Tangis itu sudah berhenti, suasana di rumah duka juga nampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang merupakan kerabat dekat dan beberapa pelayat.
Gadis itu duduk di sana, hanbok hitam miliknya sudah tampak kusut karena belum ia ganti sejak kemarin.
Wajahnya suram, juga mata yang tampak sembab akibat menangis seharian. Ia hanya diam menunduk, sesekali menghapus air mata yang turun tanpa bisa ia cegah.
Kepalanya mendongak, menoleh saat seorang pria tinggi berbadan tegap datang mendekat. Pria itu melepas kacamata hitam yang sejak tadi melekat di matanya, ia melirik sekilas ke arah si gadis yang berdiri dengan lemas.
Pria itu memberi penghormatan terakhir, tepat setelah ia selesai, dirinya membungkuk kecil ke arah satu-satunya keluarga inti yang masih tersisa.
"Saya turut berduka atas meninggalnya keluargamu," katanya berucap.
"Terima kasih, Tuan," tanggap si gadis dengan suara lirih.
Pria itu kemudian mempermisikan diri ke arah meja makan yang memang sudah disediakan. Ia mengambil tempat di pojok belakang dan duduk seorang diri.
Beberapa orang yang tersisa berlalu lalang, satu persatu diantara mereka berpamitan untuk pulang hingga pada akhirnya hanya tersisa mereka berdua di sana.
Apa yang dilakukan si gadis masih sama. Ia hanya diam termenung, menatap dengan suram ke arah foto tiga orang paling berharga dalam hidupnya yang saat ini telah berjalan menuju surga.
Kejadian tragis malam itu masih begitu melekat di hatinya. Ia yang saat itu baru saja kembali dari bekerja paruh waktu terkejut bukan main saat mendapati seluruh anggota keluarganya terbantai dengan sadis.
Darah berceceran dimana-mana, barang-barang berserak dengan engsel pintu utama yang rusak. Ia menjerit, tangisnya pecah seketika begitu melihat kejadian tragis yang bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Tanpa sengaja mata mereka saling bertemu pandang selama beberapa detik, sebelum kemudian si pria memutuskan kontak lebih dulu.
Pagi harinya acara pemakaman akan dimulai. Keluarga besar memilih prosesi kremasi dan menyimpan abu mereka di columbarium.
Hana -si gadis dengan hanbok hitam- termenung lirih. Ia hanya bisa menatap foto kedua orang tua juga adik laki-lakinya dengan air mata yang mengalir tanpa henti.
Begitu acara pemakaman selesai, Hana memilih untuk langsung kembali ke rumah. Namun saat ia menginjakkan kakinya di rumah, kenangan itu kembali menyerang tanpa belas kasih.
Ia terjatuh, terduduk dengan air mata yang seolah tidak pernah kering. Tangis itu kembali terdengar menyayat hati di dalam rumah yang begitu hening.
Malam itu pukul sepuluh, Hana yang sudah terlelap setelah puas menangis terkejut saat mendengar suara berisik dari lantai bawah.
Coba mengintip, gadis itu melongok dari lantai dua. Dahinya berkerut saat ia mendapati Bibi juga Pamannya yang datang dengan dua orang pria baya.
Apa yang terjadi? Kenapa mereka datang tanpa memberitahu juga selarut ini?
Bergegas turun, Hana mendatangi satu-satunya anggota keluarga yang tersisa dari sang Ibu dan bertanya.
"Bibi, apa yang Bibi lakukan?"
Wanita dengan rambut bergelombang itu terkejut mendapati keponakannya, ia tersenyum kikuk dan mendorong Hana ke arah dapur.
"Kamu pulang ke rumah?" tanya nya cepat.
Merasa heran, Hana mengangguk saja sebagai jawaban. Ia hendak kembali bertanya, namun pertanyaannya tertahan saat sang Bibi justru menanyakan hal lain pada dirinya.
"Kamu tahu di mana Ibu mu menyimpan cap miliknya?"
Alis Hana menukik, kenapa Bibinya menanyakan soal cap milik Ibunya?
