BAB 14_ALEXANDRITE

1316 Kata
Menjelang sore hari, Anggara membuka pintu dan terlihat ia mengangkat sebuah kardus besar yang penuh isinya. Tidak berat tapi ia terlihat berhati-hati dengan benda itu. Ia meletakkan bawaannya perlahan. Almaira juga berusaha tidak peduli. Hatinya masih dongkol karena kejadian tadi siang masih belum sirna. Walau ekor matanya sebenarnya tidak bisa ikut acuh. Anggara keluar dan kembali lagi dengan membawa kardus yang sama, namun kali ini lebih kecil. Almaira jadi penasaran. Ia mengernyitkan dahinya, keheranan. Ia melihat Anggara sibuk mengeluarkan isinya satu persatu. Mie instan, beras, minyak goreng, bumbu siap saji, sarden, telur, dendeng_ sejenis daging sapi yang dikeringkan. Tidak cukup itu saja, ternyata dari dalam kardus itu muncul buah-buahan, air mineral, minuman bersoda, aneka snack, juga jus siap saji. "Apa dia sedang membuka toko?" Almaira mencebik melihat Anggara sibuk. Tampak Anggara mengeluarkan juga kompor portable, panci-panci kecil lengkap dengan sutilnya. 3 piring, 2 mangkuk, 2 gelas, dan beberapa sendok makan. Almaira tak bisa menahan dirinya untuk berkomentar. "Apa di sini akan ada camping?" tegurnya sekaligus menyindir Anggara. "Jika kau mau, bisa-bisa saja." Anggara fokus memeriksa kondisi kompor mini berwarna hitam. "Aku serius!" seru Almaira seperti menagih jawaban. Anggara menghentikan pekerjaannya lalu menatap tajam Almaira. Almaira menjadi sedikit kikuk. "Aku harus pergi beberapa hari." Almaira terkesiap. Ia tahu laki-laki itu sering meninggalkannya tapi dia selalu ada di saat jam makan. Pernah waktu itu, hanya sarapan dan makan siang saja. Lalu pagi-pagi, terdengar suara mobilnya seperti baru kembali. Andai ia tahu bahwa di rumah hutan itu semalam ia sendiri, pasti ia tidak akan bisa tidur karena rasa takut. "Ini lampu otomatis, jika kau memutarnya seperti ini akan menyala. Aku yakin ini akan bertahan beberapa hari sampai aku kembali," lanjut Anggara. Almaira masih mematung. Di pikirannya bagaimana ia akan sendrian di tempat asing ini tanpa ada satu orangpun. Takut. Itu perasaan yang mulai memenuhi otaknya. "Aku usahakan---" "Tidak usah kembali, karena saat kau kembali, kau akan menemukan mayatku," potong Almaira dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Anggara terhenyak. Ia berusaha memahami pasti akan sulit buat seorang gadis sendirian di tengah hutan begini. "Jangan risau, aku pasti kembali," ucap Anggara mencoba meyakinkan Almaira. Almaira tetap membisu. Ada berbagai perasaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mengigit bibirnya, menarik nafas panjang. "Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Tunggu di sini." Anggara melesat keluar. "Sssh...memangnya aku bisa kemana? Melewati pintu itu saja aku tak mampu. Ia akan membuatku menghabiskan sisa umurku di sini," keluh Almaira meremas sprei yang memang sudah kusut. Anggara sedikit bergegas menghampiri Almaira yang masih masam. Ia membawa beberapa packs novel yang masih dalam plastik beningnya. Belum terbuka sama sekali. "Bacalah. Mungkin bisa mengurangi suntukmu selama aku pergi. Aku tidak punya pilihan, secepatnya aku kembali." Anggara menyerahkan tumpukan novel itu, berharap Almaira mengulurkan tangannya. Namun gadis itu masih tidak mau bergeming, justru membuang muka. Anggara menghela nafas. Entah kenapa saat ini, ia lebih ingin mendengar gadis itu mengomel atau mengumpatnya. Akan terasa lebih baik daripada didiamkan begini. Mengapa tiba-tiba ia bisa berpikiran begitu? Ia mendecak mencoba mengembalikan konsentrasi. Anggara meletakkan novel-novel itu di sisi ranjang lalu berbalik arah menuju jalan keluar. Tanpa kata perpisahan dan pesan. Membawa rasa yang bimbang. Biar bagaimanapun, ia mengkhawatirkan Almaira. Apakah gadis itu akan baik-baik saja? *** Sebuah mobil sport berwarna hitam memasuki gerbang. Mobil yang menjadi hadiah ulang tahun ke dua puluh dari ayah dan ibunya. Memiliki kecepatan maksimal hingga 250 km/jam dengan fitur launch control membuatnya pantas dipinang dengan harga yang fantastik. Mewah kendaraan itu ternyata tidak menjadikan pemiliknya saat itu bahagia. Desta, anak sulung Anita tidak mampu menyembunyikan rasa kesalnya di balik wajah tampannya. Ia keluar dengan menggeret kopernya dan menutup pintu mobil itu dengan kencang. Yang menyupiri diam saja. Di balik kacamata hitamnya, ia memperhatikan gerak gerik pemuda labil itu. "Waaaa...sayaaang...Ibu senang sekali kau kembali. Sudah sangat rindu hati ini. Bagaimana? Semua lancar?" Anita menyambut anaknya dengan pelukan, ciuman bertubi-tubi di pipi sulungnya. "Ah Ibu. Aku sudah bilang, aku gak mau Benalu itu yang jemput, tau gini mending aku gak usah pulang sekalian!" Desta menghempaskan