Rudolf membiarkan Alena menikmati sensasinya. Dengan kedua tangannya Rudolf menurunkan irama Alena, memosisikan Alena hingga tubuhnya membelai bagian yang lembut dan mendamba dalam diri Alena. Sementara tubuh Alena perlahan kembali tegang dan gemetar, “Felix.”
Rudolf menangkup bagian belakang leher Alena sementara o*****e masih meledak dalam diri Alena di bawah tatapan Rudolf yang mengamatinya hancur lebur tanpa melepaskannya sementara Alena merasa ingin memejamkan mata karena sensasi Rudolf. Alena mengerang dan mencapai puncak kenikmatan yang lebih dari pada yang pernah ia alami, tubuh Alena tersentak karena nikmat.
“Sialan, sialan, sialan, Alena,” Rudolf mendesakkan pinggulnya ke tubuh Alena, menarik pinggul pujaannya ke bawah untuk menerima desakannya yang keras, sementara Alena mengamatinya dengan takjub, ia ingin melihat dan memastikan Rudolf mencapai klimaks untuknya. Mata Rudolf liar karena membutuhkan dan kendali dirinya runtuh, wajahnya yang tampan terlihat berkerut saat dirinya berada di ambang batas.
“Alena!” Rudolf berteriak liar penuh kenikmatan, pelepasan keras yang membuat Alena takjub. Tubuh Rudolf gemetar, raut wajahnya melembut sejenak dan sepenuhnya Rudolf terlihat begitu seksi.
Alena menangkup wajah Rudolf, menyapukan bibirnya ke bibir Rudolf, menenangkannya sementara semburan napasnya yang panas dan terdengar pendek-pendek membelai pipi Alena.
“Alena.” Rudolf melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Alena dan mendekapnya erat, mendekatkan kepalanya sebelum menenggelamkan wajahnya yang berkeringat ke lekukan leher Alena.
Mereka tetap seperti itu untuk waktu yang lama, berpelukan, menyerap semua guncangan pelan setelah itu. Rudolf menoleh dan mencium Alena dengan lembut, belaian lidah Rudolf di dalam mulut Alena terasa menenangkan.
“Wow,” desah Alena, ia masih merasakan sensasi milik Rudolf. Mulut Rudolf melengkung dan Alena tersenyum, merasa bingung seakan merasa melayang-layang. Rudolf menyingkirkan rambut lembap dari pelipis Alena dan ujung jarinya membelainya dengan takjub. Cara Rudolf mengamati dirinya membuat Alena merasa dicintai, tatapan Rudolf kini terasa hangat dan lembut. “Aku tak ingin merusak moment ini, Sayang.”
Alena menatap dengan curiga, menatap langsung ke dalam mata coklat Rudolf. “Tapi…?” Mata Alena memicing dan Rudolf tersenyum miring sebelum mengecup ujung hidung Alena, lalu menekan sebuah tombol, “Clancy, kita pulang sekarang.”
Keduanya masih belum melepaskan pandangannya. “Kita akan pulang, Sayang. Ke tempat kita.” Suara serak Rudolf seakan menyadarkan Alena akan tujuan Rudolf pada dirinya, dan seks panas beberapa menit lalu, bahkan tubuh mereka masih saling terhubung telah membuat Alena lupa.
Alena mengangkat tubuhnya dengan kikuk dari atas tubuh Rudolf. Mengigit bibir ketika dirinya merasakan milik Rudolf meluncur keluar dari tubuhnya. Gesekan lembut itu sudah cukup membuat Alena menginginkan lebih dari Rudolf.
“Sialan, aku masih menginginkanmu, Sayang.” Rudolf menangkap Alena sebelum ia beranjak menjauh. Rudolf mengeluarkan sebuah saputangan lalu mengelap Alena. Yang dilakukan Rudolf dirasakan Alena sangat intim, terlampau intim.
Alena duduk di samping Rudolf, memperbaiki tampilannya, menarik turun kembali rok pensil yang dikenakannya, lalu mengancingkan kembali kemejanya. Alena mengamati Rudolf yang sedang membersihkan dirinya sendiri.
“I love you, Baby,” bisik Rudolf sebelum mendaratkan ciuman di pipi Alena.
