Dave menariknya dengan kasar, tapi Vale tidak berontak. Ia menyamai langkah sempitnya dengan langkah panjang lelaki itu agar semua orang yang berlalu lalang tidak menaruh curiga pada keduanya.
Vale tidak ingin bila Dave harus dipukuli oleh orang-orang yang salah paham hanya karena masalah ini.
“Kita mau ke mana?”
“Diam dan ikuti saja,” tukas lelaki itu, tajam.
Vale hanya bisa pasrah mengikuti ke mana Dave akan membawanya. Pergelangan kirinya mulai terasa sakit karena cengkraman jemari Dave yang begitu kuat. Vale yakin, setelah tangan lelaki itu terlepas, bekas merah akan melingkari pergelangannya.
Dave membukakan pintu samping pengemudi untuk Vale. Begitu Vale telah terduduk dengan kening berkerut dalam, lelaki itu mengitari bagian depan mobilnya lantas menduduki posisi di bagian kemudi.
Dave mengemudikan mobilnya dengan begitu gusar, seolah iblis dan para setan lainnya tengah berpesta menguasai dirinya saat ini. Kedua matanya melihat jalanan luas di hadapannya dengan tajam, seolah akan menancapkan anak panah yang begitu runcing kepada siapa saja yang menghalangi jalannya.
“Dave kau ini kenapa?” Lirih Vale di sampingnya. Gadis itu tak kuasa menutupi rasa takutnya. Ia tidak mengenal Dave saat ini.
Dave tidak menghiraukannya. Lelaki itu malah semakin mempercepat laju Rush-nya.
“Kenapa kau menyembunyikan hal itu, Val? Kenapa kau tidak jujur padaku?!” Bentaknya saat tatapan lelaki itu beralih pada Vale. Ia menatap tepat di manik mata gadis itu. Memberi ketajaman penuh, seakan mampu menembuskan sinar panas yang mengundang buliran air mata ke dalam mata itu.
“Aku tidak mengerti Dave—”
Dave memberikan ponselnya kasar. Vale menerima benda itu dengan tangan gemetar. Gadis itu segera membaca isi pesan yang ditunjukkannya dan cepat memahaminya.
Jadi Dave akan mengikutsertakannya untuk berangkat ke Bandara? Tapi, untuk apa?
“Kenapa kau menyembunyikan ponselku? Padahal kau tahu ada pesan penting yang harus kulihat. Jika seperti ini, bagaimana caranya agar aku bisa sampai ke Bandara tepat waktu, Val?!” Dave menjelaskan dengan napas tersenggal, mulai tak beraturan. Sebuah peringatan untuk Vale bahwa lelaki itu benar tidak bermain-main.
Gadis itu benar-benar takut dibuatnya. Belum pernah sekalipun Dave melakukan hal mengerikan seperti ini terhadapnya. Ia selalu mendapat decak kagum dari Vale akan sifat penyabar serta sikap selalu mengalah yang mencerminkan kedewasaan lelaki itu.
Ya, hari ini. Kecuali hari ini. Tepat pada saat ini.
“Kau tahu, Kina sangat berharga untukku! Bila kau perlu mengetahuinya dan merasa tidak muak untuk meyakinkannya lagi.”
Vale menggigit bibir bawahnya.
“Dan kalau kau perlu tahu mengapa aku membawamu juga, agar kau mengerti dan memahami ‘apa’ hubungan antara aku dengan Kina. Tentunya, juga untuk membuktikan padanya bahwa alasanku datang terlambat dari waktunya adalah KAU!”
Vale mengerjap-ngerjapkan matanya yang telah dipenuhi kristal bening pada pelupuk matanya. Tenggorokannya terasa begitu tercekat mendengar nada penekanan pada setiap kalimat yang dilontarkan lelaki itu untuk menyindirnya.
“Semoga dia masih menungguku,” gumam Dave penuh harap, terlebih pada dirinya sendiri.
