Alena memutuskan dirinya untuk sibuk sepanjang hari keduanya bekerja bersama Patrick. Sepanjang pagi yang terasa berat dengan rasa kantuk yang disebabkan kurang tidur pada malam ia menunggu Sergei dalam ruang perawatan. Semua kenyataan yang terasa menyakitkan, menempatkan Alena pada situasi yang semuanya salah.
Dilema yang memberengut setengah harinya. Memutuskan untuk memesan makan siang online, meringkuk di bilik kerjanya dengan pikiran yang sesungguhnya tak berada bersamanya. Alena mencoba untuk membuat dirinya tetap waras, memikirkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Ia mengerti dan sadar sepenuhnya jika apa yang dikatakan Dr. Smith mengenai keadaan Sergei benar adanya. Tapi tidak lah mungkin dan betapa kejamnya pemikiran untuk melepaskan semua alat itu dari tubuh Sergei, hal itu sama saja membunuh Sergei secara sengaja.
Penyumbatan pada otak Sergei dan kelumpuhan pada beberapa sarafnya akibat tekanan hebat, membuatnya terlelap dalam tidur panjang. Meski organ tubuhnya merespon dengan semua keberadaan alat itu, namun rasanya waktu berjalan begitu lama.
“Aku akan menjagamu sepanjang sisa hidupku, Alena.”
“Aku wanita kotor, Sergei.”
“Aku akan tetap menikahimu, meski aku tahu kau tak mencintaiku. Biarkan aku menjadi ayah dari anak yang kau kandung.”
Bayi mungil yang tak mampu terselamatkan. Alena masih bisa merasakan hangat tubuhnya, dekapan jemarinya dengan kulit yang begitu halus, aroma tubuh yang bercampur dengan minyak telon dan bedak bayi. Bayi yang hanya bertahan beberapa jam usai kerusakan pada paru-parunya. Bayi yang tak pernah Alena harapkan.
“Alena.”
Suara milik Patrick yang menariknya lepas dari lamunan panjang. Alena mengerjap kaget, ia mengangkat wajahnya, menatap Patrick yang menjulang di hadapannya.
“Kau belum selesai makan?” Pertanyaan yang membuat Alena menatap ke atas mejanya, kotak makan siangnya masih berada di hadapan, makanan yang baru habis setengah.
“Aku…” Suara Alena terdengar gugup, ia menutup kotak makanan miliknya dan beranjak dari duduk untuk berhadapan dengan Patrick. “Kau butuh bantuanku?” tanya Alena mengalihkan pembicaraan. Ia menggeser pelan kotak makanannya.
“Aku ingin kau ikut bersamaku untuk pertemuan jam empat sore ini.”
Alena nyaris tersedak, napasnya tercekat. “Aku?” tanyanya ulang, seakan ia telah salah mendengar. Patrick tak tersinggung, ia mengangguk. “Kau yang telah membantuku kemarin untuk persiapan hari ini. Aku ingin kau ikut bersamaku.”
Keduanya bertatapan lurus, dan ada kenyakinan serta pengharapan di wajah Patrick selain rasa gugup yang Alena coba pahami. “Kita akan bertemu dengan seorang CEO besar, dan dia pemilik perusahaan ternama. Dia juga yang akan melakukan akuisisi perusahaan ini.”
“Maksudnya?”
Alena masih tak mengerti, ia mencoba untuk memahami dan menyingkirkan kebodohan dalam otaknya.
“Aku berharap Moray Worldwide benar-benar di akuisisi.”
“Tapi---”
“Itu lebih baik, Alena,” sambar Patrick dengan wajah yakin dan suara yang tegas. “Calon CEO kita berada di lantai dua puluh lima.” Patrick menambahkan, membuat Alena terpaku di tempatnya. “Aku ingin kau mengecek kembali semua dokumen sebelum kita bertemu dengannya jam empat.”
Alena masih bergeming di tempat, menatap Patrick yang tersenyum lebar.
“Aku berada di ruang kerjaku jika kau butuh aku.” Patrick beranjak dari tempatnya, berjalan lurus meninggalkan bilik kerja Alena, ia menghilang di dalam ruangan miliknya disusul dengan pintu yang menutup di belakang langkahnya.
Alena terduduk, ia menatap sisa makanan miliknya. Rasa lapar yang tak pernah hadir. Ia hanya tak ingin sakit. Alena kembali menatap layar laptop dan mencoba untuk mengerjakan semua persiapan yang diminta oleh Patrick.
