And every night, I lie awake.
Thingking maybe you love me,
Like I’ve always love you.
But how can you love me like I loved you?
When you can’t even look me straight in my eyes...
—Kiss The Rain by Yiruma—
Vale mengeringkan rambutnya yang basah. Sejenak ia menatap bayangan dirinya dalam pantulan cermin tanpa menghentikan aktifitasnya. Vale tersenyum lembut pada bayangannya sendiri.
“Mungkin kau memang di takdirkan untuk Vano, Valecia. Karena sesungguhnya, kalian saling menyempurnakan satu sama lain,” ucapnya lebih kepada bayangannya sendiri dalam pantulan cermin di hadapannya. “Tapi bagaimana jika kau menjauhiku? Aku yakin, cepat atau lambat, kau akan melihatku. Melihat rupaku yang ternyata jauh dari apa yang kau bayangkan.”
Memangnya apa yang Vano bayangkan? Timpal batinnya. Vale mengacak rambut panjangnya. Jangan membuat kesimpulan sendiri, Valecia! Batinnya, meniru suara Vano.
Do you remember we were sitting there by the water? You put your arm around me for the first time. You made rabel of a careless man’s careful daughter. You are the best thing, that’s ever been mine…
Vale sengaja mendiamkan ponselnya yang bersenandung semakin keras. Biarkanlah sampai Taylor Swift menyelesaikan bait reff dari lagunya, Mine. Sekadar memastikan saja bahwa jeritan ponsel itu bukanlah untuk mengganggunya. Bukan orang-orang berkecukupan yang berpikiran jahil dengan hanya ingin menghamburkan pulsa mereka, terlebih membuang waktunya sia-sia untuk perbincangan tak bermutu!
Namun Taylor Swift tidak lelah bernyanyi! Reff dari lagu itu sudah berputar nyaris tak terhitung olehnya, membuatnya mendengus seraya menghampiri ponselnya dengan malas. Nomor tak di kenal. Dan ini semakin membuatnya ragu untuk menekan tombol hijau.
Entah dorongan apa yang membuat ibu jarinya menekan tombol hijau tanpa disadarinya. “Hallo?” Vale menggigit bibir bawahnya saat ponselnya telah menempel pada daun telinganya.
“Valecia?”
Suara itu. Jantungnya berdebar kencang! Ia sangat mengenali pemilik suara berat itu.
“V-vano?” Vale membasahi bibirnya. “Dari mana kau tahu nomorku?” lanjutnya seraya menyentuh dadanya yang tidak kunjung berdetak normal tanpa sadar.
“Itu tidak penting Valecia. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, untuk kesalahanku,” ujar lelaki itu dari seberang. Terdapat rasa sesal yang terdengar dari penjelasannya, ya, Vale menangkap hal itu.
“Kesalahanmu yang mana?”
“Hm, sebanyak itukah?”
Vale menggigit bibirnya semakin kuat, membuatnya sedikit meringis karena nyaris terluka akibat gigitan yang terlalu kuat tanpa sadar. Oh, mengapa ia terlihat seperti gadis yang hilang akan kesadarannya bila berurusan dengan lelaki satu ini?!
“Baiklah, jika memang begitu banyak seperti yang kau katakan, aku meminta maaf atas semuanya. Bagaimana Valecia?”
Vale mengulum senyum, namun tak dapat disembunyikan olehnya rasa gugup yang semakin menyerangnya. “I-iya, aku maafkan kau, Vano…”
“Aku tidak peduli kau memaafkanku atau tidak. Maksudku, bagaimana kalau kau menemaniku kembali? ‘Sendiri tanpa cahayamu sangat membosankan’, Valecia.”
Vale mengernyitkan dahi. Ia teringat akan percakapan awal bertemu dengan lelaki itu. Sungguh? Vano bahkan masih mengingat kalimat menjijikkan yang dilontarkan darinya dengan tujuan untuk meraih perhatian lelaki itu.
Bukankah artinya saat perkenalan itu, Vano hanya berpura-pura tak menggubrisnya dan tak mempedulikannya? Astaga, kenyataan ini membuatnya merasa menjadi gadis yang paling beruntung!
“Kau merindukanku, Vano?” Gurau Vale seraya tertawa kecil.
Ia tak kuasa menahan senyumnya yang mengembang, menampilkan rentetan giginya yang rapi. Walaupun lelaki itu mengulang kembali pertemuan keduanya, namun Vale tahu, Vano hanya membuat hiburan semata. Dan Vale tidak ingin berharap terlalu jauh untuk Vano akan membalas gurauannya. Terlebih lagi bila lelaki itu membalasnya dengan segenap rasa, bukan hanya bergurau.
“Ya. Aku merindukanmu, Valecia Rain.”
Vale tertegun mendengarnya. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, Vano membalas gurauan Vale dengan kalimat yang mampu membuat Vale terbungkam tak berkutik dan menangis tanpa suara. Membuat jarak menguasai dinding tak kasat mata di antara mereka. Membuat keduanya enggan bertemu selama beberapa hari kedepannya. Ah, tidak. Mungkin hanya Vale, terbukti dari Vano yang menginginkan kehadirannya, bukan?