kopernya. "Loh kok gitu sih, Nak. Udah capek-capek Masmu jemput," Nyoya Anita mengelus anaknya. "Masih ada orang lain yang bisa jemput aku, Bu!" Desta memalingkan wajahnya. "Satu lagi, dia bukan siapa-siapaku! Ibu kalau bela dia terus, aku lebih baik liburan di tempat lain." Desta memungut kembali kopernya dan berlalu menaiki tangga, menuju kamar kesayangannya dengan raut wajah yang sangat tidak menyenangkan untuk dipandang. Anita hanya bisa berusaha tenang, berharap Anggara tidak mendengar ucapan anak sulungnya itu. "Nya, jadi nanti sore meeting dengan klien yang ingin melihat batu permata?" Tiba-tiba Anggara muncul di belakangnya. Nyonya Anita sedikit terkesiap. Anggara tersenyum. "Tentu saja, Nak. Ibu persiapkan dulu barangnya ya. Kamu sekarang istirahat. Itu tadi Bi Odah buat salad buah, nanti Mama bawakan ke kamarmu." Anita membuka jaket Anggara. Ia selalu melakukan itu, sebagai bentuk perhatiannya pada pemuda yang ia cintai seperti anak kandungnya. "Nanti saya ambil sendiri, Nya. Sekarang, saya ke kamar dulu ya." Anggara meraih jaketnya dari tangan Anita dan melangkah pergi. "Oh ya Nak, 1 jam lagi jemput Bapak ya. Hari ini istri Mang Dadang melahirkan, jadi dia libur!" suara Nyonya Anita setengah berteriak. "Baik, Nya!" Anggara menyahut dari balik kamarnya. "Aaah...semoga semuanya berjalan lancar. Kalau deal hari ini, aku akan membelikan hadiah untuk Anggara dan Desta," batin Anita, tersenyum menatap dinding. Sebuah foto keluarga yang dicetak besar dan mewah dengan ukuran bingkai yang cantik. Ada Anggara juga di sana hadir, dengan tubuh tegap, wajah dingin khasnya. *** Di sebuah ruangan VIP dalam restoran mewah, tampak beberapa orang sedang berbincang hangat. Semuanya wanita dengan dandan yang sangat mewah. Pakaian mereka elegan dengan polesan make up yang pas. Di jari-jari mereka ada cincin yang bertenggerkan berlian. Ada juga yang melengkapi penampilannya dengan hiasan kalung bertahtakan batu permata yang cantik. Terlihat nyata, kilauannya memesona mata. Tidak jauh dari situ, seorang laki-laki berbadan kekar, topi hitam sedikit menutupi wajahnya, dan berkulit sawo matang mengenakan jaket kulit. Ia sedang memainkan gawainya, sambil sesekali memperhatikan kumpulan wanita itu. Sedari pagi, ia merasakan detakan jantungnya tidak seperti biasa. Serasa sempit hatinya saat ia sedang mengingat seseorang yang ia tinggalkan sendirian di hutan. Walau ia yakin, semuanya aman namun perasaan was-wasnya selalu muncul. Ia ingin melihat gadis itu, menatap matanya yang selalu marah dan mendengarkan umpatan dan ketusnya. Anggara menarik nafasnya lalu memejamkan mata. Ada apa dengan perasaan ini. Apakah ini karena ia hanya mengkhawatirkan gadis itu? Seperti pemburu yang takut kehilangan hasil buruannya. Atau rasa ini lebih dari itu. Mungkinkah ini yang namanya rindu? Terdengar secara samar, Nyonya Anita menawarkan batu permata yang ia bawa. "Ini loh Jeng, yang namanya Alexandrite. Ini cantik sekali cocok buat dijadikan mata kalung. Permata ini bisa berubah-ubah warnanya, Jeng. Kalau kena cahaya terang begini, warnanya hijau seperti zamrud. Naah seperti ini kaaan..." Anita memutar-mutar batu permata itu. "Tapi kalau gelap, naah kita tutup yaa...akan menjadi merah selayaknya batu rubi. Cantik kan, Jeng?" Semua mata wanita-wanita itu berbinar kagum melihat kecantikan batu permata yang sedang dipegang Anita. Dalam pikiran mereka, tak akan segan mengeluarkan uang dalam jumlah ratusan juta untuk mendapatkannya. Bayangkan saja, perkaratnya saja batu permata Alexandrite dibandrol dengan harga 172.000.000. Fantastik bukan? Itulah mengapa kehadiran Anggara sangat dibutuhkan Anita setiap kali ia membawa perhiasan yang bernilai ratusan juta. Sebab ia tidak mau kejadian dulu terulang sehingga mengalami kerugian yang besar. Ia juga harus lebih hati-hati terhadap calon pembeli. Beberapa kali ia hampir rugi karena pembeli yang sedang mencoba perhiasannya tiba-tiba akan melarikan diri. Untung saja, Anggara selalu berhasil menggagalkannya. "Menurutmu, mereka akan positif tranfer?" Nyonya Anita membuka pembicaraan saat dalam perjalanan pulang. Ada semburat kelelahan pada wajahnya. "Pasti, Nya. Nyonya yang terbaik kalau masalah menawarkan perhiasan. Mata mereka hampir mau melompat keluar melihatnya." Aggara berusaha menghibur tuannya. "Kamu bisa aja becandanya," Wanita berkalung berlian itu tertawa terpingkal-pingkal. Anggara tersenyum. Sedikit canggung, ia bertanya, " Apa namanya permata yang tadi itu, Nyonya?" " Alexandrite, Nak." Pemuda berahang lebar itu terdiam. Ia membayangkan sesuatu. Perhiasan cantik untuk seseorang yang berambut panjang dan bibir merona, pasti itu akan sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN