Vano tidak mengerti apa yang dirasakannya saat ini, namun hatinya begitu tenang mendengar suara gadis itu kembali walaupun hanya lewat alat komunikasi kuno miliknya, bahkan perasaannya begitu terasa lega saat permintaan maaf darinya diterima oleh gadis itu dengan ringan.
Vano bersumpah, ia tidak tengah bergurau saat mengatakan tentang kerinduannya pada gadis itu. Seolah terdapat sesuatu yang membuat Vano tanpa sadar telah dipengaruhi oleh kehadirannya.
Astaga, benarkah? Gadis itu bahkan seperti kafein untuknya. Nama gadis itu telah terukir dalam benaknya, membuat waktu beristirahatnya seakan terusik akibat rasa gelisah yang telah berhasil menguasai dirinya. Dan semuanya hanya karena seorang gadis yang Vano sendiri bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Dia adalah Valecia Rain.
Vano mengetuk-ngetukkan jari ke lututnya. Entah memang Vano yang sudah tidak sabar ingin menggelitik telinganya dengan mendengar suara gadis itu, atau karena keterlambatan gadis itu sendiri yang sudah terlalu lama membuatnya menunggu?
Ah, berlebihan.
Suara yang berasal dari gerbang rumahnya terdengar terbuka. Senyum tipis yang begitu samar terukir di bibirnya, namun tidak pada kedua matanya yang turut tersenyum penuh arti.
Gadisnya telah datang.
***
Vale membuka gerbang rumah itu. Oh, sepertinya ia tidak menyadari. Vale membuka gerbang itu, seakan rumah besar di hadapannya adalah rumahnya sendiri. Vale menyengir tak keruan mengingatnya.
“Kenapa lama sekali?!”
Belum seutuhnya gerbang terbuka, gadis itu langsung mendapat gerutuan yang begitu memekakkan pendengarannya. “Heh, aku ini baru datang! Tolong di sambut dengan baik, ya,” gerutunya balik seraya mencebik.
“Tidak ada sambutan istimewa untukmu, Nona.”
Vale mengentakkan kakinya menuju Kitty seraya memarkirkan mobilnya di halaman depan, dan segera dituntut dengan beribu pertanyaan dari Vano begitu ia menghampiri lelaki itu. Membuat otaknya terasa akan pecah berkeping-keping, karena terlalu pusingnya harus menjawab pertanyaan yang mana terlebih dahulu.
“Vano bisakah kau memperbolehkanku untuk masuk, lalu kau boleh bertanya apa pun, semaumu, sesudah berada di dalam?” Dengus Vale.
“Untuk apa aku mempersilakanmu masuk ke dalam?”
“Ng, menghormati tamu?” Balasnya tak yakin seraya mengerjap-ngerjap menatap Vano yang menampilkan wajah begitu datar.
“Memangnya kau tamu?” Kedua matanya tersenyum walau tak dapat melihat gadis dihadapannya. “Keperluan sepenting apa sampai aku harus menganggapmu sebagai seorang tamu, hm?”
Pertanyaannya di balas dengan pertanyaan yang di buat Vano, membuat bibir tipis gadis itu mengerucut. Seandainya ia tidak dibatasi oleh keadaannya. Ya. Seandainya bisa, Vano pasti akan tersenyum atau bahkan tertawa melihatnya, seperti yang selalu Dave lakukan saat melihat reaksinya itu.
Vano menggapai puncak kepala gadis itu. Ia menyentuh wajah gadis itu dengan lembut. Ibu jarinya mengelus sebelah mata Vale yang terpejam karena gerakannya. Vano tersenyum saat induk jemarinya merasakan kelembutan bulu mata gadis dihadapannya.
Ia bahagia karena sesuatu yang begitu sederhana. Merasa bahagia hanya dengan menyentuh bulu mata gadis itu yang seolah tengah bermain, menggelitik permukaan kulitnya.
“Kau bukan tamuku, Valecia.” Kau adalah gadisku. Lanjut batinnya seraya tersenyum, meraih dan menggenggam lembut pergelangan tangan Vale lantas mengajaknya untuk masuk.
Vale yang menyadari, segera memeluk erat lengan kokoh itu seraya membantu untuk menuntunnya. Batinnya sedikit resah mengingat kejadian beberapa saat lalu. Ada sesuatu hal yang nyaris membuat Vale berhenti bernapas saat itu juga.
Vano, nyaris menyentuh luka yang selama ini tidak dapat dilihatnya. Dan ia tidak ingin sampai Vano merasakannya.
***
“Tidak ada s**u?”
“Pertanyaanmu seperti anak balita.”
Vale mendengus seraya memutar kedua bola matanya. Pandangannya tengah menelusuri lemari es sang tuan rumah, namun tidak terdapat satu pun minuman yang disukainya.
“Kenapa kau tidak membuat kopi?” Kurasa kopi buatanmu terlalu banyak mengandung kafein dan menyebabkanku tidak dapat tertidur dengan pulas.
Vale menggedikkan bahunya. “Aku malas menyeduhnya. Lagipula tadi aku sudah minum kopi.”
“Kopi, di mana?” Alisnya bertaut.
Vale menggigit bibirnya. “Ng, di rumah. Kopi sachet.” Seraya mengusap tengkuk, ia meringis kecil tanpa suara. Tentu saja ia berbohong. Bagaimana jika Vano marah karena telah terlambat dengan beralasan yang sesungguhnya?
“Valecia, tolong antarkan aku ke atas. Ponselku tertinggal di kamar.”
Vale segera menghampiri Vano dan menuntunnya. Dengan sangat hati-hati dan begitu perlahan, namun Vano amat menikmati saat-saat seperti ini. Di mana dirinya berdekatan dengan gadis itu. Sentuhan kulit yang terasa hangat menjalar keseluruh tubuh, saat kedua tangan gadis itu melingkar pada lengannya. Harum rambutnya yang tercium. Entahlah, wangi apa itu. Tapi bila Valecia yang memilikinya, Vano rasa ia akan menyukainya. Ya, apa pun gadis itu.
“Baiklah, kita sampai!” Ucap gadis itu seraya tersenyum lebar begitu keduanya sampai pada pijakan anak tangga terakhir.
“Antarkan aku sampai ke kamar, Valecia.”
Permintaan ringan itu membuat Vale mengernyitkan dahi. Bukannya ia tidak mau. Tapi, benarkah Vano memintanya? Dengan begitu, bukankah itu artinya Vano membiarkan Vale melihat kamar lelaki itu? Entah, namun menurut gadis itu sendiri “kamar” adalah ruangan pribadi. Hanya hal-hal penting yang terdapat di dalamnya.
Apakah ia penting bagi lelaki itu?
“Kenapa melamun? Segera antarkan aku,” merasakan kesunyian yang menembus jarak mereka, Vano mengira gadis itu sibuk dengan pemikirannya sendiri.
“Eh, iya.” Vale mengangguk dan menuntunnya. “Di situ, pintu nomor dua. Itu kamarku,” jelas Vano. Gadis itu memanggut paham mendengarnya.
Vale semakin kagum dengan lelaki di dekatnya ini. Dengan keadaannya yang tidak mampu melihat, namun Vano benar-benar jeli dengan letak apa pun yang berada di rumah ini.
“WOAH!”
“Bisakah kau bersikap normal?”
Bibir tipis gadis itu langsung mengerucut. “Memangnya aku tidak normal, begitu? Aku hanya kagum dengan ruangan ini. Dan ‘kagum’ adalah perasaan yang di miliki setiap manusia normal. Mungkin kau yang tidak normal!” Vale merenggut.
“Sudah masuk. Jangan banyak bicara.”
Vale berkacak pinggang mendengar responslelaki itu yang sama sekali terkesan tak menghiraukannya. Oh astaga. Bagaimana mungkin ia telah menaruh hati pada lelaki yang berkomitmen menganut kalimat “Diam berarti Emas”?! Pelit sekali untuk berbicara panjang.
Vale masuk ke dalam ruang itu dengan mata berbinar. Kamar Vano terdapat banyak sekali benda-benda yang disukainya. Interiornya benar-benar menawan dan terkesan maskulin. Walaupun ruangan itu hanya dihiasi dengan benda-benda berwarna hitam dan putih, namun hal itu justru membuatnya tampak begitu kontras.
Terdapat tempat tidur king size dengan bedcover bermotif hitam-putih yang diapit oleh nakas, rak buku panjang yang menempel pada dinding di sisi ruang, serta lemari hitam yang besar dan tinggi. Ugh, benda yang terakhir ini membuatnya semakin terlihat menciut.
Sebenarnya masih banyak lagi, hanya saja ia tidak perlu berperan untuk memamerkan kekayaan lelaki itu, bukan? Tentu. Tapi, tunggu…
Astaga! Grand Piano.
Benda yang juga berwarna hitam-putih itu ditempatkan berada di sudut kamarnya. Terletak menyerong ke arah dinding kaca yang besar pada sisi ruang, menghadap ke arah balkon kamar yang tertutupi oleh tirai putih yang lembut. Tirai itu menari-nari dengan gelombang yang indah akibat terpaan angin yang masuk melalui celah jendela. Tepat di bawah balkon, terlihat sebuah kolam ikan hias dengan air mancur yang menimbulkan bunyi percikan air. Terdengar begitu teduh dan terasa menenangkan.
“Ya…”
Lewat sudut matanya, Vale dapat menangkap siluet Vano tengah berbicara dengan ponsel kuno yang menempel di telinganya. Bagaimana mungkin seorang Vano yang nyatanya mampu membeli grand piano itu hanya mempunyai ponsel butut yang bahkan telah layak di musnahkan?
Vale tidak habis pikir. Tapi ia tidak peduli. Bukankah sama saja dengan dirinya? Ia sanggup membeli mobil yang lebih nyaman ditumpangi, namun kenapa harus memilih VW beetle berwarna hijau yang terkesan mencolok? Ah sayang sekali, ia sudah terlalu mencintai si Manis-Kitty.
“Kau sedang apa?” Alisnya bertaut merasakan keheningan. Di mana gadis itu?
“Di sini. Di dekat piano-mu.”
Vale tersenyum saat Vano menghampirinya. Gadis itu sengaja tidak menuntunnya, sekadar ingin meyakinkan saja jika Vano mengerti di sisi mana sekarang ia tengah menunggunya.
“Apa kau bisa memainkannya?” Sedetik kemudian Vale menyesali pertanyaan itu. Tidak seharusnya ia menyinggung apa yang di lakukannya saja sulit, bagaimana bisa dengan Vano? Ia lantas merutuki dirinya. “Maaf Vano, bukan—”
Vano menggapai piano itu, lantas meraba kursi piano di dekatnya. “Duduklah,” seru lelaki itu lembut saat ia telah terduduk. Vano tersenyum begitu dirasakannya Vale telah duduk manis di sampingnya. “Biarku perlihatkan.”
Tuts piano mulai dimainkannya dengan penuh kelembutan. Jari-jarinya terlihat menari dengan begitu lihai di atasnya tanpa tersendat sedikit pun. Walaupun perlahan, Vale sangat menyukai permainannya. Tidak terburu-buru, namun juga tidak selambat apa yang sering dimainkannya.
Ah, bahkan Vale hanya mampu memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star. Itu pun sangat lambat. Huh, memang dasar payah! Sudah tahu begitu masih sempat membandingkan dirinya dengan lelaki di sampingnya yang kini menguarkan pesonanya. Terlihat semakin menawan.
Bahkan Vano dapat memainkannya tanpa melihat.
“YEEYY!” Vale bertepuk tangan tepat saat permainan Vano telah usai. “Aku tidak tahu itu lagu apa, tapi kau sangat mengagumkan Vano!” jelas Vale antusias seraya menyengir lebar, menampilkan rentetan giginya.
“Itu laguku. Aku membuatnya beberapa tahun lalu.”
Vale mengerti. Yang dimaksud dengan kalimat ‘beberapa tahun lalu’, pasti saat Vano masih dapat melihat keindahan dunia. Pasti dahulu Vano sangat berbakat. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri gadis itu mendengarnya.
“Kau ingin aku memainkan sebuah lagu?”
“Boleh aku memintanya?” Kelopak matanya melebar, berbinar.
“Tidak. Kau mainkan saja sendiri.”
Vale mendengus sebal seraya mencebik. “Kau bisa bernyanyi dengan memainkan alat ini, Vano?” Vale mengerjapkan matanya menikmati wajah tampan Vano dari samping.
Vano menganguk sekali dengan sedikit keraguan. Ia tidak yakin. Sudah lama sekali ia tidak mengeluarkan suara diiringi dengan nada-nada itu. Yang dikeluarkannya hanya nada datar, untuk berbicara kepada lawan bicara tentunya.
Vano segera memulai permainannya. Jari-jarinya kembali menari di atas tuts piano. Vano tersenyum samar, ia harus menggunakan cara itu agar hasilnya tidak begitu buruk. Bernyanyilah dengan perasaan, maka lagumu akan terasa hidup. Batinnya meyakini.
I could stay awake just to hear your breathing
Watch you smile while you are sleeping
While you’re far away and dreaming
Vale tak kuasa mengatupkan bibirnya yang semakin menipis. Suara lelaki itu teramat menyentuh pendengarannya. Membuat dirinya seolah tak berpijak. Merasakan kepakan lembut sayap kupu-kupu yang semakin menggelitik perutnya.
I could spend my life in this sweet surrender
I could stay lost in this moment, forever
Every moment spent with you, is moment I treasure
Vano tersenyum seraya memejamkan kedua mata tanpa menghentikan permainannya. Kebungkaman gadis itu seakan memompa gairahnya untuk membayangkan sosok gadis itu dalam pikirannya saat ini. Valecia tengah tersenyum manis dalam benaknya kini.
Don’t wanna close my eyes
Don’t wanna fall as sleep
‘Cause I miss you, Baby
And I don’t wanna miss a thing
Sungguh Vano! Suaramu membuat diriku sulit menghirup oksigen! Batin Vale menggerutu. Tak henti-hentinya menyurutkan senyuman manis di bibirnya. Senyuman yang begitu sesuai dengan apa yang Vano bayangkan saat ini.
‘Cause even when I dream of you
The sweetest dream would never do
I’d still miss you, Baby
And I don’t wanna miss a thing…
Vano tersenyum. Ia menunggu reaksi serta komentar apa yang akan diberikan gadis di sampingnya untuknya. Tapi, mengapa ia tidak kunjung bersuara?
“Valecia?” Vano menautkan alis tebalnya. “Apa suaraku buruk?”
Vale mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia tidak sadar, mulutnya terus terbuka saat Vano bernyanyi dengan suara yang… Ah, tidak dapat diungkapkan! Terserah kalian saja. Saat ini ia benar-benar mabuk kepayang dibuatnya. Oh tidak, itu berlebihan! Namun ia bersungguh-sungguh, Vano terlihat begitu mengagumkan!
“Valec—”
“Tidak ada yang bisa kuungkapkan Vano. Jika dengan mengangkat satu ibu jari bisa dikatakan memuji, aku akan memberikanmu empat jempolku, sekaligus. Sungguh!”
Vano tergelak mendengarnya sementara Vale tertegun dibuatnya melihat lelaki itu. Vano tertawa selepas itu? Ia mengerjap-ngerjapkan matanya kembali. Oh, alangkah baik bila jantungnya tidak akan berhenti karena terlalu lelah berdegup tiga kali lebih cepat saat ini!
Vano manggut-manggut dengan senyuman geli yang tak luput dari wajahnya. “Baiklah. Berikan tanganmu, Valecia,” serunya dengan senyum tertahankan.
Vale terbelalak mendengarnya. “Kau akan memotong ibu jariku?!” Vale mencondongkan tubuhnya kebelakang, mendekap tangannya bergitu erat di depan d**a.
“Bagaimana mungkin sementara aku tidak membawa pisau ataupun gunting, hm?” Vano menyeringai.
“Kau ekstrim Vano!” Vale menggeleng tak percaya dengan seringai yang ditampilkan lelaki itu.
Jujur saja, Vano terlihat begitu tampan. Bahkan melebihi tampan dengan ekspresi itu! Terlihat menggiurkan dan menggoda. Namun sedetik kemudian, gadis itu menggelengkan kepalanya dengan kuat. Mengenyahkan pikiran kotor itu dari dalam benaknya.
“Di mana letak tanganmu?” Vano mengernyit saat berusaha menggapai tangan gadis itu namun tak kunjung mendapatkannya.
“Di depan dadaku,” balasnya polos.
“Berikan. Jangan sampai aku salah menyentuh, Valecia.” Vale lantas memberikan tangan kirinya. “Gadis yang tidak sopan. Mengapa kau memberikan tangan kirimu, hm?”
Vale mengernyit. Bahkan soal jari-jemari saja Vano memahaminya. Vale menarik tangan kirinya dengan perlahan, lantas menyerahkan tangan kanannya yang terasa lembab. Astaga, ia keringat dingin rupanya!
“Kau gugup, Valecia?”
Sudah dikatakannya, bukan? Vano pasti akan mengetahui itu. Pastilah! Cara Vano meraih dan menggenggam tangan Vale, bukan seperti seorang algojo yang akan memenggal pergelangan tangannya. Tapi seperti seorang pria yang akan memberikan sesuatu kepada sang isteri berupa…
CINCIN?!
Tunggu. Benda apa itu?
Benda bulat seperti lingkaran yang terbuat dari emas putih dengan mata berlian yang berkilap-kilap cantik, dikeluarkan Vano dari saku kemejanya. Benarkah itu sebuah cincin?! Vale tidak mungkin lupa akan nama benda itu. Walaupun ia sudah lama sekali tidak memakai segala hal yang berbau dengan perhiasan, tapi ia masih mengingat jelas bagaimana bentuknya.
Lagipula ia tidak sebodoh itu sampai tidak mengenali benda yang sanggup membuatnya terperangah seperti saat ini!
Vale mengerjap-ngerjapkan matanya. Merasakan Vano tengah memilih jari yang menurutnya tepat untuk dihiasi lingkaran mungil benda berkilau itu. Ya, jari manis. Jari di sebelah kelingking, itu kan namanya? Vale benar-benar seperti orang amnesia berkat perlakuan manis sekaligus menegangkan dari lelaki di sampingnya!
“Vano apa yang kau lakukan?”
Ya. Cincin itu berhasil masuk. Membuat jari manis gadis itu semakin terlihat menawan. Buliran kristal bening kini tengah menumpuk di pelupuk matanya. Ia tak kuasa menahan rasa haru serta kebahagiaan yang menyeluruh dihatinya. Vano, benar-benar membuatnya terbuai dan merasa beruntung dengan pilihannya saat ini.
“Aku telah belajar, segala hal tentangmu. Kau yang mengajariku kembali akan warna kehidupan yang sempat hilang, sampai aku bertemu denganmu. Ketika kau hadir maupun saat kau pergi. Tanpa sadar duniaku telah bergantung denganmu…”
Vano tersenyum. Senyum yang begitu mempesona dari pandangan gadisnya. Cincin manis yang terasa pas melingkar pada jari manis milik gadis itu semakin memantapkan pilihannya. Dengan senyuman menawan yang tak luput dari wajahnya, ia membuat pernyataan.
Pernyataan yang sanggup membuat Valecia terjatuh dalam lingkar pesonanya.
“Revano Valdinho, kini menjadi milikmu, Valecia Rain.”