Begitukah yang membuat Vano merindukannya?
Terkadang, seorang laki-laki perlu diberikan sebuah jarak dari kesalahannya, agar mereka dapat memahami betapa penting peran perempuan dalam kehidupan kaum Adam yang sebagian besar dikuasai oleh sebuah logika.
Kedua mata gadis itu tersenyum. “Nice joke, Vano. Baiklah, kau tidak perlu membohongi dirimu sendiri untuk hal itu. Walaupun jawabanmu saat ini lebih baik dari yang lalu,” kilahnya dengan nada bergurau. “Baiklah, aku kerumahmu.”
Sebelum Vano membalasnya, lebih baik ia langsung memutuskan sambungan. Ia tidak mau Vano kembali mengungkit kejadian yang dapat membuatnya setengah mati menahan rindu dengan lelaki itu. Vano tidak tahu. Ya. Lelaki itu tidak mengetahui, bahwa rasa rindu yang mencambuk hatinya melebihi rasa rindu lelaki itu padanya. Atau justru, dirinya sendirilah yang tidak mengetahuinya? Sebaliknya mungkin?
Hah, sudahlah. Sudah dikatakan olehnya bukan? Valecia Rain tidak ingin terlalu tinggi dalam berharap!
Vale meraih jaket yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Dengan cekatan ia meraih dan membawa semua yang di perlukannya.
Make-up?
Vale memandang meja rias yang nyaris terlupakan olehnya. Sudah jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah Vale duduk menghadap cermin seraya merias wajahnya yang akan berubah menjadi sosok gadis cantik yang begitu berbeda.
Berlebihan? Tapi memang begitu nyatanya. Benda-benda mahal itu dapat menipu pandangan serta penilaian orang lain yang melihat dirinya.
Dan sepertinya semua alat itu tidak perlu, bahkan sudah tidak dibutuhkannya kembali. Toh, Vano tidak akan melihatnya.
Benda mungil dalam kantong jeans-nya kembali bergetar. Sepertinya lelaki itu sangat tidak sabar bertemu dengannya. Pemikiran itu semakin membuat senyumannya mendalam seiring mengingat wajah tampan itu. Tanpa melihat nama sang penelepon, ia lantas menjawab panggilan itu tanpa menyurutkan senyum.
“Ada apa lagi, Vano?”
***
Dave menutup pintu mobilnya dengan kasar. Lelaki itu mencengkram roda kemudi dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Kedua matanya terpejam begitu erat, seolah ingin mengenyahkan siluet seorang gadis yang kembali muncul dan menghantui benaknya. Juga bayangan-bayangan yang masih terekam jelas dalam ingatannya akan peristiwa tiga tahun yang lalu.
Dave harus menemui gadis itu. Apa pun risikonya nanti, gadis itu harus segera mengetahuinya. Tidak perlu ada yang disembunyikan. Dan ia sudah mengira bila gadis itu nantinya akan menggoyahkan tekadnya untuk rencana ini, namun apa lagi yang dapat ia perbuat? Rasa bersalah itu terus menghantui dirinya serta kehidupannya tanpa permisi, seolah memperingatinya bahwa masa depan lelaki itu dibatasi oleh sebuah peringatan akan peristiwa itu.
Dave sudah muak, ia ingin mengakhiri semuanya. Siap atau tidak. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Ya, tentu, ia akan memberitahu gadis itu. Tapi ia tidak akan membuat gadis itu turut terjerumus kedalam liang kenistaannya. Ya, ini adalah kesalahannya. Walau tidak dapat dikatakan seutuhnya adalah kesalahannya. Ia juga menjadi korban, meskipun raga dan jiwanya masih menapaki bumi sampai saat ini. Termasuk dengan gadis itu, sama sekali bukan orang yang tepat untuk disalahkan!
Ia merogoh saku celananya. Jemarinya bergerak lincah mengetik sebuah pesan singkat, namun sederet kalimat itu kembali dihapusnya. Sebaiknya ia langsung membicarakan ini dihadapannya. Ia menekan tombol hijau, menghubungkan sambungan pada orang yang ditujunya.
“Kita bertemu di tempat itu.”
***
Di tempat inilah Kitty membawanya. Bukan. Ini bukan rumah Vano. Dave yang menyerukannya untuk ke tempat ini. Tepat saat Vale ingin menemui Vano, Dave menghubunginya untuk datang ke sini. Entah apa yang dipikirkannya, namun gadis itu langsung mengangguk menyetujuinya begitu saja.
Mungkinkah ia masih mencintai Dave? Ia tidak tahu, hatinya begitu meragu.
Vale mengedarkan pandangannya ke jalan luas diseberangnya. Jalan itu adalah tempat di mana kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membuat dirinya tidak percaya diri dengan kondisi wajahnya sekarang. Yang membuatnya harus bergantung pada alat-alat rias, agar tidak mempermalukan dirinya sendiri.
Namun, bukan itu yang terpenting. Kecelakaan tiga tahun lalu yang telah merenggut paksa sepasang jiwa suami-isteri. Ia merasa seperti pembunuh, meskipun bukan gadis itu pelakunya.
Tiga tahun lalu. Insiden yang masih terekam begitu jelas dalam benaknya.