"Untuk apa Bibi bertanya? Dan siapa pria-pria itu, kenapa mereka datang kemari bersama Bibi?"
Lagi-lagi pertanyaan Hana diacuhkan, wanita dengan sweater berwarna biru itu justru kembali bertanya soal cap milik sang Ibu.
"Di mana Hayeon meletakkan cap itu? Kamu pasti tahu, cepat katakan pada Bibi."
"Tapi untuk apa? Dan katakan lebih dulu siapa mereka?"
Belum sempat sang Bibi menjawab, seorang laki-laki yang merupakan si paman menyusul keduanya dengan tergopoh. Raut wajahnya terlihat khawatir juga tidak sabar.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Hana, di mana Ibumu meletakkan cap itu?"
Dahi Hana kian berkerut saat sang paman pun menanyakan hal yang sama.
"Aku tidak tahu," jawab Hana pada akhirnya.
Tanpa mengatakan apapun, sang Bibi menyeret Hana, membawa gadis itu ke lantai atas. Lebih tepatnya ke arah kamar tidur milik orang tua Hana.
"Cepat ambil cap itu," kata sang Bibi dingin.
Hana membatu, ia tidak lantas menuruti apa yang diperintahkan oleh sang Bibi.
"Kenapa diam saja? Atau, cepat katakan dimana Ibu mu menyimpan cap itu?"
"Apa yang akan Bibi lakukan dengan cap milik Ibu?"
Wanita baya itu terkekeh, ia melirik ke arah Hana dengan tatapan remeh, menyilangkan tangan di depan d**a sebelum berkata.
"Kamu masih terlalu muda, jangan banyak tanya cepat katakan saja dimana. Tuan-tuan di bawah sana sudah menunggu."
"Apa Bibi akan menjual rumah ini?" tebak Hana lirih.
Tidak ada raut yang berarti, wanita baya itu justru menatap Hana datar sebelum kemudian menerobos masuk dan menggeledah tiap-tiap sudut juga lemari dan laci yang ada di sana.
Sekuat tenaga Hana coba menghentikan, ia bahkan terlibat perkelahian kecil sebelum pada akhirnya tubuhnya ditahan oleh sang paman yang tiba-tiba saja datang setelah mendengar keributan.
"Bibi, apa yang kalian lakukan?! Lepaskan aku!"
Hana memberontak, namun tenaga yang ia miliki masih kalah jauh dari sang paman. Belum lagi tenaganya yang memang sudah cukup terkuras sejak kejadian tragis hari itu.
Tidak lama kemudian sang Bibi menemukan cap yang dicari, wanita itu tersenyum miring, menatap ke arah Hana yang masih saja coba memberontak.
"Bocah seperti mu tidak perlu ikut campur. Yang harusnya kau lakukan hanya diam dan jadi gadis penurut. Lagipula, rumah ini adalah warisan dari Ibuku, yang mana ada hakku juga di dalamnya," katanya.
"Tapi Bibi sudah mendapatkan ladang juga gedung, sedangkan Ibu hanya mendapatkan rumah ini. Apa itu masih kurang? Ku mohon, jangan lakukan itu. Aku hanya memiliki rumah ini sebagai kenangan dari mereka," ucap Hana dengan suara lirih.
Namun seolah tidak peduli, wanita baya itu berjalan melenggang keluar dari sana diikuti sang suami setelah mengurung Hana dalam kamar dan menguncinya.
Hana menggedor dengan keras, berteriak nyaring dari dalam sana meski tidak ada respon apapun.
Sekitar satu jam kemudian, pintu terbuka. Sang Bibi datang dengan berkacak pinggang. Wanita itu menyeret Hana dan mendorongnya keras ke arah kamarnya.
"Kemasi barang-barang mu dan tinggalkan rumah ini sekarang juga," titahnya.
Mata Hana melotot, apa katanya?
"Apa maksud Bibi?"
"Tentu kamu tahu, Bibi yakin kamu cukup pintar."
Sepertinya dugaan Hana benar, sang Bibi dan pamannya telah menjual rumah ini.