“Kau akan langsung pulang malam ini, Alena?” Suara milik Delia yang terdengar cemas. Dalam tarikan napas yang berat, Alena menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya.
“Ya, aku butuh untuk tidur, Delia.”
Alena memijat pelipisnya, menyingkirkan rasa berat pada pelupuk matanya, meski ia merasa sia-sia. “Aku turut prihatin dengan keadaan Sergei.” Delia mengucapkan dalam ketulusan seorang sahabat. Alena menelan ludah, memandangi fotonya bersama Sergei.
“Aku tak ingin memikirkannya untuk saat ini, Delia. Aku hanya---”
“Bagaimana jika kau ikut denganku malam ini.”
“Tidak,” tolak Alena cepat, ia mendapati sosok Patrick yang baru saja melewati bilik kerjanya sambil menggenggam sebuah mug dan dari aromanya jelas aroma kopi yang menyegarkan.
“Kau harus ikut denganku, Alena. Kau butuh rileks, kita bisa memikirkan masalah Sergei setelahnya.”
“Entahlah. Aku masih ada satu pertemuan penting tiga puluh menit lagi.”
“Baiklah, aku akan menunggumu pulang. Semoga pertemuanmu berjalan lancar. Bye.”
Percakapan terputus sebelum Alena menjawab, layar ponselnya telah berubah gelap kembali. Ia meletakkannya lagi tepat bersisian dengan laptop. Alena merasakan dirinya sedikit gugup saat jam menunjukan pukul setengah empat. Ia tahu lalu lintas pasti sangat padat, tetapi Patrick tetap bekerja usai dirinya memberitahu jika waktu kian mendekat.
Jam menunjukkan pukul empat kurang lima belas ketika Patrick keluar dari dalam ruangannya dengan senyum lebar yang mengembang di wajahnya. “Sudah waktunya, Alena.”
Alena mengerjap menatap Patrick dari meja kerjanya, “Sungguh?”
“Kau sudah membantuku bekerja keras untuk mempersiapkan segalanya. Apakah kau tak ingin melihat bagaimana hasilnya?”
“Ya tentu aja.”
Alena beranjak dari kursinya, merapikan tampilannya. Alena sadar bahwa penampilannya akan sangat berpengaruh pada citra atasannya. Alena memperbaiki rok pensil yang ia kenakan hari ini, meluruskan manset blus sutra lengan panjang yang membalut tubuhnya. Entah mengapa, tanpa perencanaan, kemeja merah yang dikenakan Alena senada dengan warna dasi yang menggantung di kerah kemeja Patrick.
“Terima kasih.”
Keduanya keluar ke arah lift dan Alena agak terkejut ketika arah lift naik bukan turun. Alena baru teringat jika yang akan ia temui beberapa menit lagi adalah seorang CEO dan ruangannya berada sepuluh lantai di atas Moray Worldwide. Alena tampak gusar dan Patrick menyadari hal itu, ia melirik sambil tersenyum. Meski hal itu tak membuat kegugupan Alena berkurang.
Ketika keduanya tiba di lantai paling atas, ruang tunggu yang ada di hadapannya jauh lebih besar dan lebih mewah dari pada ruang tunggu di lantai lima belas tempatnya. Beberapa keranjang tanaman pakis dan bunga sedap malam yang diterangkai berhasil mengharumkan ruangan dan pintu masuk kaca buram terpampang tulisan FELIX CORPORATE dalam huruf yang tebal dan semua orang dapat membacanya.
Napas Alena tersedak dan sekujur tubuhnya kaku, merasakan aliran darahnya berhenti. Matanya menatap lurus pada tulisan di depannya.
“Alena,” panggil Patrick saat mendapati dirinya berjalan seorang diri mendekat ke arah meja penerima tamu. Mereka diizinkan masuk, lalu diminta untuk menunggu sebentar. “Kau baik-baik saja?” tanya Patrick berjalan kembali mendekat ke arah Alena yang masih berdiri di ambang pintu. Kening Patrick tampak berkerut mengamati perubahan wajah Alena yang pucat.
“Aku…” Alena merasa kesulitan untuk bernapas, ia menelan ludah dengan susah payah dan dadanya terasa sesak.
“Kau baik-baik saja? Ada apa denganmu?”
Suara Patrick tak mampu menyingkirkan bayangan sosok pria masa lalu. “Aku… Entahlah, tiba-tiba…” Alena mencoba untuk menarik sebanyak mungkin oksigen untuk memasuki rongga dadanya. Menghilangkan sesak yang menghimpit. “Tidak kah sebaiknya kau---”
“Tidak…tidak. Aku baik-baik saja, hanya…”
Lima menit yang tak terasa. “Mr. Felix telah menunggu kalian di ruangannya.” Nama yang tak asing itu jelas diucapkan oleh si wanita resepsionis. Mata indah Alena membulat, dan Patrick menyadari raut wajah Alena yang kian tegang. Keduanya beranjak, Patrick masih menatap Alena dengan mata menilai sementara si resepsionis mengulurkan tangan meraih gagang pintu. “Kau siap, Alena?”
Alena membalas dengan senyuman yang dipaksakan. “Siap.”
Pintu terbuka dan Alena masuk terlebih dahulu. Ia memastikan dirinya tersenyum dan bersikap seolah tak akan terjadi hal buruk. Alena mencoba untuk membuang semua isi pikirannya saat melangkah masuk, senyum yang membeku di wajahnya begitu mata indahnya melihat pria yang berdiri di hadapannya ketika ia masuk.
Langkahnya berhenti mendadak hingga menghalangi pintu dan Patrick menubruk punggungnya, membuat Alena terhuyung ke depan dan dengan gerakan sigap pria itu menangkap pinggangnya, menariknya berdiri dan langsung ke dadanya.
“Alena.”
Suara berat yang masih terdengar di setiap mimpi Alena saat ia merasakan kerindukan pada pria itu. Suara yang tak mampu ia singkirkan.
“Felix,” desis Alena saat ia berdiri menjulang di hadapannya.
Hanya Alena yang memanggilnya dengan nama itu. Aroma mint yang bercampur dengan aroma maskulin yang menguar dari dalam kulit Rudolf membuat jantung Alena berdetak lebih kencang. Dadanya terasa bergemuruh. Napas Alena tersekat, dan seluruh akal sehatnya buyar seketika. Serangkaian bayangan melintas secepat kilat dalam benak Alena. Tatapan mata Rudolf masih tetap sama. Alena merasakan pusing di kepalanya.
“Hi, Alena. Aku senang bertemu denganmu lagi….” Rudolf mendekatkan kepalanya ke telinga Alena dan melanjutkan ucapannya, “…Sayang.” Getaran suara Rudolf membuat sekujur tubuh Alena bergidik, ada perasaan mendamba yang tak pernah mampu ia singkirkan. Keduanya masih belum melepaskan tatapan matanya. Alena tak mampu mendorong Rudolf untuk menjauh, ia memancarkan tuntutan yang kuat.
“Mr. Felix,” kata Patrick dari arah belakang Alena. “Maaf tentang cara kami masuk dalam ruangan Anda.” Rudolf masih menatap Alena, begitu juga sebaliknya. Getaran yang tak ingin dilepaskan keduanya.
“Tidak perlu. Ini cara masuk yang paling mengesankan, Griffith.”
Rudolf mengatakannya tanpa menatap Patrick. Alena terhuyung di atas sepatu hak tingginya ketika Rudolf melepaskannya, lututnya terasa lemah tak bertenaga karena tubuh mereka saling berdekatan, hanya terpisah oleh pakaian yang mereka kenakan.
Rudolf mengenakan setelan hitam, kemeja dan dasinya berwarna abu-abu lembut. Seperti biasanya, Rudolf terlihat sangat tampan dan menggoda seperti apa yang selalu diingat Alena.
Patrick mengulurkan tangannya, menahan Alena dan mengembalikan keseimbangan Alena dengan lembut dan sopan. Tatapan mata Rudolf terpaku pada tangan Patrick di siku Alena sampai Rudolf mendapati Alena melepaskan tangan Patrick.
“Baiklah, kalau begitu.” Patrick mencoba untuk mengendalikan keadaan. “Perkenalkan ini asistenku, Alena Harris.”
“Kami pernah bertemu.”
Rudolf mengatakannya dengan tatapan dingin yang menghujam langsung ke mata Alena, menyesakkan dan membuat sekujur tubuh Alena gemetar. Patrick melirik Alena dari sudut matanya.
“Bukan kah begitu, Mrs. Harris.”
Kerongkongan Alena terasa kering dan sakit.
***