, Rio menyimpan tasnya dan duduk dikursinya dengan hati-hati.
"GOOD MOR-"
"Ssstt!" Ucapan Dio terhenti ketika Rio menegurnya dengan tatapan kesal.
"Kenapa?" Tanya Dio dengan suara pelan sambil menghampiri Rio.
"Tidur." Jawabnya singkat sambil mengarahkan tatapannya kearah teman sebangkunya itu.
Dio membulatkan mulutnya lalu duduk didepan bangku Rio tetapi menghadap kebelakang. Tatapannya ia arahkan ke Alify yang membelakanginya. "Miss you.."
"Jijik."
Dio dan Rio saling bertatap-tatapan ketika Alify mulai mengangkat kepalanya. "Berisik kalian." Omelnya.
"Maap beb.." Jawab Dio alay.
"Gue kira lo tidur." Ujar Rio membuka suaranya.
"Emang tidur, cuma kebangun semenjak lo datang."
Rio menatap Alify yang hanya menatap lurus kedepan. Salah satu bukti jika teman sebangkunya itu terlalu enggan untuk diganggu atau justru kelebihan ego.
Rio memilih untuk memfokuskan dirinya membaca komik yang ia bawa dari rumah. Sedangkan Dio masih asyik memandang teman terkasihnya yang hanya memandang lurus dihadapannya.
"Lo makin cantik ih, kesel gue jadinya."
Ucapan Dio sukses membuat Rio mengalihkan perhatiannya. Ia menatap aneh kepada teman yang merangkap menjadi ketua murid dikelasnya itu. Kena pelet apa ni orang?
"Sana balik liat depan, bentar lagi guru tersayang lo masuk." Balas Alify dengan nada dinginnya. Pandangannya belum berubah selain menatap kosong kedepan.
Dio tersenyum lalu menuruti perkataan Alify.
Dasar bucin.
"Lo juga jangan liatin gue mulu. Ntar suka."
"Gue?" Rio bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Alify mengangguk.
"Gak akan. Sorry."
Alify menyunggingkan senyum miringnya. Ia memutar badannya menghadap Rio dan menatap pemuda itu. "Sampe nanti lo nembak gue, liat aja. Bakal gue tolak."
***
"Sayang."
Alify mendongakkan kepalanya ketika seseorang datang merangkulnya. Pria yang tingginya jauh darinya itu menyunggingkan senyum manis.
"Balik sama gue? Kita main dulu ke basecamp."
Alifu menggeleng. "Gak dulu deh. Gue ada urusan nih di rumah."
"Urusan apa?"
"Bokap gue, mau nikah lagi. Gue mau nyusun rencana biar batal." Jawabnya jujur.
"Yaelah, Fy. Masih posesif aja lu. Biarin aja bokap lo nikah lagi, namanya cowok. Bokap lo pasti butuh pengganti untuk menuhin kebutuhan biologisnya."
Alify terdiam.
"Gini deh, gue tau itu hak lo. Tapi gue sebagai temen lo mau kasih tau aja, gue selalu siap untuk bantu lo. Oke?"
Alify tersenyum. "Makasih, Bran. Sekarang lo mau kan anter gue pulang?"
Gibran tertawa lalu memberi gestur hormat. "Siap tuan putri!"
"Pake dulu helmnya." Gibran menyerahkan helm kuningnya kepada Alify.
"Asyik, pake helm kesayangan haha."
"Sayang darimana, belum aja dikasih udah diselingkuhin." Gibran tertawa garing sebelum mulai menstater motornya.
Helm kuning yang selalu dibawa Gibran di motornya ini memang punya cerita. Menurut yang Gibran bilang, helm ini ia beli saat ia masih pacaran dengan mantannya dulu. Tetapi saat ia ingin memberitahu pacarnya itu, ia malah mendapati pacarnya tengah selingkuh.
Sedangkan teman-temannya yang ingin menebeng selalu menolak menggunakan helm kuning. Kayak perempuan, katanya. Jadi yang pake mentok-mentok Alify atau Mamanya.
"Ayo naik."
Alify menempatkan tangannya dipinggang Gibran. Tak tanggung-tanggung memang kadang ia memasukkan tangannya itu kedalam saku jaket. Dingin katanya, mengingat hujan yang baru saja reda.
"Oh ya, Fy. Katanya ada anak baru di kelas lo?"
Alify berdeham tanda mengiyakan.
"Bisalah diajak join kalau asik."
"Engga deh. Anak wibu."
"Oh, nolep?"
"Gak tau sih, tapi jarang ngomong juga. Gue aja gak tau nama dia siapa."
Alify dapat mendengar suara tawa Gibran yang tertahan helm fullfacenya. "Dasar, Alify."
Suara peluit bersamaan dengan seorang polisi berseragam menghalangi jalur mereka.
"Minggir dek." Seorang polisi tiba-tiba saja menyuruh mereka meminggirkan motornya dan berhenti.
Gibran membuka kaca helmnya. "Kenapa, Pak?"
"Kamu umur berapa? Boleh lihat surat-suratnya?"
Waduh, Gibran ditilang.
Alify turun dari motor Gibran ketika pria itu menurunkan standarnya. Gibran mengeluarkan KTP dan SIMnya dari dompet.
"STNK?"
"Dirumah, Pak. Masa saya bawa-bawa ke sekolah?" Balas Gibran tak takut.
Pak Polisi itu nampak menggelengkan kepalanya, lalu mencatat sesuatu dikertas yang sedari tadi ia bawa. "Selesaikan ini di kantor polisi."
"Yah, Pak. Saya pelajar loh!"
"Salah sendiri kenapa masih pelajar sudah bawa kendaraan."
"Dikasih Papa saya ini, Bapak gak tau apa kalau pelajar banyak tugas dan ulangan?!"
"Sudah-sudah sana, beritahu orangtua kamu dan selesaikan di kantor polisi nanti. SIM dan KTP kamu saya tahan."
Gibran mendecak kesal. "Uang damai deh, Pak."
"Gak ada! Sana pulang, pacar kamu sudah bete nih." Ujar Polisi tersebut lalu meninggalkan mereka.
"Dasar Anjing." Umpat Gibran ketika Polisi tersebut sudah cukup jauh.
"Namanya Riel, nanti serang aja kalau dia lagi sendiri." Ujar Alify dan Gibran angguki.
***