Bab 1. Kabar Buruk
"Gaes … makan sepuasnya buat ngerayain anniversary ketiga gue sama Kevin." Perkataan itu sukses membuat empat gadis yang cantik dan super modis disana bersorak gembira. Bukan hanya keempat gadis, tetapi ada satu laki-laki tampan yang tentunya dengan penampilan cool dan mempesona. Segala macam makanan barat dan mahal tertata rapi di meja makan. Mereka menikmati makanan itu diiringi canda tawa dan suka cita. Mereka semua benar-benar terlihat bahagia.
Hidup bergelimang harta dan berkecukupan dalam segala hal adalah impian semua orang. Bukan hanya harta yang berlimpah, tetapi keluarga yang harmonis juga termasuk anugrah yang sempurna dan bisa dikatakan orang yang beruntung di dunia. Begitulah yang Chelsea Aurora Borealis Wilson jalani selama dua puluh tahun lamanya.
Chelsea begitu dimanja oleh kedua orang tuanya karena anak perempuan satu-satunya. Chelsea punya dua orang kakak laki-laki yang tinggal di Italia. Suatu peristiwa buruk menimpa Chelsea dan membuat kedua orang tua Chelsea harus pindah ke negara Indonesia kemudian merintis usaha serta berbisnis hingga sukses.
Kehidupannya yang sangat sempurna bagi seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi dan sexy bahkan wajah yang bak boneka barbie itu menjadi idaman setiap orang. Chelsea punya banyak barang branded, selalu pergi jalan-jalan ke luar negeri, punya pacar yang penyayang dan para sahabat yang selalu membuat ceria serta tawa menjadikan kehidupan Chelsea semakin istimewa.
"Maaf Non, kartunya invalid," ucap seorang waiters dan memberikan kembali kartu berwarna hitam pada sang pemilik. Chelsea yang sedari tadi memeluk mesra lengan Kevin sang pacar, langsung melepaskan pelukannya dan mendekati waiters yang menangani pembayaran itu.
"Impossible … ini black card beb … coba sekali lagi," jawab Chelsea dan melihat dengan pasti bahwa kartu berwarna hitam itu benar-benar digesekan pada mesin pembayaran. Mustahil jika kartu istimewa tanpa batas itu bisa invalid.
"Sudah ketiga kalinya, Non. Kartu ini benar-benar tidak bisa digunakan untuk pembayaran. Bisa pakai kartu yang lain atau pake uang cash dulu, Non. Totalnya jadi enam puluh sembilan juta," kata waiters itu membuat ketiga sahabat dan pacarnya melongo.
"Hah?" Chelsea terkejut sekaligus bingung karena dia tidak punya uang cash atau kartu yang lain. Selama ini dia hanya pakai satu kartu hitam itu.
"Coba lu telpon Bokap lu dulu, Chel," titah Clara salah satu sahabat Chelsea. Namun belum Chelsea mengambil ponselnya yang ada di dalam tas berlambang huruf H itu, ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk dan secara kebetulan itu adalah orang yang Chelsea butuhkan.
"Iya hallo, Ben." Chelsea membulatkan matanya seolah sangat terkejut dengan pembicaraan yang disampaikan oleh si penelpon. Suasana hening beberapa saat dan semakin mencekam setelah Chelsea menutup telepon dari bodyguard pribadi papinya.
"What happen, Chel?" tanya Laudya yang merangkul bahu Chelsea. Bukannya langsung menjawab, Chelsea menoleh ke luar jendela tempat dimana mobil berwarna merah dengan lambang kuda berdiri itu terparkir dan siap untuk di derek. Chelsea semakin terkejut karena benar apa yang dikatakan Ben bahwa mobilnya akan diderek dan disita oleh bank.
"Hei Baby! Kenapa dengan mobilnya?" tanya Kevin yang ikut heran melihat mobil supercar milik pacarnya yang dirasa tadi baik-baik saja tiba-tiba dibawa tukang derek. Kevin menggenggam tangan Chelsea dan menunggu jawaban darinya.
"Pa-Papi gue … Papi gue … bang-bangkrut dan … dan … sekarang masuk rumah sakit." Chelsea seketika ambruk di lantai karena merasa seluruh tulangnya telah remuk dan hancur. Pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang kemudian menjadi gelap seketika. Semua orang memanggil dan menggoyangkan tubuh Chelsea, tetapi tidak mendapatkan respon.
Beberapa jam kemudian Chelsea membuka mata dengan terpaksa karena entah kenapa kedua kelopak matanya terasa sangat berat. Netra matanya masih buram. Chelsea pun mengucek kedua matanya. Tatapannya tertuju pada langit-langit dengan plafon putih polos dan lampu yang mati. Ruangan itu terasa asing untuk dia lihat. Suasananya juga sepi. Setelah pandangan matanya jelas, Chelsea berusaha menoleh untuk mencari siapa saja yang bisa menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.
"Nona!" Seru seorang laki-laki tampan dengan setelan jas serba hitam dan berkacamata hitam berdiri tegak di sisi Chelsea. Susah payah Chelsea membuka mulutnya, tetapi masih begitu berat. Lidahnya seolah membeku sehingga Chelsea kesulitan untuk bicara. Chelsea ingin bertanya dan bicara, tetapi Chelsea tidak bisa membuka mulutnya. "Istirahat dulu, Non. Jika keadaan Nona Chelsea sudah tenang, silahkan telpon saya." Pria itu meletakkan ponsel milik Chelsea di atas nakas di sisi tempatnya terbaring beserta tas branded nya.