Rudolf mengenggam tangan Alena sepanjang waktu, sikap yang ditunjukan Rudolf masih sama bahkan kali ini Alena merasakan Rudolf kian posesif. Alena merasakan kecanggungan saat mereka memasuki lift pribadi ke penthouse Rudolf.
Ketika lift terbuka dan langsung ke serambi apartemennya yang berlantai marmer, cengkeraman Rudolf pada tangan Alena kian mengencang sebelum ia melepaskannya. Rudolf membuka pintu masuk ganda dan menuntun Alena masuk dan Alena merasakan kecemasan sementara pandangan matanya tetap mengawasinya dengan menilai.
Pemandangan langit sore yang menuju malam. Langit-langit ruangan yang tinggi dan arsitektur yang tampak begitu menenangkan bagi Alena. Ia merasakan déjà vu saat kakinya memasuki penthouse. Ruang depan dengan beberapa lukisan yang membuat mata Alena membulat.
“Felix, tempat ini…” Kalimat Alena menggantung dan terdengar lirih.
“Masuklah, Sayang.” Rudolf menarik masuk jauh ke dalam penthouse mewahnya. “Aku ingin menghabiskan akhir pekan kita di sini.”
“Aku…” Alena menelan ludah, mendapati tatapan mata Rudolf yang masih lurus ke arahnya. Terasa lebih lembut dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Hanya ada mereka berdua di tengah ruang besar. Langit-langit ruangan yang tinggi. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, Felix.”
“Aku tidak butuh penjelasanmu, Sayang,” ungkap Rudolf dengan senyum tipis, ia bergerak mendekat, menyambar pinggang Alena untuk mendekatkan tubuh keduanya sebelum Rudolf mendekatkan kepalanya ke samping kepala Alena lalu berbisik, “Kau telah bersamaku, aku tak butuh yang lainnya.”
Rudolf menoleh, menatap Alena yang terpaku dengan bibir bergetar. Alena merasa dirinya bergeming di hadapan Rudolf, meski banyak hal yang berkecamuk di dalam d**a Alena. Bagai gemuruh langit yang akan turun badai.
“Aku ingin kita memulainya dari awal.” Rudolf mengatakannya dengan suara berat namun lembut di hadapan Alena yang masih membisu. Rudolf mencolek ujung hidung Alena dan lagi-lagi Alena hanya mematung. Rudolf menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman menawan. “Aku harap kau tak lupa dengan kebiasaan kita dulu, Sayang.”
Rudolf berjalan meninggalkan Alena di tempatnya untuk meletakkan tas kerjanya di atas sebuah sofa, sementara Alena menelan ludah dengan susah payah. Mengumpulkan semua kesadarannya yang tanpa sadar dikuasai Rudolf. Alena hanya mengamati Rudolf yang berjalan meninggalkannya. Punggung lebar Rudolf dengan langkah yang anggun dan tampak seksi.
“Ini gila,” desis Alena sambil menoleh ke belakang, menatap pintu ganda dari balik bahunya. Alena jatuh dalam lamunan sampai dering ponselnya memecah lamunannya dan memunculkan nama Delia pada layar ponsel. Dering kedua Alena menjawab meski ia ragu untuk melakukannya.
“Kau di mana, Alena?” Suara Delia yang terdengar cemas di ujung saluran.
Alena menghela napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar sebelum beranjak ke dalam meletakkan tas tangannya di sofa yang tak jauh dari Rudolf meletakkan tas miliknya. Alena menjilat bibirnya lebih dulu.
“Aku, Delia---”
“Katakan kau tidak pulang selama akhir pekan, Alena,” bisik Rudolf yang tiba-tiba muncul dan memeluk Alena dari belakang sebelum menyurukkan kepalanya pada lipatan leher milik Alena, mengecup kulit Alena di sana, membuat Alena kian tergagap tak dapat bicara, menciptakan keheningan yang yang membuat Delia merasa aneh.
“Alena. Alena kau baik-baik saja?” Suara milik Delia yang terdengar kian cemas. Alena menjilat bibirnya sekali lagi, mencoba menyingkirkan sensasi yang dibuat Rudolf saat telapak tangan lebar pria itu menangkup salah satu gundukan dadanya, membuat Alena bersandar pada tubuh tegap Rudolf dibelakang tubuhnya sendiri.
“Aku baik-baik saja, Delia. Aku...” Kalimat Alena kembali menggantung, merasakan basah lidah Rudolf yang menjilat daun telinga Alena dengan gerakan pelan, berulang, basah hingga membuat tubuh Alena berkedut. Alena tidak akan lupa Rudolf mampu membangkitkan gairahnya dengan cepat dan secapat itu juga ia akan menyelesaikan gairah itu dengan cara yang tak akan pernah Alena lupa. “Katakan di mana dirimu, Alena?” Pertanyaan yang dilontarkan Delia sekali lagi membuat Alena tersadar ia belum mengatakan apapun pada sahabatnya.
“Delia, aku… Aku ada keperluan mendesak dan sepertinya….” Alena mengigit bibir bawahnya saat Rudolf meletakkan satu jarinya di jalan masuk tubuh Alena. Tak ada yang dapat dilakukan Alena selain menggenggam erat-erat ponsel di tangannya sementara tangan lainnya meraih telapak tangan Rudolf yang membelai miliknya hingga menyentak dan terdengar hembusan napas Rudolf. “Aku menginginkanmu, Baby,” bisik Rudolf.
Alena butuh oksigen, dan dengan spontan ia menengadahkan kepalanya di atas bahu Rudold yang menguasai tubuhnya dari belakang.
“Kau akan ke mana?” tanya Delia kali ini, dan Alena tak sanggup lagi untuk menjawabnya, “Aku akan kembali pada hari Minggu.” Telepon terputus dan Rudolf menyingkirkan ponsel milik Alena, melemparkannya ke sofa dengan sembarang sebelum Rudolf memutar tubuh Alena. Napas keduanya yang menderu di antara tatapan panas.
“Aku tidak punya barang-barang dan pakaianku, Felix.”
“Kau tidak membutuhkan pakaian, Sayang.”
Rudolf menarik tubuh Alena kian mendekat. Keduanya saling melepaskan senyuman. “Aku ingin dipeluk.” Alena menyelipkan tangannya ke balik t-shirt hitam yang dikenakan Rudolf, membelai punggung lebar dan berotot pria di hadapannya, merasakan kulit yang pernah dicecapnya. Pria itu telah mengganti pakaiannya. “Aku juga ingin mandi.”
Rudolf menarik napas dalam-dalam. “Aku suka kau berbau sepertiku, Sayang,” ucap Rudolf sambil menuntun Alena untuk melintasi ruang duduk dan menyusuri koridor kamar. Alena melayangkan pandangan matanya ke semua sisi jalur yang ia lewati. Merasakan dirinya yang mengenali penataan ruang dalam penthouse megah milik Rudolf.
“Wow,” desah Alena saat Rudolf menyalakan lampu. Sebuah ranjang besar tepat berada di tengah, menguasai ruangan itu. Ranjang dengan seprainya yang berwarna krem lembut, dan perabot lainnya senada dengan ranjang. Alena tak menemukan lukisan atau ornamen apapun pada dinding. Semua teralihkan pada jendela kaca apartemen yang terpampang lebar di hadapannya, tepat menghadap ranjang. Menampakkan pemandangan kota London. Langit yang telah berubah gelap, dan tampaknya bintang belum ada yang muncul. Alena membayangkan sinar matahari pagi yang akan jatuh tepat di atas ranjang, menghangatkan setiap pagi Rudolf.
“Kamar mandinya ada di sini.”
Rudolf mengeluarkan handuk dari lemari dan meletakkannya untuk Alena. Tampak Alena yang masih mengamati meja rias yang ada di sisi kanannya. Rudolf berjalan anggun hingga Alena tak menyadari kedekatan mereka.
“Mandilah, aku akan menyiapkan makan malam untuk kita.” Rudolf mengecup bahu Alena dan membuat Alena menoleh yang membuat keduanya saling menatap. Alena yang tampak cantik dengan tampilan yang sedikit acak-acakan dalam balutan kemeja dan rok pensil yang terlihat kusut di tepi jahitannya usai percintaan keduanya dalam limo. Alena tampak mengairahkan bagi Rudolf. Begitu juga sebaliknya, Rudolf dalam balutan t-shirt dan jins lusuh yang membuat tampilannya tampak menggiurkan. Banyak purnama yang terlewati keduanya hingga menciptakan hasrat di masing-masing diri. Hasrat untuk merasakan satu sama lain.
“Felix.” Napas Alena terasa tersekat, Alena tertunduk sebentar sebelum menatap kembali pria pujaannya yang menjulang di hadapannya. “Aku… Aku tidak tahu kenapa aku berakhir seperti ini bersamamu, Felix.”
“Apakah itu menakutkan untukmu?” Rudolf mendongakkan dagu Alena untuk mencium ujung hidung mancungnya. Alena menatap dengan ragu, tampak gugup dan cemas yang menjadi satu sampai Rudolf menjulurkan tangannya, meletakkan di sela leher Alena, menghantarkan getaran menenangkan saat telapak tangan Rudolf mengenai permukaan kulit Alena.
“Semoga kau masih menyukai kaviar dan vodka, Sayang.” Suara berat Rudolf membuat Alena tersenyum manis. Dan tatapan di bawah bulu matanya yang indah membuat Rudolf bahagia. Alena meraih telapak tangan Rudolf di sela lehernya, membawanya dalam dekapan erat.
“Well…itu… terdengar bagai langkah besar untuk---”
“Memulai semuanya dari awal seperti dulu,” sambar Rudolf yang disertai dengan senyum lebar dan tampak bahagia meski pada kenyataannya Alena masih tampak gugup dan cemas. Alena tenggelam dalam dunianya sampai Rudolf menearik Alena kian mendekat. “Mandilah, Sayang. Aku akan meletakkan pakaian untukmu di atas tempat tidur.” Kecupan mendarat mulus di kening Alena.
Rudolf terlihat antusias dan ia beranjak meninggalkan Alena, menghilang di balik pintu kamar yang terbuka. Alena menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan sebelum dirinya beranjak untuk mandi.
Alena mandi dan mengenakan pakaian yang disediakan Rudolf, sebuah kemeja yang kebesaran untuk menutupi tubuh mungil dirinya. Berdiri memandangi dirinya di hadapan cermin besar. “Apa yang telah aku lakukan?” gumam Alena seorang diri memandangi dirinya di dalam cermin sebelum ia bergabung dengan Rudolf di ruang duduk dan mereka duduk di lantai untuk melahap kaviar mahal dengan roti panggang kecil. Keduanya menonton drama yang tersedia dalam tayangan televisi kabel.
Tampak Alena melahap makanannya sebelum ia meraih ponselnya. “Alena,” panggil Rudolf. Ada banyak panggilan dari Delia dan juga Patrick yang membuat mata Alena membulat, ia tenggelam dalam dunianya hingga tak menyimak panggilan dari Rudolf meski keduanya duduk berdekatan, sebelah lengan Rudolf terampir di bahu Alena.
“Sayang, kau dengar aku?” Rudolf mengulangnya sambil meraih ponsel di tangan Alena membuatnya mengangkat wajah untuk keduanya saling menatap. “Aku tak ingin kebersamaan kita terganggu dengan pekerjaan.”
“Tapi---”
“Ayo kita tidur.” Rudolf beranjak dari duduknya, menjulang di atas Alena yang masih duduk di lantai. Alena tak langsung beranjak sampai Rudolf perlu mengulurkan tangannya ke hadapan Alena. Ia mendongak dan meraih telapak tangan Rudolf setelahnya.
Rudolf tidur dalam keadaan telanjang, dan Alena belum lupa akan hal itu. Rasanya menyenangkan meringkuk dalam pelukan Rudolf, mengenai kulitnya dan merasakan setiap desir napasnya. Alena menautkan kakinya, merangkulkan pinggang Rudolf dan menyandarkan pipinya ke d**a bidang Rudolf. Keduanya tak saling bicara hanya saling membelai hingga Alena tertidur.
“Felix, aku ingin kita---”
“Selamat malam, Alena sayang.” Rudolf memotong kalimat Alena yang Rudolf yakin jika ia membiarkannya akan menjadi masalah. Rudolf memilih untuk mempererat pelukannya di sekililing tubuh Alena yang berbalut kemeja miliknya tanpa mengenakan pakaian di dalamnya.
***