Dasinya berwarna perak dan kemejanya berwarna putih cemerlang, tapi tak ada warna lain yang dapat mempertegas warna mata coklat yang menakjubkan. Ia berdiri di sana dengan jas terbuka dan tangannya dijejalkan dengan santai di saku celana panjangnya. Ia berdiri di depan lift pribadinya yang tak lama terbuka dan ia melangkah masuk.
Lantai dua puluh lima dan kehadirannya disambut oleh sang resepsionis dengan anggukan dan mata memuja. Ia melangkah kian ke dalam dan seorang wanita tambun di balik meja berdiri dengan terkejut dan menyambut kehadirannya. “Selamat datang kembali, Mr. Felix.”
“Selamat pagi Susan, bagaimana kabarmu?” tanya Rudolf sepintas lalu.
“Kabarku baik, Sir.”
Rudolf berjalan menghampiri meja kerjanya dan ia menghempaskan tubuh kekarnya di sana. Tumpukan dokumen telah menantinya. “Maaf Sir, saya ingin mengingatkan jika siang ini Anda memiliki pertemuan dengan Patrick Griffith.”
Rudolf memutar kursi kerja berodanya untuk menatap Susan yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. “Ya, aku ingat Susan. Terima kasih kau telah mengingatkanku.”
“Tentu, dengan senang hati.”
Keduanya saling melepaskan senyuman sebelum Susan, wanita setengah baya dengan tubuh tambun keluar meninggalkannya.
Moray Worldwide, menjadi satu dari sekian anak perusahaan yang sedang menjadi target akuisisi bagi Rudolf. Perusahaan di bidang periklanan yang berada dalam satu gedung dengannya. Ia harus membaca dan meneliti semua dokumen yang masuk padanya. Visi, misi, keuangan, proyek hingga urusan karyawan. Yang menarik bagi Rudolf adalah keputusan Patrick sahabatnya untuk menggunakan jasa seorang asisten yang sebelumnya selalu ia tolak.
Rudolf mengulurkan tangannya untuk menekan nomor extention Susan dan pada dering pertama langsung terdengar suara dari seberang pesawat teleponnya.
“Yes, Sir. Ada yang bisa saya bantu?”
Suara Susan yang terdengar sigap dan lugas.
“Kau bisa bawakan data diri karyawan baru dari Moray Worldwide?”
“Untuk divisi apa, Sir? Atau Anda---”
“Semuanya. Aku membutuhkannya segera Susan.”
“Tentu, Sir.”
Jawaban singkat dan percakapan berakhir.
Sisa hari yang terlewati tanpa terasa bagi Alena. Ia menghabiskan waktu dengan mempelajari semua dokumen yang diberikan bos barunya. Patrick bertemu dengan dua orang klien dan mengadakan rapat panjang dengan tim kreatif yang bertugas mengerjakan gagasan-gagasan konsep untuk beberapa proyek dan pertemuan pada siang hari yang tiba-tiba dibatalkan berganti dengan makan siang panjang yang membawa Patrick kembali pada pukul dua siang.
“Kau baik-baik saja?” tanya Alena saat mendapati Patrick yang berjalan melintasinya dengan ekspresi wajah yang tidak dapat ia baca. Tampak berbeda dengan beberapa jam sebelumnya.
“Ya, aku akan ada di dalam ruanganku di sepanjang sore ini. Jika kau butuh sesuatu, aku ada di ruanganku.”
“Aku, maafkan aku, Patrick,” ucap Alena dengan suara yang terdengar ragu.
“Ada apa?” tanya Patrick curiga.
Keduanya saling bertatapan sebelum Alena menelan ludah dan mengatakan niatnya hari ini untuk pulang tepat waktu di hari pertamanya bekerja. “Apakah aku bisa pulang tepat pukul lima hari ini?” Suara Alena terdengar pelan meski ia mengatakannya dengan lugas dan tanpa basa-basi.
“Ya, silahkan. Tidak masalah bagiku. Aku yakin tak ada pekerjaan yang tertunda.”
“Ya tentu. Aku akan menyelesaikan semuanya sebelum aku pulang.”
“Bagus. Aku percaya padamu.”
Gaun pengantin itu tergeletak di dalam sebuah kotak yang diletakkan di pintu apartemen tempat keduanya tinggal. Hari yang seharusnya menjadi titik balik kebahagiaan baginya, namun berubah menjadi titik balik ke arah yang berlawanan. Ia menghilang tanpa jejak, hanya menyisakan gaun yang terkoyak pada beberapa bagian. Sepatu putih dengan jejak bercak darah yang tertinggal. Pecahan benda pecah belah yang menggambarkan mimpi buruk. Seisi gedung apartemen tak ada yang melihat, tak seorang pun menyaksikan dan sialnya CCTV di lorong tempat mereka tinggal sedang dalam perbaikan selama dua minggu belakangan.
“Dimana kau, Alena?” desisan Rudolf sambil menggenggam gaun pengantin di tangannya. Meninggalkan aroma parfume dan keringat yang sangat ia kenal dan ingat. Aroma yang terpatri dalam kepalanya. “Kita akan menemukannya, Rudolf.” Suara milik Olivier dari arah belakang, ia meraih bahu kekar Rudolf. “Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya, Dad.”
“Aku mengerti, Nak.”
“Aku rela menyingkirkan siapapun yang berani menyakitinya dan merebutnya dariku.”
Suara dering ponselnya menyentakkan Rudolf kembali pada alam sadarnya. Nama Kate muncul pada layar ponsel yang berubah terang.
“Mom,” ucap Rudolf pada dering pertama.
“Rudolf, bagaimana kabarmu, Nak?”
Suara milik Kate yang terdengar lembut seperti biasanya. Rudolf memperbaiki posisi duduk. Sudah banyak hari yang terlewati tanpa kehadiran Kate dalam hidup Rudolf. Ibu sambung yang ia rasakan bagai ibu yang melahirkannya. Kate yang terlampau baik sebagai ibu bagi Rudolf.
“Aku baik-baik saja. Mom sehat, kan?”
Pertanyaan yang terdengar sederhana namun bermakna bagi keduanya.
“Ya, aku sehat. Aku mengkhawatirkanmu, karena… sejak kau---”
“Maafkan aku, Mom,” potong Rudolf cepat, ia memijat pelipis di atas alisnya, menyingkirkan pening di kepalanya. “…aku tidak memberikan kabar dan membuatmu cemas.”
Terdengar hembusan napas yang terasa melegakan. “Aku mengkhawatirkanmu, karena kau berada di London dan---” Kate menghentikan kalimatnya, jeda beberapa detik, “Kau menempati penthouse-mu?”
“Ya, penthouse itu, Mom.”
Pandangan mata coklat Rudolf jatuh pada jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul lima sore. Membayangkan sosok masa lalu itu berada dalam satu gedung dengannya.
Dokumen yang didapatnya, curriculum vitae milik Alena Harris dengan status istri dari seorang pria bernama Sergei Martinez yang berprofesi sebagai kepala kepolisian distrik kota Liverpool terpampang di hadapannya. Rudolf tenggelam dalam dunia di kepalanya. Dadanya bergemuruh, ada amarah dan sakit yang menghujam, hingga ia meninggalkan Kate di ujung telepon dalam keheningan.
“Sepertinya kau sedang sibuk, Nak. Aku tak akan mengganggumu. Jaga dirimu baik-baik.”
“Iya, Mom. Aku berharap yang sama. Maaf kan aku.”
“Tidak apa-apa. I love you, Nak.”
“I love you, Mom.”
Alena melangkah meninggalkan lobi gedung yang menjulang di tengah kota London. Diantara gedung-gedung pencakar langit lainnya. Ia melangkah dengan cepat dan meninggalkan gedung, melewati pintu dorong kaca dan menyusuri trotoar yang panjang menuju stasiun bawah tanah. Ia harus segera beranjak ke rumah sakit tempat Sergei Martinez di rawat. Alena merasakan kepala dan perasaannya bercampur aduk, dipenuhi dengan berbagai hal. Mengingat Sergei, membuatnya teringat akan masa lalu yang kelam itu. Sergei lah yang telah menolong, dan menemukannya dalam keadaan telanjang dan terluka usai kebrutalan itu.
Langkah gontai Alena nyaris membuat langkah kakinya oleng, dan terjatuh jika saja ia tak berpegang pada besi aluminium yang terpasang pada dinding tangga menuruni stasiun bawah tanah.
Deru mesin mendesir lembut memecah keheningan malam yang mengarah pada pukul tujuh. Langkah kaki yang telah membawanya pada ruang rawat inap, terdiam menatap ruang yang tertutup, ragu yang bergelayut sebelum keputusannya untuk masuk dalam ruangan.
Sergei Martinez di antara selang-selang yang terpasang. Ia masih belum sadarkan diri dalam tidur panjangnya. Hari ini telah memasuki tahun kedua dan waktu yang teramat panjang.
“Kau sudah datang, Alena?”
Suara seorang perawat setengah baya yang muncul dari balik pintu. Alena menghela napas panjang sebelum ia berputar di atas tumit sepatunya untuk menatap perawat itu.
“Iya, aku datang, maaf kan aku jika…”
Wanita perawat itu tersenyum tipis, berjalan mendekat ke arah Alena yang berdiri di tepian ranjang sambil menggenggam tangan Sergei. Keduanya berdiri berhadapan dan tampak lelah. Kepucatan tampak jelas di wajah Alena.
“Tidak apa-apa. Bagaimana kabarmu, Alena?”
“Aku baik-baik saja, Nena,” sahut Alena dengan suara pelan. Nena meraih bahu Alena, ia menyapukan kening Alena, menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh. “Kau tidak membalas pesanku. Dr. Smith saat ini sedang ada tindakan, jika kau tidak keberatan untuk menunggunya.”
Alena tak langsung menjawab, sekali lagi ia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan berat sebelum menyahut, “Aku akan menunggunya.”
Tatapan mata Alena tampak sayu meski ia mencoba untuk tersenyum yang dipaksakan.
“Sebaiknya kita berbicara di luar,” ajak Nena.
Alena menoleh, menatap Sergei dari balik bahunya. Mesin dan selang-selang yang terpasang di sekitar ranjang rumah sakit tempat Sergei terbaring, menderu pelan, sayup di antara keheningan kamar.
“Ayo,” ajak Nena sekali lagi dan Alena langsung beranjak meninggalkan kamar perawatan. Ia melangkah mendahului Nena. Lorong rumah sakit yang sepi dan hanya ada mereka berdua. Alena mengambil tempat di antara banyak kursi yang tersedia dan Nena duduk disebelahnya.
Alena mengosok-gosokan telapak tangan pada kedua pahanya yang berbalut rok pendek. Mengusap-usap di sana, menyingkirkan kegelisahan yang merambati dirinya. Telapak tangannya terasa lembap, dan basah.
“Apa kau sudah pindah ke London?”
Pertanyaan yang membuat Alena mengangkat wajahnya untuk menatap Nena. Wanita paruh baya itu menanti jawaban Alena.
“Ya, baru beberapa minggu. Karena itu juga, aku---”
“Ya aku mengerti.”
“Kira-kira apa yang akan disampaikan oleh Dr. Smith, Nena?” tanya Alena spontan, matanya memicing, menatap Nena dengan rasa penasaran. Nena menggeser duduknya, mendekat ke arah Alena dan menjulurkan tangannya untuk diletakkan di atas telapak tangan Alena. Tangan Alena terasa dingin.
“Apakah kondisi Sergei tidak baik?”
Alena tak dapat menahan rasa penasaran yang bergemuruh di dalam benaknya. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, pikirannya kian meletup-letup. Berbagai bayangan seakan melintasi kepalanya dengan cepat. Alena tak ingin membayangkan hal buruk yang bisa saja terjadi dengan Sergei.
“Alena, aku tidak dapat mengatakannya saat ini. Hanya Dr. Smith yang dapat menyampaikannya.”
Alena merasakan napasnya tersekat, ia merasakan sulit bernapas.
“Aku… Apa yang bisa aku lakukan? Aku… aku ingin---”
“Alena.” Suara milik Dr. Smith dari arah ujung lorong, Alena menoleh untuk mencari asal suara. Matanya mendapati sosok sang dokter yang berjalan mendekat dalam balutan jas serba putihnya dan berkalung stetoskop pada lehernya. Langkahnya cepat dan Alena beranjak dari duduknya dengan gusar.
“Maaf jika---”
“Tidak apa-apa,” sela Alena dengan wajah cemas.
Ia mencoba untuk membaca dan menebak wajah Dr. Smith yang tampak tenang dan keningnya basah oleh peluh. Napasnya masih naik turun. “Apa yang terjadi dengan Sergei? Apakah dia…” Alena menggantungkan kalimatnya, ia membiarkannya, menatap Dr. Smith dan Nena bergantian disaat mereka saling melirik di hadapan Alena.
Terdengar Dr. Smith yang menarik napas dengan begitu dalam, menghembuskannya dengan pelan, mengumpulkan semua keberaniannya untuk menyampaikan kondisi Sergei, dan jantung Alena bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Kecemasan yang kembali mengusik, merambat pelan menyusuri nadinya.
“Alena, kami sudah melakukan yang terbaik untuk Sergei. Dan seperti yang kau lihat…” jeda sebentar, Dr. Smith menelan ludah, ia menarik napas, mengumpulkan sisa keberaniannya. “…kondisinya tidak berubah sepanjang dua tahun ini.”
“Lantas…” sambar Alena.
Kecemasan yang kian nyata pada suara Alena. Wajahnya mulai memucat. Ia menatap Nena sekilas sebelum tertuju pada Dr. Smith sepenuhnya.
“Tak ada yang dapat kami lakukan, Alena.” Terdengar menyentak. “Tidak,” sela Alena cepat. Ia menggeleng pelan penuh ketidakpercayaan. “Kalian tidak boleh berhenti sampai di sini,” ujar Alena frustasi. Matanya berkaca-kaca.
“Tak ada yang dapat kami lakukan, Alena.”
“Kau Dokter yang hebat. Aku yakin---”
“Kami akan melepaskan semua alat.”
Langit seakan runtuh tepat di atas kepala Alena saat itu juga. Ia membelesak dalam, ia merasa sulit bernapas. Hening berkepanjangan.
“Maaf kan kami, Alena,” ucap Dr. Smith penuh sesal.
Ia menatap Alena dengan tatapan tak berdaya. Pelupuk mata Alena telah dipenuhi air mata yang siap tumpah. Rahangnya mengatup rapat, menahan tangis yang coba Alena hindari.
“Sebaiknya kau juga berdiskusi dengan keluarga Sergei untuk hal ini. Pikirkan baik-baik.”
“Aku tidak butuh persetujuan mereka, karena aku yakin, keluarga Sergei tidak mengharapkan ini. Biarkan…” Alena berhenti bicara, air matanya telah jatuh, ia menghela napas sepanjang yang ia bisa dalam satu tarikan napas. “…Aku ingin semua alat itu tetap terpasang.”
“Tidak kah kau pikirkan jika itu hal yang sia-sia, Alena.”
“Tak ada yang sia-sia, Dok.” Timpal Alena cepat dengan intonasi suara yang lebih tinggi, terdegar menghentak dan tajam. Tatapan matanya lurus dan berbinar kesedihan. Alena yakin dengan apa yang dikatakannya. “Aku ingin suamiku tetap hidup.”
“Tapi dia---”
“Aku tidak peduli. Aku akan mengatakan hal yang sama dengan keluarga Sergei.”
Dr. Smith dan Nena saling menatap satu sama lain sebelum pandangan mata keduanya kembali pada Alena. Suasana lorong rumah sakit yang berubah menegangkan. Alena mencoba untuk mengatur napasnya, menyingkirkan basah di pipinya, begitu juga dengan Dr. Smith dan Nena, mereka mencoba untuk mengendalikan situasi.
“Alena, kami mengerti, tapi sebaiknya---”
“Tidak Nena. Aku ingin alat-alat itu tetap terpasang,” ungkap Alena tegas.
Alena menghembuskan napas dengan kasar dan pandangannya tertuju pada Nena yang terlihat cemas. Nena kembali menelan ludah. Ada rasa takut tergurat dari wajahnya, tarikan kedua bibirya yang terlihat kaku.
“Ada hal lain yang harus kau tahu, Alena.” Suara Dr. Smith kembali terdengar, membuat Alena menoleh padanya. Ekspresi serius dan tak terbaca. “Pihak asuransi tidak lagi dapat melanjutkan klaim polis untuk kasus Sergei.”
Bagaikan petir yang menyambar dan meluluh lantakan, membinasakan Alena dan sekujur tubuhnya. Dunia seakan berubah menjadi kegelapan. “Aku harap kau memikirkan mengenai sumber biaya lain jika kau tetap dengan keputusanmu.”
“Kami sudah membicarakan hal ini pada keluarga Sergei,” ungkap Nena menimpali perkataan Dr. Smith. Alena terasa terjerembab kian dalam. Dadanya terasa kian sesak. “Pikirkan semuanya, Alena.” Suara Nena yang terasa penuh simpatik, ia menepuk bahu Alena pelan dan senyum tipis yang penuh sesal.
Alena tidak langsung menjawab. Ia merasakan butuh untuk duduk. Kedua kakinya terasa kehilangan daya untuk menopang tubuhnya. Ia menelan ludah sambil berjalan menghampiri kursi yang sebelumnya ia duduki. Pandangan matanya kosong. Alena tak mampu berpikir saat ini. Kepalanya terasa penuh dan ingin meledak.
“Alena, kau baik-baik saja?” tanya Nena, ia membungkuk di hadapan Alena, menyapukan tangannya pada kening Alena yang tampak berpeluh dan terasa dingin mengenai kulit tangan Nena. Aliran darah seakan menghilang dari wajah Alena, berganti dengan kepucatan yang nyata.
“Kau masih memiliki waktu sampai bulan depan untuk hal ini.”
“Apa yang akan terjadi jika aku setuju dengan Anda, Dok?” tanya Alena sambil mengangkat wajahnya untuk menatap Dr. Smith yang menjulang tak jauh dari tempatnya.
Pria berusia tujuh puluh tahun itu tampak ragu untuk mengatakannya. Namun ia tetap harus mengatakannya, Alena sedang menatapnya dan menunggu jawaban darinya.
“Maafkan kami, Alena. Kami tidak bisa menolongnya.”
Air mata itu tak dapat lagi Alena tahan. Butir-butir bening itu lompat melewati pelupuk matanya, jatuh bebas mengalir di sepanjang pipinya yang polos tanpa make-up. Alena benar-benar terhempas, dan ia masuk dalam lubang tanpa dasar. Dadanya terasa amat sesak, dan pandangan matanya terhalang oleh air mata, hanya menyisakan bayang-bayang dua sosok Dr. Smith dan Nena yang kembali berdiri tegak, menjulang di hadapannya. “Kami turut prihatin mengenai hal ini, Alena.”
Alena tak dapat lagi berpikir dan tangisnya pecah disusul dengan isak tangis yang tanpa henti.
***