07 | Cloudy

1400 Kata
Di sinilah Kitty membawanya. Entah, namun ia terlanjur bilang pada Vano bahwa hari ini terdapat jadwal. Padahal tidak sama sekali. Vale tidak ingin bila malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengawasinya, mencatat bahwa ia telah berbohong. Berbohong terlebih pada Vano. Sungguh, ia tidak ingin membohongi pemilik hatinya saat ini. Apalagi saat ia membohongi Vano karena hal sekecil apa pun itu dapat membuat lelaki itu tersinggung. Dan Vale tidak menginginkan hal itu! Ia melirik spion tengah mobilnya. Ia mengernyit, menyadari sesuatu yang penting telah tertinggal. Oh bukan tertinggal, tapi memang sudah dilupakannya. Atau mungkin tanpa sadar telah terlupakan olehnya? Vale menyentuh pipi kanannya. Tepat berada di bawah mata gadis itu, terdapat sebuah jahitan kecil yang membuatnya tak lagi memiliki rasa percaya diri karenanya. Jahitan kecil yang sanggup mengubah kenyataan akan sosok dirinya yang sebenarnya. Jahitan kecil? Bahkan terlalu halus untuk menamai luka itu. Oh, adakah kata yang lebih menyakitkan untuk memberi nama untuk luka ini?! Gerutu batinnya. Argh! Vale membenturkan keningnya pada stir mobil berulang kali. Ia benar-benar tidak habis piker, bagaimana ia dapat melupakan hal kecil seperti ini? Bahkan ia tidak pernah lagi menyentuh sedikit pun alat-alat yang telah membantunya menutupi luka itu sejak… Keningnya berkerut dalam saat sebuah ingatan terlintas dalam benaknya. Ya, benar. Semenjak bertemu dengan Vano. Tanpa disadari olehnya, lelaki itu memang benar-benar membuat Vale seolah tak peduli dengan penampilannya, begitu terlihat apa adanya dalam diri gadis itu. Bukan hanya sekadar merasakan menjadi diri sendiri saat bersamanya lelaki itu, namun ia juga sanggup memperlihatkan rupa aslinya saat bersama dengan Vano. Dengan tanpa beban. Tanpa kepura-puraan. Terasa begitu nyaman tanpa perlu mencemaskan dirinya sendiri. Tok… tok…! Sebuah ketukan di kaca mobilnya mengenyahkan lamunannya. Keningnya berkerut samar saat mendapati siapa yang telah membuyarkan pemikirannya. “Aline?” gumamnya pelan. Gadis itu menurunkan kaca mobilnya perlahan, seraya menatap Aline dengan alis bertaut. “Kenapa kau di sini?” “Bagus. Sepertinya kau telah mendahului pertanyaanku untukmu,” Aline memutar bola matanya seraya mendengus. “Seharusnya aku yang bertanya, apakah kau benar ada jadwal hari ini?” “Memangnya aku tidak ada jadwal hari ini?” Vale menghela napasnya. “Sepertinya ini tujuanku sekarang.” “Kau tidak membaca pesan dariku? Untung saja Mr. Boogie itu tidak masuk, jadi kau tidak mempunyai jadwal hari ini. Dan selagi beliau tidak ada, kenapa gedung ini menjadi tujuanmu? Kukira kau tetap akan memboloskan diri.” Aline memandanginya heran. Tidak biasanya sahabatnya itu ke kampus tanpa tujuan. Aline sangat mengerti bagaimana Vale. Gadis itu adalah siswi termalas dari jutaan orang pemalas seantero kampusnya, yang mungkin perlu berpikir dua bahkan sampai sepuluh kali untuk mengikuti kegiatan di kampus. Bahkan hanya untuk sekadar absen saja, Aline, Kelly dan Nancy harus membohonginya dengan berpura-pura melihat Dave di kampus, upaya untuk sekadar memancingnya pergi ke gedung penyalur ilmu itu. “Kau ada perlu dengan Dave?” Aline memecahkan keheningan, mengingat Vale yang sangat lama sekali menciptakan keheningan di antaranya. “Ah, tidak… Bukan itu—” “HEY GURLS!” Sebuah sapaan… Ah, lebih tepatnya pekikan Kelly dan Nancy secara serempak membuat Vale dan Aline terlonjak karena terkejut. “Huh, kalian ini!” Aline mengelus dadanya. “Hey, Vale. Hm… Sepertinya ada yang berbeda darimu?” Nancy membungkukkan badannya, menjajarkan wajahnya dengan wajah Vale yang masih terduduk manis di dalam mobilnya. “Kau tidak memoles wajahmu dengan alat rias senjatamu itu, huh?” Vale mendengus kesal seraya keluar dari mobilnya, membuat ketiga temannya mengubah posisi untuk sedikit menyingkir memberi ruang padanya. “Apa aku seburuk itu, Nancy?” Vale menatap Nancy. “Apa aku seburuk itu Kelly, Aline…?” “Apa aku seburuk itu? KALIAN JAWAB!” lanjutnya dengan intonasi meninggi diakhir kalimat. Seolah mendesak ketiganya untuk mengakhiri kebungkaman mereka. Vale nyaris putus asa dengan reaksi ketiganya yang tetap bergeming. Apa memang benar ia seburuk apa yang cermin perlihatkan selama ini, saat dirinya tengah dihadapan dengan benda itu? Benda laknat yang membuat dirinya tidak sanggup menahan malu, walau hanya ada dirinya serta bayangannya! “Tidak.” “Kau tidak seburuk itu Vale.” “Kau ini kenapa?” “Masuk ke mobilku!” serunya, tanpa mengubris pertanyaan ketiga temannya. Seruan itu mendapat tindakan cepat dari mereka. Dengan dahi mengernyit dan pikiran yang bercabang seolah bertanya-tanya dengan tingkah Vale yang diluar perkiraan, mereka masuk ke dalam mobil Vale, lantas mendengar isakan yang keluar dari mulut gadis itu. Tangis Vale telah pecah tak terbendung membuat siapa pun yang mendengarnya, menatapnya pilu. “Kalian tahu Vano?” Mereka bertiga menggeleng. “Seseorang yang kujadikan tantangan untuk berkenalan waktu itu. Alasan mengapa aku selalu absen akhir-akhir ini. Seorang yang hanya dapat melihat kegelapan. Lelaki tampan itu…” jelas Vale membuat ketiganya bergumam seraya memanggut-manggut, memahaminya. “Kami baru mengetahui namanya langsung darimu, baru saja.” Kelly menanggapinya. Benar, Vale tidak pernah memberitahu mereka siapa nama lelaki itu. Hanya sekadar sebutan ‘lelaki tampan di kafe’ itulah yang diketahui teman-temannya. “Ada apa dengannya?” Tanya Kelly penuh rasa penasaran. Vale mengentakkan napas sesaat. “Aku menyukainya. Oh, tidak. Bahkan aku mulai mencintainya. Karena itu yang kurasakan sekarang. Bahkan perasaan ini melebihi perasaanku pada Dave. Entahlah, tapi aku begitu yakin perasaan ini,” jelas Vale dengan begitu tulus tanpa terdapat sebuah kebohongan. Ya, terlihat dari kedua matanya. Pernyataan itu sanggup membuat ketiga temannya tertegun, bahkan Nancy sampai memekik karena keterkejutannya. “Kau yakin? Bahkan kau baru mengenalnya akhir-akhir ini, seperti yang kau katakan. Bukan begitu?” Kelly mengetuk dagunya ringan. “Dan, wow! Kau benar-benar telah terpesona padanya?” Kelly bertanya dengan nada antusias sampai kedua matanya terbelalak seolah mencuat keluar. “Mungkin hanya cinta sesaat,” ujar Nancy lantas mendapat pukulan ringan di kepalanya. Ia meringis seraya menyengir lebar menatap ketiga temannya secara bergilir. “Bukan. Ah, tidak. Ini berbeda!” Vale benar-benar gusar dibuat pikirannya sendiri. “Aku menyadarinya Vale.” Semua tatapan langsung tertuju pada gadis yang terduduk menempati kursi sebelah kemudi. Aline tersenyum. “Mengingat kau yang senantiasa merepotkan diri dengan riasan berlebihan wajahmu yang begitu tebal, sekarang itu tidak terlihat…” Aline berhenti sejenak, Kelly dan Nancy lantas memandang seraya mengamati wajah Vale. Mereka memanggut setuju dengan apa yang dikatakan Aline. “Mengingat kau yang senantiasa dipersulit saat berjalan dengan heels dengan tinggi yang berlebihan. Sekarang, kau hanya memakai sneakers lusuh seperti itu,” lanjut Aline seraya menggedikkan dagu ke arah sepasang kaki Vale yang bersembunyi di bawah dashboard. Tatapan Kelly dan Nancy turut beralih pada sepasang kaki gadis itu. Benar. High-heels maupun Wedges dengan tinggi yang dapat melebihi lima centi yang biasa dikenakan gadis itu, kini telah tergantikan dengan sneakers butut yang nyaris menguning, tampak menghiasi kedua kakinya. “Mengingat kau yang senantiasa menahan gatal saat memakai perhiasan yang kau katakan dapat menyempurnakan penampilanmu itu. Kini tidak satu pun tersisa benda berkilau itu, melingkar di beberapa bagian tubuhmu, Valecia.” Kelly dan Nancy, ah, bukan hanya mereka! Vale pun bahkan tercengang mendengarnya. Mulutnya sedikit terbuka dibuatnya. Aline begitu memahaminya secara mendetail. “Kau seharusnya bangga pada dirimu yang sekarang. Mengapa harus malu, Val?” Vale memejamkan kedua matanya sejenak sebelum akhirnnya ia bersuara. “Aku malu Aline. Aku malu mengakui kebenaran bahwa nyatanya aku tidaklah seperti yang dia idamkan. Aku tidak lagi mendapatkan tatapan memuja seperti saat aku menutupinya.” Vale menarik napasnya dalam, mengembuskannya perlahan. “Aku takut kalian serta orang-orang sekitarku perlahan akan menjauhiku karena keadaanku,” lanjutnya dengan suara nyaris terdengar putus asa. Mau tak mau ia kembali mengingat Vano. “Kami tidak akan menjauhimu Vale. Mereka juga tidak seburuk pikiranmu. Walaupun ternyata wajahmu seperti Squidward si hidung besar, atau bahkan Putri Fiona yang masih “hijau”, kami tidak masalah. Asal kau, tetaplah dirimu, Valecia.” Nancy mencoba mencairkan suasana saat ketegangan mulai memenuhi atmosfer di antara mereka. Vale tergelak mendengarnya. “Benarkah? Bahkan sampai wajahku berubah menjadi Princess Belle?” guraunya. Sungguh, bila mereka saja dengan senang hati menerima kehadirannya, seperti apa pun rupanya. Mengapa ia harus malu menghadapi dirinya sendiri? Benar yang orang katakan. “Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.” Entah siapa yang mengatakannya, namun Valecia Rain benar merasakan hal itu. Sejak peristiwa itu. “Jika seperti itu, bukankah semakin banyak yang ingin berdekatan denganmu?” Aline terkekeh halus. “Huh, sepertinya pendengaranku terganggu. Maksudmu si BEAST, kan?!” celetuk Nancy, kesal. “Mungkin ibu teko,” tambah Kelly, mengundang gelak tawa yang menghiasi warna atmosfer dalam VW beetle itu. Seolah mengubah cuaca mendung dalam hatinya menjadi terasa lebih hangat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN