FELIX - 5

1538 Kata
“Apakah kau benar-benar menginginkanku, Felix?” Suara milik Alena. “Lebih daripada tarikan napasku yang berikutnya, Baby.” Bibir Rudolf bergerak ke leher dan bagian atas bahu Alena, lidahnya yang hangat dan halus meluncur untuk menggoda di kulit Alena. “Aku begitu menginginkanmu. Aku ingin selalu bersamamu, Sayang,” bisik Rudolf, menghirup dalam aroma Alena, “Kau adalah candu… kau adalah obsesiku…” Rudolf menggerakkan giginya untuk mengigit kulit halus Alena dengan lembut, menyampaikan kebutuhan yang mendasar dari dalam dirinya dengan suara serak penuh gairah. Sementara ia mendesakkan jemarinya ke dalam tubuh Alena, membuatnya mencapai puncak berkali-kali karena rangsangan yang terus menerus. “Felix!” Alena terkesiap, ketika jemari Rudolf yang lembap mulai meninggalkan tubuhnya dan ia mendengar bunyi erotis dari bunyi ritsleting yang diturunkan. “Lepaskan dan berbaring, biarkan kakimu terbuka, Sayang.” Alena bergerak ke kursi dan berbaring di sana, dengan gemetar penuh antisipasi, mata Alena menatap mata Rudolf. “Jangan takut.” Alena merasa seakan pria pujaannya dapat membaca pikirannya. Rudolf menghampiri Alena, menempatkan tubuhnya di atas tubuh Alena dengan gerakan yang sangat hati-hati. “Aku sangat b*******h untuk merasakan takut, Felix.” Alena memeluk Rudolf dan menarik tubuhnya ke atas agar dapat merasakan tubuh kekar Rudolf. “Aku menginginkanmu, Sayang. Ingin berada di dalam dirimu.” Sambil menggerakan pinggulnya, Rudolf mulai mendesak masuk, napasnya mendesis ketika mereka menyatu. “Aku mencintaimu,” bisik Alena sambil mengamati wajah Rudolf sementara ia mulai bergerak. Alena merasa setiap jengkal kulitnya seakan terbakar, bagai sengatan dan dadanya dipenuhi kerinduan dan emosi sampai ia hampir tidak bisa untuk bernapas kembali, “Aku juga membutuhkanmu, Felix.” “Kau memilikiku, Baby,” bisik Rudolf. “Aku sepenuhnya milikmu, Alena sayang.”   Semua bayangan itu hadir dan hilang dalam sekejap saat dering alarm dari ponselnya terdengar menyentak. Menghancurkan semua yang Rudolf rasakan, membuatnya kembali tersadar sepenuhnya. Napas Rudolf terdengar cepat, naik-turun tak beraturan dan ia mencoba untuk menelan ludah dengan susah payah. Kerongkongannya terasa kering, tubuhnya terasa berkedut hebat. “Sial, hanya mimpi,” dengus Rudolf sebelum ia menyibakkan selimut dan beranjak dari ranjang untuk bergegas ke kamar mandi dengan tubuh telanjang. Bayang-bayang wajah Alena yang tak mampu ia singkirkan. Semua bagai film yang diputar ulang, dan sialnya Rudolf selalu menantikan mimpi-mimpinya bersama Alena yang hadir di setiap malamnya. Rudolf menyalakan kran di atas wastafel, meletakkan kedua telapak tangannya di bawah guyuran air dingin. Membasuhkan air itu ke wajah dan merasakan setiap tetes yang membasahi wajah tampannya. Rudolf menunduk, mengusap wajahnya lagi untuk beberapa kali sebelum ia menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Tampilan yang acak-acakan dengan rambut yang dibiarkan memanjang. Wajah lelah yang tak mampu ia singkirkan. Bayangan dokumen yang di dapatnya dari Susan mengenai asisten Patrick Griffith yang tak lain adalah Alena Harris telah mengusik waktu dalam kehidupan Rudolf sepanjang siang hingga detik ini. Bukan karena Alena yang menjadi asisten rekan bisnisnya, melainkan status pernikahan yang disandang Alena. Nama keluarga Martinez tertulis di belakang nama Alena. Dadanya terasa ingin meledak. Kenyataan yang terasa menusuk dan membuatnya ingin segera menemui Alena. Malam-malam yang dilaluinya bersama Alena, ribuan purnama yang mereka lalui bersama seakan kian menyakitkan dengan kenyataan Alena pergi untuk menikah dengan pria lain. Rasa khawatir yang Rudolf rasakan sepanjang tarikan napasnya, terasa menyakitkan dan menyiksa. Rasa bersalah yang bergelayut hebat seakan menjadi lucu dan memantik amarah. “Aku tak akan pernah melepaskanmu, Alena. Kau akan merasakan apa yang aku rasakan selama ini,” gumam Rudolf dengan rahang mengeras dan tatapan tajam pada dirinya sendiri di dalam cermin.     Beberapa tahun sebelumnya….   Sepanjang penerbangan hari itu, Alena melamun. Dia menempati kursi paling pinggir dekat jendela, dan ia menekankan keningnya pada permukaan kaca yang dingin. Alena tidak merespon ketika semua orang mencoba untuk berbicara dengannya, dan sesekali ia terdengar menangis. Tangisnya mengaliri pipinya dan menetes di atas tangannya. Dr. Parker meninggalkan mereka di bandara. Ia ingin bertemu dengan Alena keesokan paginya, mereka sepakat untuk memutuskan penambahan sesi bagi Alena menjadi dua kali dalam seminggu. Gangguan stres akut dan trauma adalah salah satu masalah dari banyak dampak yang akan dirasakan oleh korban pemerkosaan. Hal itu yang harus segera di selesaikan oleh Sergei, kedukaan adalah masalah yang berbeda untuk saat ini. “Ini sangat berat untuk dihadapi,” kata Sergei menatap Alena yang bergeming dengan sekelilingnya. “Aku memikirkan apa akibat baginya jika ia melakukan aborsi, apakah ini akan membuatnya kehilangan kewarasan?” Pertanyaan yang tajam. Sepanjang perjalanan pulang, Alena duduk di kursi belakang tanpa bicara. Hingga saat pertanyaan lapar untuknya, tidak ia respons. “Aku tidak bisa memastikannya saat ini, Sergei. Semua bergantung pada Alena. Apakah dia akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kekelaman atau dia akan berusaha untuk lepas.” “Dia selalu merintih kesakitan,” ucap Sergei, matanya memandang sedih Alena yang tubuhnya bergerak-gerak, tangannya tampak gemetar dan pandangan matanya yang kosong. Kulitnya yang putih kian tampak pucat dengan kesedihan yang terlukis jelas di wajahnya. “Hal yang pasti terjadi.” “Dia selalu memanggil nama, Felix, lalu… dia menangis.” Sergei membalas lirikan mata Dr. Parker  yang berdiri tepat di sampingnya. Ada banyak pertanyaan dan semuanya terasa berliku. “Apa yang dikatakannya?” Sergei terdiam, ia selalu mengamati setiap hal yang dilakukan Alena, yang diucapkannya bahkan setiap gerak-geriknya selama ia berada di dalam pengawasannya. “Dia selalu mengatakan maaf, ya… maafkan aku, Felix.” “Aku akan mencatatnya sebagai bahan konseling. Kau jaga dia dan pastikan dia baik-baik saja.”   Masa kini….tik tok tik tok   Gerakan tangan yang lemah, berulang dan terasa mengenai kulit kepala Alena yang tertidur dengan kepala tertunduk di tepian ranjang tempat Sergei tak sadarkan diri untuk dua tahun kebelakang. Jemari yang bergerak pelan, sekali, dua kali dan membuat Alena tersadar dan matanya menyalang, terbuka lebar dan bercampur rasa terkejut. “Sergei,” desis Alena, ia meraih telapak tangan Sergei yang terasa begitu dingin. Jari-jari itu bergerak, pelan bahkan nyaris tak tampak. “Nena!” pekik Alena spontan sambil beranjak dari kursi dan berlari, berhambur keluar ruangan. “Nena! Nena!” Alena memanggil dengan suara lantang, menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan sepi. “Di mana Nena?” tanya Alena dengan napas tak beraturan dan peluh membasahi keningnya. Seorang perawat lainnya berada di balik meja pelayanan pasien. “Dia sedang berjaga, apa ada yang---” “Suamiku, dia… dia… aku melihatnya---” “Alena.” Suara milik Nena yang membuat Alena langsung berputar dan berhadapan dengan perawat itu. “Nena,” desis Alena serak. “Ada apa?” tanya Nena bingung dengan mimik wajah Alena. Nena membiarkan Alena menelan ludah dan menarik napas. “Kau harus ikut aku.” Alena menarik tangan Nena dan mengajaknya kembali ke arah kamar dengan kebingungan namun Nena tak keberatan mengikuti langkah lebar Alena. “Apa yang terjadi, Alena?” “Dia…dia bergerak,” Alena menyahut. Nena melirik dengan curiga dari sudut matanya, “Apa maksudmu?” tanya Nena melepaskan genggaman tangan Alena dari pergelangan tangannya. Langkah keduanya berhenti di tengah lorong rumah sakit yang kosong. Hanya terdengar desir napas dari keduanya. “Kau harus melihatnya, Nena. Sergei telah menggerakkan tangannya. Maksudku jarinya.” “Tidak mungkin, Alena,” sergah Nena dengan lugas dan tegas. “Tapi…aku melihatnya, dia… dia menarik rambutku, Nena.” Suara Alena terdengar cepat dan seakan lupa untuk bernapas. Nena masih menatap Alena dengan lurus. Ia mencoba menilai keseriusan dari ucapan yang meluncur dari bibir Alena. Ia tampak yakin dengan semua yang dialaminya. Nena harus menyingkirkan masa lalu yang di derita Alena. “Aku tidak sedang berhalusinasi, Nena. Percayalah padaku,” kata Alena tajam dan ia mengerti dengan keraguan pada diri Nena. Jeda beberapa detik sebelum Nena beranjak dan berkata, “Aku akan melihatnya dan membuktikan ucapanmu, Alena.” Alena dengan wajah yakin mengangguk dan membiarkan Nena beranjak lebih dulu di depannya untuk kembali ke dalam kamar di mana Sergei berada dan belum sadarkan diri. Nena dengan gerakan cepat dan ia mampu memastikan apa yang dilihat dan Alena rasakan bagai bayangan semu di mata Nena. Tak ada pergerakan apapun pada jemari Sergei. Keduanya berhenti di dekat ranjang Sergei. “Bagaimana, Nena? Kau melihatnya, kan?” Suara Alena terdengar pelan, tubuhnya bergerak cemas dan ia memilin jari-jarinya. Nena memilih menunggu untuk dua menit awal dan akan memastikannya kembali usai ia mengatakan kebenarannya pada Alena, jika apa yang dilihatnya, tapi ia tidak melihatnya. “Alena. Aku mengerti apa yang kau alami dan rasakan usai penjelasan dari Dr. Smith padamu, tapi aku rasa----” “Kau tidak mempercayaiku?” tuding Alena untuk sikap ragu yang ditunjukan Nena padanya. “Tidak Alena, bukan seperti itu,” sergah Nena dengan kecemasan yang mulai merambat di tubuhnya. “Kalian memang tidak mempercayaiku. Dan… dan mungkin kalian juga mulai berpikir jika aku sudah gila.” “Tidak Alena. Kau jangan berpikir seperti itu. Sergei memang butuh perawatan, dan mungkin apa yang kau lakukan dapat membantunya, tapi tak ada salahnya jika---” “Sergei tidak akan mati. Dia tidak akan pernah pergi dari hidupku, Nena.” Alena mengungkapkannya dengan tegas, lugas dan juga tajam sebelum ia beranjak meninggalkan ruangan, menyambar tas tangannya dan meninggalkan Sergei berada dengan Nena. “Alena! Alena.” Suara panggilan Nena yang di biarkan menguap di tengah lorong kosong rumah sakit. Alena melangkah dengan langkah lebar, menghentikan sebuah taksi, menembus kegelapan malam yang merangkak.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN