Ketika Rudolf terbangun, kamar tidur masih dalam keadaan gelap dan ia berguling ke sisi ranjang yang diisi oleh Alena. Ia duduk dan melirik jam tangannya yang ada di atas nakas, Rudolf menyadari hari masih malam dan pemandangan kota London masih tampak berpijar dengan lampu-lampu jalanan yang menyerupai arus sungai. Jam menunjukan pada angka tiga.
Rudolf belum merasakan tidurnya yang terasa panjang sejak kepindahannya ke London. Ia hanya berpikir suasana baru yang telah menghancurkan jam tidurnya. Bayangan terliarnya akan sosok pujaan hati, Rudolf menoleh ke belakang dari balik bahunya, mendapati Alena yang tertidur pulas dalam balutan kemeja yang tak lagi tertutup. Menampakkan dua gundukan dan p****g milik Alena yang tampak merona.
Masa itu dirasakan telah kembali bagi Rudolf, menyaksikan wanita pujaannya tertidur di atas ranjangnya. Alena tampak cantik dan mengiurkan bagi Rudolf, membangkitkan gairah dalam tubuhnya dan ia merasakan dirinya berkedut dan gairahnya melonjak dengan tiba-tiba meski Alena hanya berbaring diam di hadapannya. Rudolf menatap dengan kekaguman dan segenap perasaannya.
“Jangan sentuh aku,” bisik Alena yang terdengar kasar. “Singkirkan tanganmu dariku!”
Rudolf membeku, jantungnya berdebar keras. Kelopak matanya melebar dengan suara yang dikeluarkan Alena, terdengar menderita, desisan napasnya terdengar tersiksa.
“Dasar b******n busuk.” Alena menggeliat, kakinya menendang selimut hingga membuat Rudolf kian terkejut. Punggung Alena tampak melengkung dan ia mengeluarkan suara mengerang yang anehnya terdengar erotis. “Jangan. Ah, demi Tuhan… Sakit.” Alena menegang dan tubuhnya melilit membuat Rudolf tak tahan melihatnya.
“Alena.” Suara Rudolf terdengar cemas, ia mendekat untuk menyentuh Alena yang bergerak gelisah di dalam mimpinya. Keningnya berpeluh. “Alena, Alena bangunlah.”
Tiba-tiba Alena bergeming. Alena jatuh berbaring lagi dengan tegang dan penuh antisipasi. d**a telanjangnya bergerak naik-turun karena napasnya yang terdengar memburu. Rudolf meraih tubuh Alena dan sekali lagi membagunkannya dengan suara yang lebih tegas. “Alena, Alena bangun, Sayang. Kau sedang bermimpi. Kembalilah padaku.”
Alena berbaring lemas di atas kasur. “Felix…?”
“Aku di sini.” Rudolf mencoba mengamati Alena di bawah cahaya bulan yang terpancar dari balik dinding kaca penthouse-nya. Rudolf ingin memastikan mata Alena terbuka. “Apakah kau sudah bangun?”
Napas Alena mulai mereda, meski ia tidak berbicara. Tangannya mengepal seprai hingga buku-buku jarinya memutih. Rudolf mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Alena dengan ragu. Namun Alena tak bergerak, Rudolf membelainya dengan lembut dengan ujung jarinya. Kulit Alena terasa dingin dan lembap.
“Sayang?”
Alena tersentak bangun dengan mata menyalang. Napasnya masih tak beraturan.
“Apa? Ada apa?” Manik mata Alena terlihat bingung.
Rudolf mengernyitkan mata, menyaksikan Alena mengerjap menatap dirinya sebelum ia menyusurkan tangannya ke rambut dengan gelisah. d**a Alena naik turun saat ia menarik napas untuk mengembalikan kerja paru-parunya. Rudolf bisa merasakan mimpi buruk yang masih tampak nyata dalam diri Alena, tubuhnya masih tegang dengan penuh kewaspadaan.
“Ada apa?” tanya Alena serak dan anehnya seakan tak terjadi apapun.
Rudolf tak langsung menjawab. Rudolf masih mengamati Alena. Pandangan mata keduanya saling bertemu dalam kegelapan ruang tidur. Rudolf merasa Alena seakan baik-baik saja dan tak pernah terjadi apapun. Alena menarik kemeja bagian depannya, menutupi payudaranya yang terbuka.
“Kau baik-baik saja?” Terdengar nada ragu dalam suara Rudolf saat bertanya.
Alena menghela napas, tertunduk untuk beberapa saat. Selimut telah melorot sampai batas pinggang. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Rudolf sekali lagi untuk memastikan, membuat Alena mengangkat wajahnya. Ekspresinya dingin dan tak terbaca. Sedangkan Rudolf menatap dengan tatapan cemas dan ragu. Alena menelan ludah, pandangan matanya waspada sambil berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. Mencoba bersikap biasa saja meski tidurnya terkoyak mimpi buruk.
Lidah Alena nyusup untuk menjilat bibirnya. Alena tak yakin dengan dirinya.
“Apa ada sesuatu yang terjadi denganku?” tanya Alena yang membuat Rudolf lebih bingung. Kening Rudolf berkerut, mencoba menyibak apa yang tersembunyi. Alena berusaha untuk bersikap normal, Alena menyadari Rudolf sedang menilai dirinya. “Alena, aku…”
“Kenapa?” tanya Alena memotong kalimat Rudolf. Tatapan mata Rudolf yang tidak biasa, bahkan Alena belum pernah menyaksikan keterkejutan Rudolf seperti saat ini.
“Aku mencemaskanmu karena…” Seketika Alena mengerti arah kebingungan yang melanda Rudolf. “Kau baik-baik saja?” Alena langsung mendorong tubuh Felix hingga ia berbaring.
“Aku menginginkanmu, Felix.”
Rudolf terkejut saat Alena berbaring di atas tubuhnya, menindih dan menjulang di atasnya. Menyuguhkan kedua payudaranya yang terbuka sebelum Alena mendesakkan wajahnya ke leher Rudolf yang lembap dan merasakan kulit Rudolf yang asin. “Alena.”
Alena mencium aroma mint yang masih Alena ingat. Alena teringat akan pembicaraannya selama ini saat berkonsultasi dengan semua ahli kejiwaannya. Dipeluk dan dicintai dapat menyingkirkan ketakutan dan mimpi-mimpi buruknya selama ini.
Rudolf bangun, bertumpu pada dua sikunya. “Sayang, kita perlu---”
“Aku menginginkanmu, Felix. Sekarang,” sela Alena dan selanjutnya ia mencium Rudolf, menyesap semua rasa dalam mulut Rudolf, rasa lembap dan basah serta gerak lembut lidah mereka.
“Alena, aku---”
Seakan mengabaikan Rudolf. Alena mencium Rudolf dengan ciuman yang mendalam hingga lengan Rudolf memeluk Alena, tangannya membelai tulang punggung Alena dan rasanya bagaikan pelepasan dari mimpi-mimpi yang menghantuinya selama ini. Alena membutuhkan Rudolf.
“Sayang, aku… Kau….”
Alena mendorong Rudolf hingga berbaring sebelum dirinya memanjat ke atas tubuh Rudolf, menjejakkan kedua lututnya yang tertekuk di atas kasur dan menempelkan mulutnya ke mulut Rudolf. Kejantanan Rudolf menempel pada tubuh Alena, dan Alena mendesakkan pinggulnya ke tubuh Rudolf.
“Alena, kau…” Rudolf menahan Alena hingga ia menatap dengan bingung. “Aku menginginkanmu, Felix.” Alena mencium Rudolf sebelum Rudolf mengambil kendali ciumannya dan dalam waktu singkat membuat Alena basah dan siap. Alena merasakan kulitnya terbakar, butuh untuk menggesekan tubuhnya ke tubuh Rudolf. Menggunakan tubuh Rudolf untuk menyingkirkan mimpi buruk yang Alena sadari telah dilihat Rudolf.
“Bercintalah denganku, Felix.”
“I love you, Baby.”
Rudolf mengangkat kepala, menatap Alena di bawah sinar bulan yang samar-samar dari balik jendela kamar yang lebar. Rudolf mendesakkan tubuhnya ke dalam tubuh Alena. Tubuh Alena terasa sangat panas tapi juga lembut.
“Felix,” desah Alena sambil memeluk Rudolf dengan erat. “Kau telah berubah menjadi nakal, Alena sayang,” bisik Rudolf dilanjutkan dengan jilatan pada daun telinga Alena yang dibarengi dengan remasan pada kedua p******a Alena yang telah menegang.
“Cintai aku, Felix.”
“Tentu saja, Sayang.”
Rudolf menarik punggung Alena dan membaringkannya ke samping. “Aku yang akan memegang kendali permainan, Alena.”
Alena terbangun dalam posisi yang sama dengan yang terakhir ia ingat ketika ia tidur dengan tubuh telanjang Felix yang menjulang di atasnya dan di dalam tubuhnya. Sorot mata coklat Rudolf terlihat dipenuhi gairah dan Alena merasakan tubuhnya memanas dengan rambut panjang yang tersebar diatas permukaan bantal putih di bawah kepalanya.
“Aku berharap kau tidak keberatan,” gumam Rudolf sambil tersenyum nakal, bergerak keluar masuk dalam tubuh Alena. “Aku menginginkanmu, Sayang. Aku ingin bercinta denganmu lagi.”
Alena meletakkan kedua tangannya ke atas kepala dan melengkungkan punggungnya, menyodorkan payudaranya hingga menempel pada d**a bidang Rudolf yang berkeringat. “Aku suka caramu membangunkan aku, Felix.”
Rudolf mencium Alena, memberikan kecupan singkat dan kembali saling bertatapan. “Aku masih ingat semua kesukaanmu, Sayang.”
Alena merasakan tubuhnya hidup kembali dengan nadi yang memacu cepat secara tiba-tiba.
Alena terbangun saat jam menunjuk pada pukul sepuluh lebih lima belas menit dan ranjang di sebelahnya telah kosong. Tangannya bergerak di atas permukaan seprai, mencoba menggapai tubuh Rudolf, namun nyatanya kosong.
“Felix,” seru Alena memanggil nama Rudolf. Alena beranjak untuk duduk, seprai yang hanya menutupi batas pinggang ke bawah, Alena menyambar kemeja milik Rudolf yang ia kenakan semalam sebelum ia keluar dari balik selimut.
Kakinya berpijak pada lantai marmer yang terasa dingin mengenai kulit telapak kakinya. Alena berjalan ke arah kamar mandi, memutar knop pintu dan mendapati kamar mandi yang kosong.
“Ke mana dia?” desis Alena.
Alena beranjak meninggalkan kamar dan sejauh matanya memandang, tak ada sosok Rudolf.
“Felix.” Alena memanggil namanya, suaranya bergema, namun tak ada sahutan. Alena berjalan menyusuri ruangan apartemen dengan tubuh yang berbalut kemeja kebesaran milik Rudolf. Langkah Alena berhenti, mendapati foto pre-wedding dirinya dengan Rudolf beberapa tahun silam. Darahnya seakan surut seketika. Tubuhnya membeku, menatap lurus pada foto yang terpasang di dinding. Lorong waktu seakan menarik Alena kembali, gelap dan teriakan kesakitan yang terasa nyata.
“Tidak,” desis Alena.
Foto yang diambil seminggu sebelum tragedi itu terjadi. Citra bayangan yang menyelinap masuk dalam kepalanya. Alena merasa kesulitan untuk menelan, tenggorokannya terasa sakit. Napasnya tersekat dan sekujur tubuhnya membeku. Bayangan hari kelam itu meletup, memenuhi isi kepalanya.
“Tidak… Tidak…” desis Alena menyadarkan dirinya dan ia berputar untuk berbalik dan bertepatan dengan kemunculan Rudolf yang membuat mereka bertabrakan, bahkan Alena nyaris jatuh jika saja Rudolf tidak menggapai lengannya dengan sigap.
“Kau sudah bangun?”
Alena terperanjat, matanya membulat dengan wajah pucat. “Kau sakit? Wajahmu---”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” sela Alena sambil berjalan melewati Rudolf dengan langkah lebar dan cepat melepaskan diri. “Alena, Alena,” panggil Rudolf yang dihiraukan oleh Alena hingga Rudolf perlu menghentikan langkahnya dengan menyambar lengannya kembali. Membuat keduanya berdiri berhadap-hadapan dengan napas yang memburu.
“Lepaskan aku, Felix.” Alena meminta sambil berusaha menyingkirkan tangan Rudolf dari lengannya.
“Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?” Pertanyaan Rudolf yang langsung memberondong Alena. Tatapan bingung Rudolf yang bertemu dengan tatapan tajam Alena. “Aku akan pergi. Aku harus pergi, Felix.” Alena mencoba untuk melepaskan cengkeraman tangan Rudolf pada lengannya. Alena berjalan dan dengan cepat Rudolf kembali meraihnya.
“Tidak, Alena. Aku tidak akan pernah melepaskanmu,” seru Rudolf dengan suara tegas. Jeda sebentar, keduanya membisu sebelum Rudolf kembali bertanya, “Ada apa denganmu, Alena? Apa yang terjadi denganmu? Katakan padaku.”
Alena menggeleng pelan, tatapan matanya berubah keruh, kesedihan dan takut berpadu mengoyak batin Alena. “Siapa yang telah menyakitimu? Katakan padaku, Alena!” Suara Rudolf memekik dan tajam. Bayangan kelam itu menyelinap masuk dalam ingatan Alena. Terasa menyakitkan dan menyiksa.
“Tidak, Felix. Aku… Aku harus pergi.” Alena mengulangi kalimatnya sambil kembali berusaha melepaskan tangan Rudolf. Namun tangan Rudolf terlalu kuat sedangkan tangan Alena terasa gemetar. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Katakan siapa yang telah menyakitimu, Alena?!”
Butiran bening yang tiba-tiba meluncur melompati pelupuk mata Alena yang seketika membuat mata Rudolf membulat dan rahangnya mengatup. “Lepaskan aku, aku mohon,” pinta Alena dengan suara rintihan, suara yang terdengar mirip dengan rintihan kesakitan yang didengar Rudolf semalam. Bayangan Alena yang menggeliat kesakitan masih segar dalam ingatan Rudolf.
Keduanya bertatapan dengan isi pikiran masing-masing. Wajah Alena yang terlihat pucat di bawah tatapan menyelidik Rudolf. Alena mencoba sekali lagi melepaskan cengkeraman tangan Rudolf pada lengannya. Alena berjalan meninggalkan Rudolf.
“Alena,” panggil Rudolf sebelum ia menyusul langkah Alena ke dalam kamar. Mendapati Alena yang melepaskan kemeja miliknya dan telah berganti pakaian dengan kemeja sutra dan rok pensil miliknya sendiri, pakaian yang Alena kenakan kemarin. “Alena.”
Alena berdiri membelakangi Rudolf, bergeming di tempatnya. Terlihat bahu Alena naik saat dirinya menarik napas dan kembali turun usai menghembuskan napasnya dengan kasar.
“Tidak, Felix. Jangan bertanya apapun,” pinta Alena.
Rudolf berjalan kian dekat, menghapus jarak di antara keduanya.
“Apa kau sering bermimpi buruk?” tanya Rudolf tanpa basa-basi. Alena terperanjat, dadanya terasa sesak, ia memejamkan matanya beberapa detik, kehadiran Rudolf di belakangnya tak membuatnya berputar untuk menatapnya.
“Katakan apa yang terjadi, Alena?” Suara Rudolf terdengar menuntut, dan Alena tetap bergeming. Tak ada jawaban sampai Rudolf meraih bahunya, dan merasakan tubuh Alena terasa dingin. “Kau sakit?” Rudolf memeluk Alena dari belakang sebelum mendekap tubuh Alena dengan erat.
“Maafkan aku, Felix. Aku---”
Alena melepaskan dirinya dari pelukan Rudolf untuk berbalik, mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke dalam mata coklat Rudolf yang waspada. Rudolf yang terkejut hebat. “Katakan padaku, Sayang.” Ekspresi wajah Alena tak terbaca.
“Hubungan kita sudah berakhir, Felix.”
Bagai sambaran petir, tatapan mata Rudolf menajam dan lebih keruh, rahangnya mengatup. Rudolf menyisirkan tangan ke rambut dan mengembuskan napas dengan keras. “Kau tidak bersungguh-sungguh.”
Alena merasakan lelah yang teramat sangat karena berjuang melawan dirinya sendiri. “Aku serius. Kau dan aku… ini adalah kesalahan.” Suara Alena bagai sambaran petir.
Rahang Rudolf kian mengeras.
“Semuanya sudah jelas, Felix. Aku telah menikah. Aku milik pria lain.”
Keduanya saling bertatapan dengan tajam dan menghujam satu sama lain. Rudolf merasakan dirinya tertinju telak. “Apa yang kita lalui semalam---”
“Aku hanya sedang kebingungan,” sela Alena cepat
Rudolf berkacak pinggang, lalu ia bersedekap menatap Alena. “Demi Tuhan, Alena.” Suara Rudolf terdengar seakan semua hanya sandiwara yang dimainkan Alena. Sikapnya berubah dengan cepat bagai roller coaster. Rudolf masih ingat dengan apa yang ia amati semalam, tubuh Alena yang menggeliat kesakitan, merintih dalam mimpi.
“Kita sudah tiba di jalan buntu, Felix.”
“Tidak,” sergah Rudolf mempertahankan sikapnya. “Apa yang terjadi di limosin, dan yang kita lalui semalam---”
“Itu hanya seks, Felix. Seks yang sangat luar biasa, seks yang membuatku lari dari kenyataan hidupku.”
“Omong kosong, Alena. Kau menganggapnya hanya seks?” Suara Rudolf meninggi.
“Iya,” sambar Alena cepat lalu menelan ludah sebelum menarik napas sedalam dan sebanyak yang dirinya butuhkan. “Aku hanya butuh pelampiasan, Felix. Melarikan diriku dari masalah yang sesungguhnya,” imbuh Alena dengan suara lugas. Tatapan mata coklat Rudolf kian menusuk, dan Alena tahu akan hal itu. Tatapan yang belum pernah Alena lihat. Rudolf tidak pernah semarah itu.
“Maaf kan aku, Felix. Semua sudah berakhir.”
Alena berjalan melewati Rudolf yang mematung dengan amarah, membiarkan pintu menutup dengan keras di belakang langkah Alena.
***