BAB 15_PERTARUNGAN

1133 Kata
Sudah 3 hari Anggara disibukkan dengan pekerjaannya sebagai desain grafis. Para kliennya sudah menunggu deadline yang ia janjikan. Untuk mendapatkan kesepakatan hasil akhir, ia harus bisa menyelesaikan desainnya sambil terhubung dengan kliennya melalui jaringan internet. Hal tersebut tidak bisa dilakukan di tengah hutan. "Malam ini harus finish," lirihnya menatap layar laptopnya. Hanya terdengar suara detakan jam weaker memenuhi ruangan itu. Sesekali suara 'klik' dari benda yang disebut mirip dengan tikus, bergerak-gerak dalam kendali tangan Anggara. Ia merasa nyaman menggunakan benda mungil itu. Di kelopak mata Anggara hanya nampak bayangan Almaira yang sedang sendirian. Ia ingin segera melihat Almaira walau telinganya harus mendengar sumpah serapah gadis itu. Khawatir, takut, was-was atau rindu? Tidak mampu memilah. Semua rasa bercampuk aduk membuat pikirannya menjadi kalut. 'Tak sempat ku mengerti Kau tunjukkan arah saat kutersesat Beri cahaya saat ku sendiri dalam gelap Namun waktu tak pernah rela menunggu Hingga akhirnya kau pun pergi' Alunan nada dering handphone-nya ia abaikan. Lagu favorit dari penyanyi idolanya menggema menghempaskan keheningan malam itu. Kedua bola mataya sedikit melirik siapa yang sedang menghubunginya. Ia enggan mengangkat, sebab tekadnya 'malam ini harus selesai'. GADING is Calling... Gading? Bukankah dia temannya Desta? Anggara meraih gawainya memastikan. Ia ingat, mereka pernah bertukar nomor sebab Gading membutuh jasa desain grafis untuk usaha diskotiknya. Tapi itu sudah cukup lama, sekitar dua tahun lalu. 'Ada apa dia menelpon menjelang tengah malam begini?' Anggara membatin. Saat ia akan menekan tombol hijau, panggilan itu terhenti. Apakah Desta saat ini bersama Gading? Ia juga sengaja tidak tidur di rumah Nyonya sebab malas melihat wajah masam Desta, tidak pernah bosan terus memojokkannya. Andai ia tidak menghormati Nyonya Anita dan Bapak Haryanto, ia bisa memastikan kepalan tangan kasarnya bisa mengunci mulut pemuda itu. Kembali, GADING is calling... Anggara segera menekan tombol hijau. "Apakah ini masih nomornya Angga kakaknya Desta?"suara parau dari kejauhan. Membuat Anggara tersentak. "Iya, ada apa?" Anggara menyelidik. "Bang, ini aku Gading temannya Desta. Masih ingatkan? Tolong Bang! Diskotikku kacau karena Desta sedang bermasalah dengan kelompok preman. Satpam mencoba melerai, malah dibogem sampai pingsan Bang!" Pemuda itu tersenggal-senggal seperti menahan rasa takut. "Aku mau panggil polisi, tapi takut diskotikku malah diperiksa. Please, Bang!" lanjutnya makin tergesa-gesa. "Share lock sekarang!" Anggara menutup cepat laptopnya yang masih menyala. Meraih kunci mobil yang tergeletak begitu saja di atas meja. "Baik, Bang." Suara itu terhenti. Anggara melebarkan langkahnya menuju garasi. Matanya mulai menyala, menembus kegelapan malam melewati perkotaan yang mulai legang. *** "Lu jangan ngerasa paling ya di sini, mentang-mentang lu orang kaya. Lu anak baru di sini, jangan belagak!" Laki-laki kekar dan gimbal itu menindih leher Desta di atas meja bar dengan sikunya. Desta meringis kesakitan. Suara hentakan musik tetap berlanjut tanpa peduli ada yang sedang terancam nyawanya. Tampak di sudut, pemilik diskotik itu bergetar ketakutan. Ia tidak sabar menunggu kedatangan seseorang yang ia yakini bisa menyelamatkan teman juga diskotiknya. "Aaaa-ampun, Bang!" jerit Desta menahan sakit. "Lu rebut perempuan gua dengan duit. Itu cewe sudah gua booking, langganan gua, lu ujuk-ujuk datang ngerayu sambil bawa duit. Ngerasa kaya lu, hah!?" Laki-laki yang bernama asli Johni itu makin menekan wajah Desta. Desta benar-benar merasa nafasnya akan putus. Sesak dan terasa berkunang pandangannya. Tidak ada satu orangpun yang bisa menolongnya, bahkan temannya sendiripun hanya bisa berdiri meracau tanpa bisa meringankan kesakitannya. "Hantam aja boss!!" "Iya boss, hantam boss!! Suara bahak tawa yang ramai bersaing dengan suara musik yang bedegum. Gigi laki-laki bengis itu bergemeretak, matanya melotot dan berdengus kasar seperti banteng yang siap menyeruduk. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan… Bruuuuuk!!!!!!!!! Tubuh bertato itu terpental, menghancurkan meja kaca yang ditabraknya. Remuk berkeping-keping sekaligus melukai tangan dan sebagian wajahnya. Ia mengerang kesakitan. Di sisi lain, Desta mengangkat perlahan wajahnya yang hampir menyatu dengan meja. Tengkuknya terasa sangat sakit. Darah segar masih mengalir dari celah-celah gusi dan ujung bibirnya. Ia masih belum benar-benar sadar apa yang sedang terjadi. Sedetik yang lalu ia merasakan keputusasaan yang merayap semakin dekat dan menyelimuti seluruh aliran darahnya. Pasrah, hanya itu yang bisa ia lakukan. Sekarang, tidak jauh darinya, terlihat sosok yang ia benci masih dalam posisi kuda-kuda. Sudah pasti, dialah yang menyebabkan preman yang hampir menghilangkam nafasnya itu terpental jauh begitu. Hatinya basah. "Mas Angga ...," lirihnya pelan, menguatkan pijakan. "Laknat!!!!" Wajah penuh luka serpihan kaca itu memerah. Matanya melebar seperti terbakar. Darah naik ke ubun-ubunnya, seperti akan keluar menenggelamkan seisi ruangan itu. Suara musik seketika berhenti. Semua mata tertuju pada tubuh yang bangkit dari tumpukan kaca. Lalu, mencari sumber petaka yang menimpa Si Kalajengking Maut. Begitu pria bengis itu dikenal, karena tato kalajengking raksasa terukir menyatu dengan kulit wajahnya. Menakutkan untuk dipandang, mengerikan untuk didekati. "Boss!" teriak lima laki-laki yang tak jauh berbeda tampilannya dengan bossnya. Mereka mendekati dan membantu pimpinannya untuk tegap. "Aaaaaarrrhhhhh...lepaskan! Siapa yang berani nyari mautnya ma gua!" Matanya berkeliling mencari. Hening... "Apa kabar, Bro?" Anggara sedikit mendekat, memegang botol minuman yang sudah asing baginya. Hampir saja mata meloncat keluar karena kaget melihat sosok yang di hadapannya. Laki-laki yang dicarinya selama hampir lima tahun ada di depan matanya. Dendam masa lalu, mencari karmanya. Para preman itu bersiap menyerang. "Tunggu!" teriak Johni. "Dia mangsa gua, kalian mundur!" perintahnya garang. Tendangan Anggara pada bahunya barusan membuatnya nyilu sampai ketulang. Namun, kemarahannya sudah sampai ke ulu hatinya. Siap menyerang mantan kawan yang berkhianat. "Rupanya bercokol di sini. Cuiiih ... pengkhianat! Malam ini siap-siap susul ibu lu ke neraka!!" Johni mengacungkan tangannya lalu mendekati Anggara yang masih terlihat dingin. Anggara melemparinya dengan botol. Botol hitam itu pecah membasahi tubuhnya namun ia sama sekali tidak terlihat kesakitan. Justru makin meraung menerjang buas. Ia melayangkan kepalan tangannya, meninju wajah Anggara. Anggara menghindar dan lalu menghantam keras dadanya. Begitu cepat dan tangkas, membuat laki-laki bertato itu tersungkur kesakitan. Tidak terlalu sulit untuk Anggara mengecoh ketua preman itu, sebab pengaruh alkohol dan serangan pertamanya tadi cukup membuat lawannya lunglai. Johni tak menyerah. Ia bangkit lalu mengambil dua botol minuman yang ada di sampingnya. Botol itu di tinggalkan pemiliknya karena takut terkena imbas amukannya. Kedua botol itu melayang secara bersamaan. Anggara melompat dengan cepat, menghindari hantaman kedua benda itu. Kembali 2 botol bersamaan melesat secara sembarang berusaha mengikuti gerakan Anggara. Naas, kedua benda itu dipastikan akan mengenai Desta. Anggara tidak punya pilihan. Ia melompat, menghadang, membiarkan kedua botol itu menghantam tubuhnya. Suara pecahannya beradu dengan kepala dan dadanya. Anggara berteriak menahan kesakitan. "Mas Angga!" jerit Desta. Ia mencoba menghampiri namun Anggara mengangkat tangannya sebagai isyarat agar dia tetap di tempat. Suasana semakin genting. Tidak ada satu orang pun yang berani ikut campur. Desta terenyuh, semakin sedih, melihat orang yang tak pernah ia anggap justru berani mengorbankan nyawa untuk menyelamatkannya. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Darah bercampur alkohol mengalir dari tubuh Anggara. Ia meregangkan tubuhnya, bertahan, bersiap melawan. Mendengar Desta memanggil namanya, apalagi dengan sapaan 'mas' membuat tenaganya seperti mengisi daya tambahan. Biar bagaimanapun, ia sudah bertekad akan mengabdikan diri pada keluarga pemuda itu. Anggara menghormatinya sekaligus menyayanginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN