Vale tidak henti-hentinya memandangi wajah Vano. Gadis itu menopang dagunya dengan sebelah tangan dan siku menumpu di atas pahanya. Matanya terus mengamati setiap inci wajah tampan di sampingnya. Dari samping, depan, belakang, atau dari berbagai sisi mana pun Vale merasa Vano terlihat tampan dan itu tidak akan berubah apalagi berkurang. Vale terkikik geli dalam batinnya.
“Kapan kau akan berhenti memandangiku, hm?”
Vale mengerjap-ngerjapkan matanya, terkesiap dengan apa yang dilakukannya sendiri. Atau karena pertanyaan lelaki itu? Mungkin jika Vano tidak bertanya tepat mengenai sasaran, gadis itu akan terus memandangi wajahnya tanpa henti.
Tunggu, bagaimana Vano bisa tahu?
“Simpan rasa percaya dirimu itu, Vano!” sungut gadis itu seraya mendengus kecil. Namun, tak urung ia mengulum senyum.
“Deru napasmu itu terasa di sini, Valecia,” ujar lelaki itu seraya menunjuk tengkuknya.
Vale memblalakan matanya. Huh, bahkan ia tidak menyadari saat jarak antara wajahnya dengan bahu tegap lelaki itu telah terhapus. Pantas saja napasnya terasa. Semoga Vano tidak mendengarkan detak jantungnya saat ini!
“Ke mana lagi yang kau inginkan setelah ini?” tanyanya dengan mata melebar.
“Ke rumah. Aku ingin beristirahat.”
Bibir Vale mengerucut. “Kau bosan pergi bersamaku, ya?”
Vano terkesiap, samar. Tentunya ia tidak menunjukkan keterkejutannya itu di depan Vale, sehingga gadis itu menganggap keheningan yang diciptakannya sebagai pernyataan “iya”.
“Baiklah, aku habiskan dulu es krimku, ya? Baru kita pul—”
“Dasar lamban! Bukankah kau membeli ukuran terkecil, Valecia? Katakan, berapa waktu yang dibutuhkan untukmu menghabiskan ukuran yang lebih besar?!” Seru Vano tertahankan.
“Kau menghabiskannya tanpa—”
“Memandangimu?” Lelaki itu menampilkan seringainya. “Kau tahu Valecia? Aku memang tidak dapat melihatmu, tapi aku dapat merasakan apa yang kau lakukan, terlebih padaku.”
Dan apa artinya semua itu Vano? Kumohon jangan menunjukkan seringaimu itu! Gumam batinnya. Ia menjilati sisa es krim di sudut bibirnya. Sungguh, detak jantungnya saat ini melanggar peraturan yang sebagaimana harusnya orang normal miliki. Vale benar-benar ingin memaki dirinya sendiri!
“Lebih tepatnya, saat ada beberapa orang tengah memandangiku dengan tatapan “aneh”, aku akan dapat merasakannya. Entahlah, sepertinya karena aku telah terbiasa.” Jelas Vano kembali diselingi senyuman, samar.
Hatinya mencelus. Demi Tuhan Vano, aku memandangimu karena kagum. Itu bukan tatapan aneh, bila kau perlu tahu! Pekik batinnya tertahankan.
Vale merasa begitu gemas! Tapi tidak masalah. Mungkin memang sebaiknya Vano tidak mengetahui yang sesungguhnya. Upaya membuat jantungnya tidak terus-menerus berdegup cepat seperti sekarang ini! Ia menyentuh dadanya dengan lembut.
Sudut bibir gadis itu tertarik perlahan memandangi malaikat tampan di sisinya.
***
“Tempat apa ini?”
Vano merasakan kebisingan tempat yang mereka datangi saat ini. Berbagai suara terdengar begitu mengusik dirinya. Baik itu perbincangan ringan, tawa geli, beberapa langkah kaki, serta banyaknya komentar –terdengar samar– akan toko-toko yang tersedia dalam gedung ini. Seperti toko buku, baju, tas, sepatu dan lain hal sebagainya.
Tunggu…
“Kau membawaku ke mal?” tukasnya penuh penekanan.
Vale manggut-manggut. “Yup. Kenapa, Vano?”
“Kau salah menghiburku, Nona.” Vano mengembuskan napasnya kasar. “Kau ingin melihat pandangan merendah dari semua orang terhadapku, hm?!”
“B-bukan begitu, Vano! Aku hanya ingin mengajakmu bermain di timezone.” Vale meringis mendengar alasannya sendiri.
“Timezone?!”
Sungguh, Vano tidak habis pikir dengan gadis itu. Bagaimana mungkin dengan keadaannya yang seperti ini! Katakan padanya, berapa besar peluang yang sanggup ia dapatkan untuk tidak mendapatkan tatapan mencela dari semua pandangan terhadapnya?! Vano mengumpat dalam batinnya.
“Aku tidak ingin berada di sini,” tukasnya tajam.
Vale mengangguk lesu. “Baiklah.”
Ia mengalungkan lengannya pada lengan Vano. Dituntunnya lelaki itu dengan begitu hati-hati menuju ke dalam lift yang tersedia. Gadis itu memarkirkan mobilnya di dalam basement, sehingga perlu menaiki kotak-dengan-ruang-sempit-bertombol seperti ini untuk sampai ke lantai dasar tanpa menguras tenaga.
Saat pintu lift tertutup rapat tanpa celah, ia baru menyadari bahwa hanya dirinya dan Vano-lah yang berada di dalam ruang sempit itu! Vale sudah merasa akan adanya atmosfer hangat yang semakin panas dan membuatnya gerah dengan sebuah pernyataan bahwa dirinya hanya berdua dengan lelaki itu di ruang yang begitu sempit seperti saat ini!
Jarinya menekan tombol angka 1 pada sisi lift. Entah mengapa, saat ini ia benar-benar tidak sabar dan merasa lift itu berjalan sangat lambat!
Ya Tuhan, kenapa di saat suasana romantis seperti ini Vano harus mengacuhkanku. Batinnya menjerit. Kalau saja ia berfikir dua kali untuk membawa Vano ke sebuah mal, mungkin keadaannya akan jauh berbeda.
Ah, bukankah suasana ini tid ak akan terjadi kalau ia tidak membawa Vano ke sini? Benar-benar serba salah!
DEP!
Semua menjadi gelap gulita. Tidak terlihat sedikit pun cahaya di dalamnya. Lift yang mereka masuki terasa berhenti. Suhu yang terasa di dalamnya turut semakin memanas.
Oh, demi Tuhan! Apa lagi setelah ini?!
Vale meringis seraya menggigit bibirnya. Belum pernah sekalipun ia terjebak di dalam lift seperti ini! Jemarinya yang menyentuh lengan Vano, mulai berkeringat dingin.
Lelaki itu menyadarinya. “Valecia?”
“Kita terjebak di dalam lift, Vano. Listriknya mati,” lirih gadis itu.
Vano merasakan getaran kecil di dalam suara itu. Vale tengah berupaya menahan tangisnya yang tercekat dalam tenggorokannya, bebas merebak kapan saja. Saat ini yang perlu dilakukannya adalah bagaimana caranya agar mereka dapat terbebas keluar dari ruang-kotak-berdosa ini. Ya, menangis memang berguna untuk saat ini.
“Aku tahu,” ujar lelaki itu lembut.
Jemarinya mengusap lembut jemari yang tengah menggenggam lengannya begitu erat seolah tak ingin terlepaskan oleh waktu. Gadis yang merasakan sentuhannya seakan tak mampu berucap akibat kehangatan yang menjalar dalam dirinya. Menyelimuti rasa takut dengan segenggam kelembutan.
Vano menarik napas dalam dan mengembuskannya. “Tutup matamu, Valecia.”
“Apa?”
“Just close your eyes,” bisik Vano, lembut.
Vale mengindahkan perintah itu. Ia memejamkan kedua matanya. Rangkulannya pada lengan Vano semakin erat tanpa celah. Vano menyadari, gadis di sampingnya kini tidak menyukai kegelapan.
Lelaki itu tersenyum miris. Dadanya terasa nyeri ketika sebuah kenyataan menyadarkannya. Vano memang tidak ingin mengakuinya, namun bagaimana jika kau ingin mencoba melindungi seorang gadis dengan keadaanmu yang tidak memungkinkannya? Apa kau masih sanggup bercermin saat gadis itulah yang justru menolongmu?
Memang tidak ada yang salah. Memang sudah sewajarnya Valecia yang menolongnya. Ya. Hanya saja ia merasa tidak berguna.
Mengingat gadis di sampingnya yang takut akan kegelapan, sepertinya ia perlu mensyukuri kenyataan ini. Bahwa Tuhan telah memperkenalkan kegelapan itu lebih dulu padanya, sampai sekarang. Sehingga ia telah terbiasa dengan warna hitam yang menyelimuti dunianya.
Oh, benar begitukah? Bukankah ini sungguh teramat sangat menyiksanya?
“HEY! Siapa pun manusia, apa pun wujudmu yang berada di sana, TOLONG KAMI!”
***
“Kau memaafkanku, kan, Vano?”
Vano bergeming, menghiraukannya. Hampir setengah jam dirinya terjebak di dalam lift dengan gadis itu tanpa dapat melakukan apa pun.
“Jangan kau ulangi, Valecia. Kembali kukatakan, kau tidak sedang berjalan dengan orang normal,” tukasnya tajam.
“Tidak akan,” ujarnya dengan suara parau seraya mengangguk samar.
“Jangan menangis. Pulanglah.”
“Kau mengusirku Vano?” Bibir ranumnya sedikit terbuka.
Vano menarik sudut bibirnya, begitu tipis dan nyaris tak terlihat. “Ya, aku mengusirmu. Bukankah ini sudah malam? Sebaiknya kau pulang.”
“Baiklah. Tapi besok—”
“Kapan pun, Valecia. Kapan pun, datanglah. Aku hanya ingin beristirahat sekarang,” potong Vano dengan seulas senyum terukir di wajahnya yang semakin terlihat tampan.
“Oh… Okay.” Vale menggigit bibirnya. “Eh, ya sudah. Aku pulang ya. Bye, Vano”
Vale tersenyum manis seraya melambaikan kecil telapak tangannya di depan d**a. Vano turut tersenyum seakan membalasnya walaupun ia tidak dapat melihat senyuman termanis yang pernah diperlihatkan gadis itu. Hanya untuknya.
Namun tentunya Vano menyadari kalimat gadis itu mengandung sebuah senyum. Dan sepertinya malam ini ia akan sulit tertidur.
***
Vale menutup laptopnya. Tugas kuliahnya tak kunjung juga terselesaikan! Dan saat ini ia merasa begitu malas, enggan mengerjakannya. Lagipula, sudah berapa banyak absen yang diciptakan Valecia Rain?
Sesungguhnya, ia lebih menyukai berdiri berjam-jam memandangi wajah tampan Vano yang membuat matanya kembali segar, dibandingkan duduk manis seraya menatap lurus layar terang yang membuat matanya sakit.
Ia merebahkan tubuhnya dengan tangan merentang. Diraihnya Teddy Bear yang terduduk manis pada sisi ranjangnya. Memeluk beruang tak bertulang itu dengan erat, gemas.
Sudah dilakukannya, dengan selalu menemani Vano ke mana pun, atau mungkin lelaki itu yang menemaninya ke mana pun? Entahlah, Vale sangat bahagia bila waktunya terbuang karena telah bersama, berdua saja dengan lelaki itu. Sudah berminggu-minggu, bahkan setiap harinya selalu ia lewati bersama Vano. Mungkin perasaan yang tengah bergemuruh liar dihatinya akan semakin memuncah, membuatnya gelisah karena sebuah harapan.
“Valecia, kenapa kau selalu mengganggu pikiranku, hm?”
Ia meniru suara khas yang dilontarkan Vano dengan nada sedikit menggoda. Vale terkikik geli mendengar suaranya sendiri yang terdengar begitu aneh. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan mengulum senyum. Membayangkan Vano saat ini tengah tersenyum kepadanya.
“Kau tahu? Mencuri hatiku secara perlahan dapat merusak pikiranku, Nona.”
Oh, wait. Vale mengingat sesuatu. Ia meraih ponsel yang terletak di atas nakas. Mencoba menghubungi ketiga temannya. Namun tidak kunjung ada yang menjawabnya! Hal ini sanggup membuatnya mencebik kesal pada ponsel malang dalam genggamannya!
Vale terus mencoba menghubungi salah satu di antara ketiga temannya. Sampai Aline menjawab panggilannya.
“Aline, sepertinya besok aku akan sibuk.”
“Ugh, Vale. Kau meneleponku larut malam seperti ini hanya untuk memberitahu bahwa kau ingin membolos besok? Sebaiknya kau pensiun saja dari mahasiswi!”
Vale terkikik geli. “Yep, jika tidak ada yang melarang! Oh, Aline… Kau pasti tahu alasannya.”
“Sangat tahu. Dan itu pasti sangat penting untukmu, bukan? Oleh karena itu, akhiri sambungan ini. Aku akan bahagia untukmu jika kau tidak mengusik mimpi indahku, Vale.”
“Ya, baiklah Aline. Maaf mengganggumu.”
Terdengar gumaman panjang dari seberang sebelum akhirnya sambungan terputus.
Vale kembali menatap langit-langit kamarnya seraya berseru. “Sebaiknya kau tidur, Sayang. Ini sudah malam!” Ditirunya kembali suara berat itu.
Ia manggut-manggut dengan semangat seraya mendekap dadanya. “Baiklah, Vano. Adore you!” terkikik geli akibat gurauannya sendiri yang terdengar begitu menjijikkan! Yah, setidaknya hanya bagi pemikirannya.
Adakah yang menyimpan nomor telepon Rumah Sakit Jiwa? Sepertinya Vale harus segera menghubunginya, sebelum bayangan lelaki itu terus menari liar dalam benaknya lantas semakin melubangi otaknya!
Cinta dapat membuatmu bertindak bodoh. Tapi, siapa pun yang bertindak bodoh, belum tentu dirinya sedang jatuh cinta sepertiku.
Ia tersenyum geli, sampai bisik lirih lelaki itu seolah membelai lembut telinganya. Membuat kedua mata itu perlahan terpejam. Tertidur dalam senyuman.