"Tuhan … apa yang sedang terjadi. Nggak mungkinkan? Impossible kalau Papi bangkrut. Hartanya bahkan tujuh turunan delapan tanjakan dan sepuluh pengkolan pun enggak mungkin habis, tapi tiba-tiba kabar buruk ini … astaga … gue nggak bisa berpikir. Rasanya seluruh tubuh ini membatu. Kevin! Dimana dia? Clara, Laudya, Olla? Dimana mereka semua? Mereka kenapa nggak ada di sisi gue?" Chelsea terus bicara dalam hatinya. Dia ingin sekali menjerit, tetapi sekeras apa pun hatinya menjerit, Chelsea tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya dan hanya ada air mata yang menetes menandakan betapa beratnya kabar yang harus diterima. "Ini mimpi. Ya! Ini pasti hanya mimpi. Saat gue bangun semuanya bakal kembali seperti semula." Chelsea pun terlelap dalam tangisnya dan berharap semua itu hanya mimpi buruk.
Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu. Kota yang panas dengan banyak kesibukan dan macet itu tiba-tiba menjadi dingin dan sunyi dari bunyi klakson mobil serta motor yang selalu tidak sabar untuk segera melaju. Chelsea pun terbangun karena suara petir yang begitu menggelegar terdengar di telinganya. Perlahan membuka mata dan mengucek kedua mata agar pandangan retina matanya terfokuskan.
Setelah membuka mata, Chelsea menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Chelsea menoleh ke samping dan mendapati Ben sedang berdiri tegak, tetapi matanya terpejam. Chelsea mengangkat sebelah alisnya karena heran kenapa Ben menutup kedua matanya.
"Kenapa lu merem, Ben?" Chelsea menatap dirinya sendiri dan ternyata baju Chelsea terangkat hingga bagian perutnya terlihat. "Ups," kata Chelsea sadar kenapa Ben menutup matanya. Chelsea pun turun dari brankar karena merasa haus dan berjalan mendekati galon air mineral. Setelah rasa harusnya hilang, Chelsea masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya pada Ben. "Heh beruang kutub yang selalu dingin dan nggak pernah senyum!" panggil Chelsea seraya memukul lengan Ben. "Kenapa gue ada disini?"
"Apa sekarang Nona Chelsea sudah merasa baik? Bisakah kita bicara?" Ben pun membuka mata dan matanya mengekor pada pergerakan Chelsea yang berjalan mendekati jendela.
"Ini rumah sakit Papi kan, Ben? Kenapa gue disini sih?" tanya Chelsea menatap jauh ke bawah yang suasananya begitu sepi. Chelsea sedang berada di lantai empat di sebuah rumah sakit terbesar di kota Jakarta. Rumah sakit itu adalah rumah sakit yang dibangun oleh keluarga Wilson sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. "Eh, lu tau nggak Kevin dimana? Impossible banget Kevin nggak di sisi gue saat gue terbaring di rumah sakit begini," tanya Chelsea lagi seraya kembali meneguk air mineralnya.
Ben menarik nafas panjang mencoba mengatur nafasnya karena Ben akan menjelaskan semuanya pada Chelsea. "Nona, keluarga Wilson sudah bangkrut dan Tuan Wilson sekarang sedang sakit di kamar lain di rumah sakit ini juga." Mata Chelsea membulat dan membalikkan badan menatap Ben penuh tanda tanya besar.
"Nggak mungkin Ben … nggak mungkin semua itu benar-benar terjadi! Nggak mungkin Pap-Papi gue bangkrut," ucap Chelsea dengan suara beratnya.
"Nona, perlu anda tahu kalau Kevin dan ketiga sahabat yang selama ini Nona banggakan itu sebenarnya adalah parasit. Mereka semua memanfaatkan apa yang Nona punya," lanjut Ben menjelaskan hal yang semakin tidak masuk akal untuk Chelsea terima. "Bukan itu saja Nona, tapi Kevin pacar Nona itu telah menjalin hubungan dengan Clara secara diam-diam selama satu tahun ini. Mereka juga sering tidur bersama di hotel." Lagi-lagi perkataan Ben membuat Chelsea harus memutar otaknya untuk mencerna setiap kata yang Ben lontarkan. "Nona … mari temui, Tuan, karena beliau sedang membutuhkan Nona disisinya." Ben berjalan keluar tanpa menunggu Chelsea yang masih membeku di tempatnya. Namun suara pintu terbuka membuat Chelsea sadar dan mengikuti langkah Ben setelah meletakkan gelas di atas nakas.
Ben membuka pintu sebuah kamar yang tempatnya hanya bersebelahan dengan kamar Chelsea tadi. Saat masuk Chelsea cukup terkejut melihatnya sang papi dengan beberapa alat yang menempel di tubuhnya. Chelsea menatap pria paruh baya di hadapannya yang sedang digenggam erat tangannya oleh sang mami.
"Chelsea anakku!" Walaupun lirih, tetapi Chelsea cukup bisa mendengar suara sang papi dibalik alat bantu pernapasannya. Chelsea pun perlahan mendekati tempat papinya terbaring.
"Yes Pi, ini Chelsea. Papi harus baik-baik saja, oke?" jawab Chelsea ikut menggenggam erat tangan sang papi kemudian menciumnya.
"Menikahlah dengan Ben!" Seru sang papi membuat Chelsea kembali terkejut karena permintaannya yang tidak masuk akal.
"Dad … are kidding? Dia duda dan Chelsea anak perawan Papi satu-satunya. You make me crazy?"