Vale menangis, bahunya bergetar pelan. Gadis itu menekuk kedua lutut lantas memeluknya dengan erat. Ia menangis sesegukan. Biasanya, cara inilah yang dapat membuat amarah Dave mereda, kemudian memeluknya lalu meminta maaf karena telah membuat Vale sakit.
Namun, semua itu akan dilakukan Dave bila masalah yang mereka perdebatkan hanyalah hal kecil. Dan melihat Dave seperti orang lain yang tengah dirasuki iblis saat ini, mungkin Vale akan berpikir berulang kali untuk mengharapkan mobil yang melaju nyaris menyerupai kecepatan kereta ini, berhenti dan rengkuhan hangat dari tubuh itu kembali ia rasakan.
Semua hanya sia-sia. Jeritan kesedihan gadis itu seolah mengundang cengkraman Dave pada kemudi semakin kuat dan mempercepat laju mobilnya.
Oh Tuhan, entah apa yang ingin dilakukannya, tapi kumohon kembalikan kesadarannya saat ini! Jerit batinnya, memohon.
Dave semakin liar. Ia menyalip kendaraan lain dengan kepersetanannya yang memuncak. Sampai akhirnya…
Oh Tuhan!
Vale tahu, hal ini akan terjadi. Ia tidak sanggup mengangkat wajahnya. Ia makin merapatkan tubuhnya pada punggung jok mobil. Mengeratkan pelukan dengan kedua kakinya.
Tubuh Vale membentur sisi sampingnya dengan keras. Terasa amat menyakitkan. Namun, ia tak kunjung mengubah posisinya. Semakin maut menghampiri dan menghantamnya, ia semakin mengeratkan pelukannya tanpa celah.
Terdengar jelas olehnya. Suara klakson truk yang begitu memekakan telinga, membuatnya rasa takut menghinggapi dirinya. Gadis itu semakin meringkuk dalam seperti bayi yang telah membeku karena dinginnya ruang.
BRAK!!!
Hantaman itu terdengar begitu jelas, seolah menulikan pendengarannya seketika. Namun suara itu berasal dari kejauhan. Ya. Bukan berasal dari kendaraan yang tengah ditumpanginya saat ini. Ia berharap semua selesai. Setidaknya, ia aman dari truk menyeramkan itu.
Tapi belum berakhir.
Dave membanting stir. Mobilnya membentur tiang listrik yang berdiri kokoh pada bahu jalan. Pelukannya terlepas. Vale yang berubah posisi, menyamping karena berbagai benturan itu terdorong kedepan. Wajahnya membentur dashboard dengan kuat. Pecahan kaca mobil yang berserakan di atasnya membuat gadis itu menjerit saat benda tajam itu merobek pipi bagian atasnya. Vale menjerit kesakitan dengan darah yang terus mengalir deras di wajahnya.
“Maaf.”
Vale menutup wajahnya. Ia merasakan tubuhnya terangkat oleh lengan kokoh yang menjadi penyebab semua ini. Ia yakin Dave yang membopongnya, karena suara itu adalah suara berat milik lelaki itu sendiri.
Dan setelah kejadian itu ia tidak sadarkan diri.
***
Vale menyesap kopi hangat berwadah cangkir dalam genggamannya. Masih terngiang dengan jelas perkataan Dave setelah sempat membeku dalam keterkejutan, lalu tak sadarkan diri nyaris membuat lelaki itu gila.
Saat itu, Dave tengah menunggunya dengan penuh rasa cemas. Gadis itu sebenarnya sudah sadar, hanya saja ia malas membuka mata ataupun mengucap sepatah kata. Karena dengan menggerakan otot wajahnya atau sekadar membuka mulut segaris tipis saja, reaksi yang di timbulkan oleh jahitan yang belum kering di pipi kanannya akan terasa begitu menyakitkan.
Tak urung Vale membuka kedua matanya juga saat itu. Dan apa yang didapatinya? Terlihat kelegaan penuh yang terpampang jelas di wajah tampan lelaki itu. Seseorang yang pertama dilihatnya. Seseorang dengan perban yang mengelilingi kepalanya, menutupi bagian dahinya.
“Maafkan aku. Ssshh, sudah. Kau tidak perlu bicara apa-apa dulu. Aku janji aku tidak akan mengulanginya, Val. Aku berjanji, aku akan menjagamu,” lirih lelaki itu. Dave tersenyum miris menatap Vale yang sulit untuk tersenyum karena luka menyedihkan di pipi kanannya.
Seperti itulah.
Berjanjikah ia? Lalu mana buktinya?
Pada akhirnya ia tetap memilih Kina. Dengan alasan, sudah menganggapnya sebagai “adik” tentunya. Rasanya Vale ingin mencoret wajah tampan itu dengan crayon! Dan menuliskan di keningnya kata “R.I.P” dengan cray— Ah, tidak. Bagaimana kalau dengan tinta, cat atau semua yang permanen dan berwarna merah? Huh?!
“Kau sudah lama menunggu rupanya?”
Dave tersenyum tipis seraya duduk di hadapannya. Kini ia berada di salah satu kafe terdekat dengan tempat kejadian.
“Untuk apa kau mengajakku ke sini?” bisik Vale, namun masih dapat tertangkap jelas oleh Dave.
“Kau tidak lupa, dengan apa yang menyebabkan kita mengenang tempat ini, bukan?” Dave tersenyum samar. Terdapat kesedihan yang tersirat di dalam kedua matanya.
Vale memanggut dan menringis kecil. Dave mengucapkannya, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang mengenang akan tempat bersejarah tentang kisah cinta keduanya. Vale menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merona karena menahan malu. Masih sempat-sempatnya berpikiran seperti itu! Gerutu kecil batin gadis itu.
“Aku ingin menyerahkan diri.”
Pernyataan itu membuat Vale menoleh cepat ke arahnya, kedua matanya menyiratkan keterkejutan yang begitu tak terbayangkan. Dave sampai takut kepala gadis di hadapannya itu akan putus dan berguling ke lantai. Sepasang mata yang menatapnya dengan melebar, membuat Dave seolah takut bundaran itu akan keluar dan lepas dari tempatnya.
Ia memandangi lelaki di hadapannya dengan penuh tanda tanya. “Mengapa? Kau tidak boleh melakukan itu Dave!” Seru gadis itu, lebih menyerupai larangan dibanding dengan sebuah permohonan.
“Kau tahu? Selama ini aku mencari informasi akan sepasang kekasih itu. Korban dari kecelakaan itu. Dan ternyata, di dalam mobilnya saat itu bukan hanya ada mereka…” Bibir lelaki itu menipis. “ada seorang lagi. Duduk tepat di belakang kemudi. Orang itu… Dia adalah anak mereka.”
“Lalu?”
Vale menautkan kedua alisnya, ia benar-benar tidak mengerti. Masalahnya, kronologis saat kecelakaan itu terjadi saja ia tidak melihat. Ia tidak tahu-menahu soal ini. Yang diketahuinya hanyalah, ia turut menjadi korban pada peristiwa itu.
Lalu siapa tersangkanya? Dave seorang?
Oh, tentu tidak. Vale tidak rela bila Dave harus menanggung itu semua sendirian. Lagi pula, bukankah Dave melakukan itu juga karenanya? Seandainya ia tidak menyembunyikan ponsel Dave saat pesan dari Kina masuk. Mungkin kejadian mengerikan itu tidak akan terjadi. Ya. Tentu tidak.
Tapi bagaimana ia bisa tahu pesan dari perempuan itu penting atau tidak?!
Vale mengira itu hanyalah sebuah pesan ringan. Sekadar Say Hell-o atau panggilan sayang singkat yang membuat percakapan itu menjadi tiada hentinya.
“Dia tidak meninggal. Tapi…” Dave membasahi bibirnya. Peluh mulai terlihat di dahinya. “Dia buta.”
Vale terkesiap mendengarnya. “Kasihan sekali,” lirihnya, pilu. Lagi-lagi gadis itu meringis, mau-tak-mau ia teringat kembali dengan sosok lelaki buta yang tampan itu.
Ya. Mengingat keadaan lelaki itu, Vale merasa semakin bersalah pada anak dari sepasang kekasih itu. Pasti, banyak sekali kesulitan yang di deritanya. Mungkinkah, sekarang anak itu adalah salah satu dari anak-anak panti asuhan yang sering dikunjunginya?
Setidaknya kalau memang benar begitu, Vale merasa ia tidak perlu takut. Mereka semua mencintaiku, batinnya meyakini. Sedikit licik memang. Namun tentunya ia akan membalas kebaikan anak itu nantinya. Dengan apa pun akan ia lakukan untuk menebus semua kesalahan mereka. Pasti.
“Kau tidak perlu mengasihaninya, Val. Lelaki itu, dia orang mampu. Kau tenang saja. Bahkan dia sangat kaya raya,” jelas Dave dengan satu tarikan napas. Ada sedikit perasaan iri saat gadis di hadapannya meringis seakan turut merasakan pilu lelaki buta yang tak di kenalnya.
Vale mengembuskan napasnya. Terdapat sedikit kelegaan di batinnya, mengingat anak itu lahir dari kerluarga berkecukupan –seperti yang dikatakan Dave— membuat Vale berpikir anak itu tidak akan terbebani sekian lamanya dengan keterbatasan yang nyaris mencampakkan masa depannya. Keluarganya pasti akan membayar berapa pun untuk membuat anak itu dapat kembali melihat indahnya dunia.
Namun, bukankah sepasang kekasih yang ditemukan telah meninggal dunia di tempat saat peristiwa itu terjadi adalah kedua orang tuanya? Lalu apa mungkin masih ada keluarga yang dimiliki anak itu?
Tunggu dulu. Tadi Dave menyebutkan anak itu sebagai “lelaki”?
“Lelaki itu memang tidak memperpanjang masalah ini,” Dave kembali bersuara membuat Vale seketika mengalihkan perhatiannya pada Dave. “Dia telah merelakan kepergian orangtuanya. Juga, melupakan peristiwa 3 tahun lalu, mungkin,” jelasnya, terdapat secercah keraguan.
“Lalu mengapa kau ingin menyerahkan diri, sementara anak itu sudah tidak memperpanjang masalah ini?” Vale memandanginya dengan kening berkerut.
Dave tersenyum tipis mendengar gadis dihadapannya menyebutkan ‘lelaki’ itu sebagai seorang anak. “Aku hanya merasa bersalah. Semenjak kejadian itu, rasa bersalah selalu menghantui pikiranku, Val. Aku tidak bisa terus untuk selamanya bertindak seperti tidak ada apa-apa,” Dave menatapnya penuh arti lantas tersenyum samar. “Dan orang itu, bukan seorang anak kecil yang lugu Val. Dia, lelaki itu, berusia di bawahku tetapi lebih tua darimu. Terdengar begitu aneh bila kau masih menyebutkan lelaki itu sebagai seorang anak, Val.”
Vale meringis geli karena kebodohannya sendiri, membuat Dave tertawa kecil melihatnya. Gadis itu menatap Dave dari balik bulu matanya. “Lalu, apa aku akan ikut denganmu?”
Kedua alis tebal lelaki itu bertaut. “Ke mana?”
“Ke tempat di mana para penjahat dikurung?” Jawabnya terdengar ragu.
Dave terkekeh pelan, kedua matanya tersenyum getir mendengar kata ‘penjahat’ dari kalimat gadis itu. “Tidak. Tentu tidak. Kau tidak salah, Val. Biarkan aku saja yang menerima semua ini.”
“Tapi bagaimana denganku, Dave?” Vale mendengus. “Aku lebih memilih kau bersama dengan gadis pilihanmu, daripada harus menanggung semua ini dengan meninggalkanku sendiri dan menunggumu membusuk di sana.”
Dave mengernyit, terpaku pada kalimat awal yang dilontarkan Vale. “Gadisku? Siapa?”
“Kina,” lirih Vale lantas menyeruput kopinya.
Dave tersenyum namun tidak dapat diartikan. “Kau seharusnya tahu, kenapa aku selalu menjagamu setelah kejadian itu. Dan tidak pernah bertemu lagi dengan Kina. Karena… Karena, Kina tidak pernah mempunyai keinginan, bahkan seujung kukupun, untuk hanya kembali dan menemuiku. Sekadar melihat keadaanku.” Dave tersenyum getir menatap jemarinya yang bertaut dengan pandangan kosong.
“Terdengar licik memang, kalau kau berpikir seandainya Kina saat itu kembali dan menemuiku, aku tidak akan pernah bersedia menjagamu lagi, Valecia. Tapi tidak sama sekali! Saat melihat kau terbaring lemah di ruangan serba putih menyebalkan itu, aku merasa…” Vale menatap Dave dengan mata melebar.
“Aku menyayangimu.”
Seharusnya inilah jawaban dari seluruh penantiannya. Ya, tentu saja ia senang. Tapi tidak sebahagia dulu. Padahal dirinya tahu bahwa terdapat sebuah ketulusan saat lelaki itu mengatakannya. Terlihat dari sepasang mata Dave yang menatap gadis dihadapannya begitu sendu, seolah meraih ataupun melepas, bukan menjadi pilihannya saat ini.
Dan melihat Vale yang hanya bergeming tak membalas perasaan itu, seharusnya ia memahaminya. Dave mencoba mengertinya.
“Lalu, kenapa saat itu kau mengatakan bahwa kau terlanjur menganggapku sebagai “adik”, Dave? Dan apa maksudnya salam perpisahan itu?” Vale mengulang perkataan Dave saat terlintas percakapan terakhir mereka saat itu.
Waktu yang mempertemukannya dengan Vano.
Ah, bukan. Pertemuannya dengan Vano bukan karena percakapan itu. Itu hanya kebetulan saja.
“Karena,” Dave memejamkan matanya sesaat. “Awalnya, aku ingin kau melupakanku. Tapi aku tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya. Sehingga aku membuat alasan yang lebih masuk akal, seakan aku telah memiliki gadis lain. Dan aku mejauhimu, agar kau semakin yakin dengan alasanku tersebut.
“Tapi tidak bisa. Justru, itu malah semakin membuatku tersiksa. Aku terus merindukanmu, Valecia.”
Vale tercengang mendengar penjelasan lelaki di hadapannya. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan.
“Aku tidak menyangka,” lirih Vale, tertegun.
“Aku pun tidak pernah mengira.”
“Tapi kenapa harus seperti itu?”
“Karena aku tidak mau kau membatalkan tekadku yang sudah bulat untuk menyerahkan diri pada pihak kepolisian, Valecia.”
Benar, Vale pasti akan membuat tekadnya goyah. Gadis itu selalu membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan sebuah tindakan konyol. Namun, benarkah hal yang sangat serius seperti ini masih dianggap hanya sebuah tindakan konyol?
“Dan aku yakin, kau akan mendapatkan yang lebih baik dariku. Berusahalah mencari Val, aku yakin ada yang menunggumu di lain waktu dan tempat. Dialah yang diciptakan untuk mendampingimu.” Dave tersenyum tipis, berupaya menutupi goresan luka di hatinya akibat kebohongan kecil yang dilontarkannya sendiri untuk gadis dihadapannya.
“Kau yakin dengan hal ini Dave?” Vale meyakinkan lelaki itu kembali.
“Kau mengira aku bermain-main dengan ucapanku?”