"Tidak, sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkan rumah ini."
Hana bersikukuh, ia benar-benar tidak akan pernah merelakan rumah yang jadi satu-satunya kenangannya bersama keluarganya harus jatuh di tangan orang lain.
"Banyak omong sekali."
Dengan tanpa berperasaan sang Bibi mengemasi barang-barang Hana, melemparkan beberapa isi lemari dengan asal juga beberapa barang lainnya masih sembari terus memaksa gadis itu untuk angkat kaki dari sana.
"Suka atau tidak, rumah ini sudah kami jual dengan harga tinggi. Dan sekarang kamu harus angkat kaki dari sini!"
Hana masih coba menolak, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi saat sang paman yang mengambil alih.
Pria dengan kemeja pendek biru itu menyeret Hana keluar rumah, melemparkan beberapa barang juga koper milik gadis itu dengan kasar.
Hana dengan cepat memungut foto keluarga miliknya yang juga turut terlempar hingga kaca pada bingkainya pecah.
Perasaanya saat ini begitu campur aduk, namun tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang.
***
Hana berjalan lunglai di sekitaran halte. Dengan wajah muram gadis itu duduk di halte dan menghela napas.
Kondisi malam ini cukup sepi, hanya ada beberapa mobil yang berlalu lalang di sana. Belum lagi cuaca yang mulai mendingin karena akan memasuki musim gugur.
Dengan air mata yang mengalir di wajah, Hana memijat kakinya sendiri yang terasa cukup pegal. Juga terdapat lecet di beberapa bagian karena ia yang berjalan cukup jauh dengan mengenakan sepatunya.
"Ibu, Ayah, Jihoon," lirihnya.
Ia menatap ke arah langit malam tanpa bintang. Membatin dengan perasaan sedih.
"Bagaimana di atas sana, apa begitu menyenangkan sampai kalian tega meninggalkan ku di sini seorang diri?" gumamnya lirih.
"Apa aku harus menyusul kalian juga agar bisa merasa bahagia? Semuanya terlalu jahat, terlalu berat untuk ku pikul seorang diri," lanjutnya.
Dengan tatapan kosong ia mulai melangkah, berjalan ke tengah jalan sembari menangis dalam diam.
Bersamaan dengan itu, sebuah mobil melaju cepat dari sisi kanan. Hampir saja tubuh Hana tertabrak kendaraan tersebut jika sang pengendara tidak menginjak rem dengan cepat.
Seorang pria keluar dari dalam mobil, menghampiri Hana yang saat itu jatuh terduduk dengan perasaan terkejut luar biasa.
Laki-laki dengan varsity jacket itu mengurungkan niatnya yang semula akan memarahi Hana karena menyeberang sembarangan.
Ia justru berjongkok di hadapan gadis itu dan bertanya soal apa yang terjadi padanya.
"Nona, kamu baik-baik saja?"
Tangis Hana terjeda, ia memperhatikan si lelaki beberapa saat dan menundukkan kepala. Merasa bodoh dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Maafkan aku," ucapnya lirih.
Si lelaki, menghela napas. Ia kemudian membantu Hana untuk berdiri.
"Katakan padaku di mana rumahmu, aku akan mengantarkan mu pulang," katanya tulus.
Hana diam. Ia tidak lagi memiliki tujuan apalagi tempat tinggal. Satu-satunya tempatnya pulang sudah dirampas, dan ia bingung harus kemana malam ini.
"Nona?" si lelaki melambaikan tangannya di hadapan Hana, membuat gadis itu tersentak.
"Aku tidak memiliki rumah," ucapnya lirih.
Hening sejenak, si pria menghela napas dan berucap.
"Apa kamu mau ikut denganku?"
Hana mendongak, menatap si lelaki yang tengah tersenyum tulus ke arahnya. Wajahnya tirus, dengan binar mata layaknya anak anjing yang begitu menggemaskan.
Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Dan entah kenapa dengan ringannya kepala Hana mengangguk, menyetujui usul si lelaki untuk ikut kembali ke rumahnya tanpa curiga.