06 | The Fault In Your Eyes

2642 Kata
Vale memanaskan VW beetle-nya. Ia melirik arlojinya, lantas mengeluh seraya mendengus kesal. Ini bahkan masih terlalu pagi. Matahari masih tampak malu untuk memancarkan sinarnya. Jarum pendek itu kini masih bertengger pada angka 6! Sepertinya Vano tidak akan mau pergi di pagi buta begini, keluh batinnya. Vale lantas mematikan mesin mobilnya. Ia berniat untuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidur nyenyaknya. Memimpikan kembali pangeran khayalannya, yang telah diberi pencerahan oleh Tuhan bagaimana rupa asli sosok tampan itu. Vale tersenyum seraya menggigit bibir bawahnya. Bayangan lelaki itu dengan tanpa permisi terlintas begitu saja dalam benaknya. Menari liar seolah membekukan syaraf gadis itu. Seketika sebuah ide muncul dalam kepalanya, membuat seulas senyum di wajahnya terukir berseri. Benar, kenapa baru terpikirkan sekarang?! Vale menggerutu sendiri tapi tak urung ia tersenyum kembali. Ya, ia akan menemui Vano sekarang. Ia melirik mobilnya seraya mengelus kap mobil itu. “Kitty, sepertinya untuk kali ini aku harus pergi seorang diri tanpamu.” Ia mengecup pelan spion mobilnya. “Bye Hunny!” *** “Valecia?” Senyum Vale mengembang saat pintu besar dihadapannya terbuka, menampakkan sosok malaikat terseksi yang pertama kali baru ditemuinya. Oh, ayolah Vale, jangan bergurau. Rutuk batinnya. “Bagaimana kau tahu?” Ia pura-pura heran, dengan bersikap biasa seolah jantungnya saat ini tidak berdetak lebih cepat! “Tidak ada lagi orang yang menggangguku di pagi buta seperti saat ini,” ujar Vano datar. Vale mengerucutkan bibirnya. “Aku mengganggumu?” Kedua mata lelaki itu tersenyum samar. “Jika aku menjawab itu benar, apa kau akan beranjak pergi dari sini, hm?” Bola mata gadis itu bahkan nyaris keluar mendengar ucapan Vano. “Kau benar-benar mengusirku, Vano?” Vale mengigit bibir bawahnya. Demi Tuhan, ini sungguh memalukan! Malu sekali. “Aku suka pertanyaanmu.” Kini bibirnya ikut tersenyum, tipis. “Masuklah.” Vano ini benar-benar! Vale hampir saja merasakan malu yang… Kalian tahu itu! Lagipula, memang Vano tidak pernah mengusirnya bukan? Namun, mengapa gadis itu selalu dikatakan sebagai ‘pengganggu’?! Baiklah. Mungkin dalam hal lain, kata “mengganggu” akan senantiasa di sanjungnya. Seperti: “Vale selalu mengganggu pikirannya”. Kalimat ini pasti akan begitu dihargainya. Benar-benar membuat gelisah yang teramat mendebarkan d**a. Namun, kini masalahnya bukan tentang bagaimana hati-gelisah-akibat-seseorang-yang-selalu-mengganggu-pikirannya! Tapi kata ‘mengganggu’ yang dapat membuat Vale menangis saat itu juga menahan malu! Ya, bila itu memang benar terjadi. Seandainya. Namun, sayangnya hal itu tidak pernah terjadi, bukan? Melihat Vano yang sepertinya memang benar-benar baru bangkit dari alam bawah sadarnya saat Vale menunggunya, membuat Vale sedikit terpana. Ah, tidak sedikit. Tapi sangat terpana! Vano yang tubuhnya tinggi menjulang hanya dibalut dengan t-shirt putih polos serta celana pendek Chino. Rambutnya yang sedikit berantakan membuatnya terlihat seksi. Ugh, semoga air liurnya tidak menetes saat ini juga. Ia benar-benar merasakan ritme jantungnya terpompa sepuluh kali lebih cepat. Gosh! “Tidak usah, aku di sini saja.” Vale berdesis samar kemudian mengusap ujung bibirnya. Ia takut pikirannya yang berlebihan itu benar terjadi. Dan benar saja, ia merasakan sedikit basah pada bagian sudut bibirnya. Suasana di antara keduanya semakin hangat terasa, entahlah mungkin hanya dirinya yang berlebihan. Astaga! Aku butuh oksigen! “Kau benar-benar mengira aku mengusirmu?” Alis tebal yang seksi menurut Vale itu bertaut. Vano bertanya dengan wajah tak berdosa yang jarang sekali dilihatnya. Membuat Vale terkikik geli. “Tidak, bukan begitu. Aku akan menunggu di sini selagi menunggumu bersiap-siap, Vano.” Gadis itu tersenyum lebar saat tawanya mereda. “Pergi bersamaku lagi, hm?” Dahinya mengernyit. “Ke mana lagi yang kau inginkan?” “Jogging?” balasnya ragu seraya meringis. “Uh, maksudku sekadar olahraga pagi. Untuk menyehatkan tubuh dan menyegarkan pikiran.” Gadis itu menyengir lebar. “Aku tidak mau.” “Kenapa?” Dahi gadis itu berkerut dalam. “Kau kira aku bisa melakukan apa yang orang-orang biasa lakukan dengan keadaanku yang seperti ini?!” tukas lelaki itu dengan bibir yang menipis saat menyatakannya. Lagi-lagi! Calm down, Vale. Easy. Batin gadis itu seraya mengambil napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. “Vano, maksudku bukan seperti itu—” Sebelah alis lelaki itu terangkat dengan dagu mengerut. “Lalu apa?” “Mungkin memang begitu maksudku. Tapi percayalah, aku ada di sampingmu. Kau tidak perlu merasakan apa yang membuatmu merasa tidak nyaman. Anggap kehadiranku, Vano. Jangan hiraukan mereka. Aku ada untukmu,” jelasnya membuat gadis itu mengatup bibirnya rapat-rapat. Ia juga tidak mengerti mengapa dengan begitu percaya diri mengatakan hal itu. Seharusnya. Ya, seharusnya bukan Vale yang mengatakan itu. Vano seolah merasa dirinya tidak berguna! Seharusnya, ia yang melindungi. Bukan dirinya yang dilindungi gadis di… hadapannya? Ah entahlah, Vano tidak tahu posisi gadis itu saat ini. Namun, setidaknya di mana Vano akan menghadap, di situlah Vale akan berdiri menatapnya. “…Bukan aku ingin meremehkanmu, tapi… A-aku mencoba menghargai keadaanmu, Vano,” lirih gadis itu kembali terdengar. Kalimat yang seakan menjawab pikirannya terucap begitu saja dari bibir gadis itu. Alhasil pernyataan itu semakin membuatnya tertohok. Bagaimana bisa Vale selalu menghargai keadaannya, sementara dirinya sendiri tidak pernah menghargai hal-hal yang dilakukan gadis itu untuknya? Hal-hal kecil yang berpengaruh besar. “Tunggu sebentar. Aku tidak akan lama.” Vano menghilang dari balik pintu. Vale menatap punggung tegap itu dengan senyuman getir. Gadis itu menundukkan kepalanya, lesu. Ia memilin resah ujung jaket yang dikenakannya. Pikiran Vale melayang akan hal-hal yang dibuatnya. Tak jarang membuatnya terlihat selalu salah di mata seseorang yang berbeda. Bukan, bukan berbeda. Tapi, lebih istimewa. “Kenapa aku selalu salah ya?” lirih gadis itu seraya memandangi ujung sepatunya yang telah menguning. “Kau tidak salah.” Vano keluar dengan pakaian yang serasi. Hm, tidak benar-benar serasi sih. Namun, tanpa Vano sadari, sweater yang dikenakannya nampak berwarna senada dengan cardigan yang dikenakan Vale. Gadis itu mengulum senyum membayangkan pikiran semua pasangan maupun para perempuan single yang berlalu lalang saat keduanya berjalan berdampingan. Serasi sekali. *** “Huh… hah… hoh…!” Vale terengah-engah seraya mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Jantungnya terasa berdegup cepat. Ia nyaris kesulitan mendapat oksigen! “Sudah larinya?” Vano menautkan alisnya. “Sudahhh… haahhh!” BRUK! Suara yang cukup keras itu mengejutkan Vano. “Valecia?” “Iya? Ada apa, Vano?” Vano berupaya setengah mati menahan pertanyaan yang terlintas dalam benaknya yang sebenarnya adalah: “Ada apa denganmu? Apa ada yang terluka? Jangan membuatku khawatir.” Namun yang meluncur dari mulut lelaki itu hanyalah. “Suara apa itu? Apa berasal darimu?” Sudut bibir gadis itu tertarik perlahan menyadarinya. Vale terkikik geli mendengar nada suara Vano yang terdengar panik. Mungkinkah lelaki itu mencemaskannya? Tentu, Vano mungkin dapat saja menyembunyikan kalimat terakhir pertanyaan yang terpendam dalam pikirannya itu. Namun tetap saja ia tidak dapat membohongi perasaan dalam intonasi bicaranya yang memang mewakili pikirannya.  “Iyaaa, aku di sini. Di bawahmu!” Vale yang nyaris kehabisan oksigen karena berlari cepat dengan jarak yang cukup panjang. Membuatnya terhuyung di atas rerumputan hijau yang menjadi pijakannya. Gadis itu berbaring seraya merentangkan kedua tangan juga kakinya dengan d**a bergerak naik turun begitu cepat. Berhadapan dengan Vano yang tengah duduk tegap pada bangku taman bercat putih. Sesungguhnya, ia amat sangat lelah. Kepalanya terasa berputar, pusing. Benar-benar merasa berat. Namun, bagaimana jika kejujurannya nanti membuat Vano makin merasa kesulitan? Bukankah dirinya terlihat lebih menyusahkan nantinya? Dan itulah yang membuat Vale sedikit berbohong. Ya, setidaknya berbohong untuk kebaikan keduanya saat ini bukan menjadi masalah. Vale bangkit dari posisi terlentang di atas rerumputan hijau dengan badan yang terasa remuk! Ia menghempaskan bokongnya di samping lelaki itu. Lagi-lagi Vale hanya dapat mengulum senyum seraya mengamati sosok tampan di sisinya. “Jangan hanya memandangiku. Apa yang ingin kau tanya, Valecia?” Vale tertegun mendengarnya. Bagaimana Vano mengetahui ia memandangi lelaki itu? Gadis itu lantas berdecak samar mengingat penjelasan Vano beberapa hari lalu. “Tidak! Aku hanya… Aku—” “Sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Atau kau masih mempunyai rencana untuk hari ini?” tanya lelaki itu tanpa menoleh ke arahnya dengan alis bertaut. Vale menatap Vano dengan mata berbinar. Apa Vano ingin Vale mengajaknya lagi? Dengan begitu, artinya Vano mulai menyukainya? Vale mengetuk pelan dahinya. “Aww! Aduh… haduh!” Tidak, bukan pelan. Tapi gerakan spontanitas itu terjadi begitu keras. Membuat Vale memekik karena keterkejutannya, lantas meringis kecil. “Kau kenapa? Apa ada yang terluka? Jangan membuatku cemas!” FINALLY! Pertanyaan yang sempat terpendam dalam benak lelaki itu, kini akhirnya terungkap. Vano mengatupkan rapat bibir tipisnya, menyadari sebuah kekonyolan dari pertanyaan yang mengusik pemikirannya sendiri. Lelaki itu segera menarik tangannya yang nyaris menyentuh gadis di sampingnya dengan cepat. Berbeda dengan Vale. Gadis itu justru menampakkan semburat merah pada wajahnya. Tentu saja, bukan karena kekonyolan yang dilakukannya beberapa menit lalu karena memukul dahinya sendiri begitu keras. Tapi karena… ini. Pertanyaan yang mengandung rasa cemas lelaki itu terhadapnya. Vale mengulum senyum. Merasakan seolah kepakkan lembut sayap berjuta kupu-kupu tengah menggelitiknya saat ini. “Akhirnya! Kau mengakuinya, Tuan Vano.” Vale terkikik geli melihat wajah Vano yang salah tingkah. “Apa? Kau hanya salah mengartikannya Nona!” Tukasnya tajam. Kalimat lelaki itu sanggup membuat tawa Vale mereda perlahan. Gadis itu memandangi wajah Vano dengan begitu lekat. Vano menarik napas. “Maksudku, bila ada sesuatu yang terjadi padamu, bukankah itu sangat merepotkanku? Sementara dengan keadaanku yang seperti ini, bukankah kau tentunya akan lebih mempersulit semuanya? Jangan membuatku merasa cemas dan tidak berguna dengan ketidakberdayaanku, Valecia!” Bibirnya menipis. Kalimat itu terucap dengan penuh penekanan. Sanggup membuat Vale, bahkan Vano yang mengutarakannya sekalipun, termangu. Vale tertegun dibuatnya. Tenggorokannya terasa tercekat. Begitu mencekik, membuatnya sulit bernapas. Vale merasakan kristal bening di pelupuk matanya tengah mendesak keluar, jika ia tidak berupaya menahan dengan mengadahkan kepalanya. Mengerjap sendu. “Aku tahu,” lirih gadis itu, pilu. Siapa pun bisa mendengar! Suaranya terdengar parau saat mengucapkan dua patah kata itu. Sungguh, ia tidak sanggup melanjutkannya. Tidak ada yang perlu diperjelas. Gadis itu menghapus air matanya, tersenyum getir mengalihkan pandangannya. “Kau ingin pulang, bukan? Ayo kuantar.” *** Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Iblis macam apa yang berani mengeruhkan pikirannya untuk berbicara tajam pada gadis itu! Terasa begitu menyakitkan. Setelah kalimat itu. Kalimat bodoh yang membuat keduanya tak berkutik, Valecia mengantarkannya pulang. Tidak ada kata-kata yang lebih menyakitkan yang akan dikeluarkan gadis itu setibanya di dalam mobil untuk membalas ucapannya. Keheningan seakan menguasai suasana dalam mobil itu. Memberi jarak yang terasa begitu jauh. Sungguh, ia selalu menunggu saat-saat Valecia akan bersuara dan membalas perkataannya. Biarlah, ia memang pantas mendapatkan kalimat kotor sekalipun! Namun apa yang didengarnya? Hanya keheningan yang menjadi teman dalam jarak keduanya. Tidak sedikit pun suara gadis itu terdengar, bahkan saat Vano berdeham samar. Setibanya dikediaman Vano, gadis itu lantas membuka pintu mobil dan menuntunnya, kemudian membuka gerbang rumahnya. Bukan seperti biasanya yang selalu membuka gerbang rumahnya terlebih dahulu, lantas membukakan pintu mobil di sebelah kemudi dan menuntun lelaki itu sampai kedepan pintu. Vano berani bertaruh. Valecia tidak memarkirkan mobilnya kehalaman depan rumah lelaki itu. Ia masuk kedalam hanya sekadar untuk menuntunnya. Bukan untuk bertanya. “Apa aku boleh masuk?” atau. “Kau tidak menawarkanku masuk?” bahkan. “Kau mengusirku?” seperti yang pernah gadis itu tanyakan. Tidak ada yang terucap dari bibir gadis itu selain. “Aku pulang dulu. Ada jadwal kuliah setelah ini.” Dan yang membuat lelaki itu sempat mengernyit adalah suara yang keluar dari Vale tetap lembut. Tidak terdengar ketus atau terkesan marah. Demi Tuhan, ia semakin merasa telah dibodohi oleh dirinya sendiri! Telinganya menajam ke asal suara. Deru mobil Valecia terdengar mulai menjauh dan menghilang setelahnya tanpa terasa. Vano mengembuskan napasnya kasar. Bodoh! Kau memang bodoh, Revano! Kau menyakiti perasaannya. Bagaimana jika gadis itu tidak menemanimu lagi? Rutuknya dalam hati. Jujur saja, ia mulai terbiasa dengan kehadiran gadis itu. Merasakan keheningan yang diciptakan oleh seorang gadis bernama Valecia Rain, ternyata lebih menyakitkan dari pada keheningan yang diciptakan oleh orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya tanpa suara sedikit pun, seakan ia juga telah menjadi tunarungu. Namun saat Valecia yang melakukannya, ia benar-benar merasa kata “mati” terdengar lebih baik menjadi pilihan. Hari ini. Untuk pertamakalinya, semenjak bertemu dengan Valecia Rain. Revano Valdinho harus merasakan suasana yang sama seperti sebelum mengenalnya. Sepanjang hari setelahnya. Tanpa Valecia. Dengan keheningan yang menyelimutinya. Ditambah dengan rasa gelisah merayapi seakan menggerogoti dinding otaknya. Revano Valdinho yang selalu membuatmu merasa tersudut pada rasa bersalah memohon maaf atas segala ucapan serta tindakannya yang membuatmu tersinggung. Apa kau dapat memaafkannya, Valecia Rain? *** Tasya meletakkan cup berisi teh hangat di atas meja kerja suaminya. Renza tersenyum padanya, tanda sebuah ucapan terimakasih. Ia begitu lelah hari ini, untunglah isterinya itu mengerti akan keadaannya. “Apa tidak masalah bila kau meninggalkannya selama 3 hari, Tasya?” Tanya Renza seraya memeluk Tasya dalam pangkuannya. Wanita itu tersenyum, menyeka peluh di atas dahi Renza dengan jemari lentiknya. “Tidak apa Renza. Sepertinya ada seseorang yang berhasil masuk kedalam hidupnya. Jadi kita tidak perlu khawatir dengannya.” Kedua alis Renza bertaut. “Siapa dia?” “Seorang gadis,” bisik Tasya kemudian terkekeh geli mengingatnya. “Sepertinya ia sangat tergila-gila dengan Vano.” Renza ikut terkekeh. “Benarkah? Semoga gadis itu tidak terkena penyakit asma.” Tasya memukul pelan lengan suaminya. “Sepertinya tidak. Aku mengenal sikapnya Renza, dan sinyal positif darinya tertuju lurus untuk gadis itu.” Wanita itu tersenyum hangat. Dering ponsel yang mengalunkan sebuah lagu klasik milik wanita itu menjerit lembut.  “Ponselmu, Sayang,” tegur Renza membuat Tasya meringis kecil. Wanita itu meraih ponselnya lantas menerima sambungan. “Halo?” Suara berat yang teramat dikenalinya terdengar dari seberang. “Tasya, beri tahu Tante Eve untuk menghubungiku sekarang juga!” *** Sesampainya di rumah, ia langsung menuju ke dapur. Sepertinya, saat-saat seperti ini tubuhnya membutuhkan air hangat untuk berendam sejenak, seraya membersihkan diri. Dapur? Apakah Vale ingin bermandi ria di dapurnya? Tentu saja tidak. Vale hanya gadis biasa dengan rumah mungil sederhana. Ia tidak menetap di sebuah kos layaknya teman-teman seperkuliahannya. Ia juga tidak tinggal di apartemen seperti teman-teman yang berekonomi tinggi dikampusnya, sehingga dapat bermandikan air panas gratis. Ia hanya tinggal bangunan mungil ini. Rumah kecil yang sederhana namun sangat membuatnya nyaman. Tidak, Vale bisa saja membeli rumah yang lebih besar. Namun ia hanya tinggal sendiri di sana. Untuk apa mempunyai istana jika hanya terdapat dirinya seorang diri? Vale meraih panci yang telah dihiasi corak arang, tergantung pada dinding dapur. Mengisinya dengan air, lantas memasaknya. Mengamati gelembung-gelembung kecil yang menguap, mulai bermunculan seraya menunggunya mendidih… “Tidak ada air mendidih?!” “Sayangnya, di mana letak panci dan kompornya saja, aku tidak tahu, Valecia.” “Oh, ya sudah. Kalau begitu biar aku saja yang membuatnya.” “Kau benar akan membuat air mendidih?” “Kau lucu sekali, Vano. Kau benar-benar ingin aku membuat air mendidih?” “Berhenti tertawa Valecia. Terserah kau saja ingin membuat apa.” Gadis itu tertawa getir mengingatnya. Sebuah memori akan dirinya dengan lelaki itu perihal pertengkaran kecil yang mereka lakukan kembali terngiang dalam benaknya. Vale menunduk, menatap sendu gelembung-gelembung dalam air yang dimasaknya. Cairan bening itu kembali keluar tanpa dapat di cegah. Jatuh begitu saja. Mendarat tanpa melewati kedua pipinya, namun langsung terjatuh dan bersatu dengan air yang hampir mendidih itu. Menimbulkan percikkan air hangat yang terdengar begitu memilukan saat ini. “Aku tidak pernah bisa merasakan apa yang Vano rasakan. Valecia adalah Vale, gadis buruk rupa yang hanya mementingkan kesenangan semata. Valecia Rain, ingin menunjukan kepada kalian bahwa dia mampu mendapatkan ‘kebahagiaan’ walaupun dia tidak memiliki apa yang kalian punya. Aku hanya ingin mendapatkannya, dengan caraku. Dengan berpura-pura tidak menjadi orang lain karena ‘keadaannya’. Dan aku berhasil menjadi diriku sendiri. “Tapi sayangnya, Vano dengan keadaannya yang seperti itu justru mempersulit arti kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang Valecia Rain. “Aku merasakannya Vano, aku merasakan itu. Merasakan apa yang kau rasakan. Karena aku pun begitu, walau keadaannya berbeda. Aku dapat mengetahuinya tanpa perlu kau katakan. Aku mencoba memahaminya tanpa perlu kau perjelas. Tapi apa kau tidak menyadarinya, Vano? “Aku mulai mencintaimu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN