Ini hari pertama Elena bekerja di rumah makan, sangat ramai dan banyak sekali pengunjungnyaa hingga tidak terlihat ada meja yang kosong. Ketika ada yang selesai makan, langsung dibersihkan mejanya oleh para pelayan, sebab tidak lama dari itu sudah ada pengunjungg lain yang mengambil alih mejanya. Rumah makan ini buka mulai dari jam sembilan pagi, kemudian tutup jam sepuluh malam. Mereka memiliki dua shift kerja, pagi dan malam. Kalau shift pagi kerjanya dari jam sembilan sampai jam empat sore, sementara shift malam melanjutkan sisa waktunya hingga Rumah Makan Sanjaya itu tutup.
Karena ini hari pertama Elena bekerja, dia ikut shift pagi bersama dengan Shofia. Dia adalah gadis yang rajin, teman-temannya pun senang melihat bagaimana kinerjanya meski baru memulai di hari yang cerah ini. Elena sangat ringan tangan, dia bahkan tidak malas jika diminta tolong oleh teman yang lain untuk mengambilkan sesuatu. Nada bicaranya sangat lembut dan sopan pada yang lebih tua, memang hanya Elena yang paling muda di sana. Kendati begitu, para pekerja terdahulu tidak ada yang jahil, mereka semua tipe pekerjasama yang baik--entah sesama wanita atau dengan para pelayan prianya juga.
"Gimana kerjaan hari ini, melelahkan sekali kah?" tanya Shofia sambil terkekeh. Dia sudah sangat terbiasa bekerja seperti ini selama tiga tahun terakhir. Tidak lagi merasa lelah, terkesan menikmati dan seolah ini adalah kesenangannya untuk dilakukan terus menerus. Pekerjaan mereka sedikit lagi rampung dan ganti jam shift, biasanya Shofia begitu semangat ketika mendengar jam pulang.
Elena mengulas senyum begitu manis, menggeleng semangat. "Sangat seru. Lelah sih iya--sedikit, tapi di sini sangat ramai. Aku suka apalagi kakak-kakaknya saling tolong menolong banget. Aku yang awalnya kaku dan nggak bisa apa-apa, sedikit demi sedikit sudah mulai paham. Apalagi tadi pas aku disuruh antar makanan ke meja depan, deg-degan banget takut cara pembawaan diri aku salah. Syukurlah lancar."
Shofia menepuk pundak Elena. "Jika kena shift malam, harus lebih bersemangat lagi. Terlebih kalau sedang mendukung cuacanya, bahkan meja makan di tempat ini tidak berkecukupan. Tapi di sini enak banget, kalau lembur pas banyak pelanggann yang masih makan, kita dapat bonusnya juga. Lumayan bangetlah buat nambah uang jajan." Mengedipkan sebelah mata, kemudian terkikik geli. Kalau soal bonus, Shofia paling bersemangat. Lumayan untuk beli makan, katanya.
Elena tertawa. "Biasanya pergantian shiftnya seminggu sekali, Kak?"
"Iya. Kebetulan kamu kerja dari hari Rabu, jadi nanti senin udah mulai ikut shift malam. Nggak usah khawatir, kerja di sini nggak banyak tekanan. Bu Riska sama anaknya--Mas Arya--yang sering gantian jaga, nggak ada yang pemarah. Semua baik, santai, makanya semua pekerja betah. Sayangnya di sini nggak diperbolehkan sambil menikah. Jadi untuk pelayan yang menikah, terpaksa harus mengundurkan diri. Seingat aku selama aku kerja di sini, belum ada yang dipecat. Semua pelayan mengundurkan diri karena alasan menikah, atau sudah punya usaha pribadi gitu."
"Kelihatan sih emang begitu, Kak. Kemarin Bu Riska tanya-tanya sedikit aja sama aku, selebihnya sudah dikasih kepercayaan tanpa aku duga sebelumnya. Aku senang banget, nggak bakal ngecewain Bu Riska dengan pekerjaan aku."
Shofia mengacungkan jempol. "Bagus, harus! Bekerja keraslah, sampai banyak uang." Elena kembali tertawa mendengarnya. Itu benar, Elena harus banyak memiliki tabungan untuk kebutuhan hidupnya. Tidak ada Bunda Kartini, Elena harus hidup mandiri dan membuktikan jika dia bisa tumbuh dengan sangat baik di Kota orang.
Semua teman-teman bersorak senang, ini waktunya pergantian shift. "Pulang sekarang, Kak?"
"Iyalah, kecuali kamu mau lanjut bekerja sampai malam." Elena menggeleng kecil, mengikuti langkahan Shofia menuju loker mengambil tas dan jaket mereka. "Kamu malam ini masak sendiri atau beli makanan di luar, Elena?"
"Masak sendiri di rumah, Kak. Kebetulan ada mie dan sedikit sayuran dari Bu Ani. Nanti makan pakai nasi biar lebih kenyang." Memperbaiki ikatan rambutnya di cermin wastafel, mencuci tangan dan membasahi sedikit wajahnya. "Mau makan bareng, Kak? Nanti ke sebelah aja, biar aku ada temannya kalau makan."
Shofia mengangguk. "Boleh. Di rumah aku ada telur dan tempe, nanti dimasak sekalian aja. Nanti nasinya aku bawa dari rumah, kamu nggak usah masak--tadi pagi kebetulan aku sempat masak banyak." Kemudian keduanya bersiap keluar dari ruangan penyimpanan barang para pelayan, saling berpamitan pada teman-teman yang baru datang untuk bekerja shift malam. "Kamu kalau ada uang, disimpan baik-baik. Jangan dibelikan sembarangan yang nggak penting, soalnya kita gajiannya sebulan sekali. Kamu kalau nggak punya uang, jangan sungkan buat bilang ke aku ya. Nanti aku pinjamin, aku punya kok tabungan sedikit. Nggak pa-pa diganti nunggu kamu gajian."
Elena menoleh pada Shofia, mereka melangkah pelan menuju kontrakan. "Iya, Kak. Terima kasih banyak udah baik banget sama aku. Maaf kalau aku banyak ngerepotin Kakak ya." Dia memanggil Shofia dengan sebutan Kakak, sebab gadis itu lebih tua dua tahun dari Elena. Padahal Shofia tidak masalah juga jika mau dipanggil dengan sebutan nama, hanya saja Elena adalah anak yang begitu sopan. Tentu saja dia akan menolak.
"Sama sekali nggak ngerepotin. Aku malah pengen banget punya teman yang akrab begini, apalagi tinggalnya sebelahan. Jadi kalau kena shift siang, malamnya bisa main ke sebelah buat mengobrol. Lumayan mengusir rasa lelah habis kerja. Biasanya kalau anak-anak pada kumpul di rumah aku, kita bikin acara kecil-kecilan kayak bakar-bakaran jagung, tahu, atau tempe. Kayak malam tahun baru kemarin, seru banget. Bu Neneng nggak marah kok, dia ngerti acara anak muda. Cuman nggak boleh sampai lewat dari jam sebelas malam, katanya nggak baik kumpul terlalu lama hingga lupa waktu."
"Serunya. Kalau di desa, aku nggak punya teman. Ada sih anak-anak seusia aku, cuman mereka sibuk sekolah dan bantuin orangtuanya kerja. Di desa nggak ada waktu untuk melakukan keseruan kayak berteman-teman gitu, soalnya bagi mereka waktu itu mahal. Apalagi di desa semua serba kekurangan, kalau nggak kerja keras bakal bener-bener kelaparan."
Shofia menghela napas, mengerti sekali kehidupan Elena. "Kamu masuklah dulu, beberes dan bersih-bersih. Jangan lupa istirahat, nanti malam aku ke sini. Aku mau dengar lebih lanjut cerita kamu tentang di desa dan sekalian kita makan bareng."
Elena mengangguk. Segera masuk ke dalam kontrakannya, begitu pun dengan Shofia. Elena tidak langsung berbaring, dia lanjut menyapu teras dulu sebentar, kemudian duduk sambil mengeringkan sedikit keringat.
Setelah merasa badannya sudah tidak lengket, dia segera menutup dan mengunci pintu untuk mandi, lalu bersiap untuk berbaring sebentar menghilangkan sakit pada pinggangnya. Mungkin karena sebelumnya tidak pernah bekerja berat, Elena merasakan lelah itu. Tapi sungguh, dia menikmati sekali pekerjaannya. Lelahnya terbayar dengan mendapatkan teman-teman yang baik dan ramah.
****
"Berhenti di tempatmu, Steve!" Suara serak dan berat dari sang ayah menggelegar di ruang tengah, membuat Steve Baylor yang baru saja menginjakkan kaki di rumahnya berjengkit kaget. Dia memejamkan mata, memijat kening ketahuan lagi. "Bagus, mabuk lagi kamu pulang ke rumah ya!" Lampu ruangan menyala begitu saja, membuat Steve menutupi wajah silau. Dia terlalu banyak meminum alkohol malam ini, hingga untuk berjalan normal pun susah sekali.
"Besok saja, Papa!" Steve mengangkat tangannya, ingin kembali melangkahkan kaki namun segera ditarik oleh Tuan Baylor, disentak kasar tubuhnya hingga terjungkal ke sebuah sofa single. "Papa, besok saja. Percuma ngomong sekarang, kepalaku sakit sekali." Menghela napas kasar, mengusap-usap permukaan dadanyaa. Tubuh jangkung pria itu begitu berantakan, rambutnya pun sudah tidak tertata dengan rapi.
"Sudah berapa usiamu, huh? Kamu bisa gilaa kalau terus meminum alkohol!"
"Aku hanya ingin menikmati masa mudaku, Papa. Jangan terlalu kuno deh, ini jamannya aku yang penuh dengan anak muda gaul, bukan jaman Papa dulu yang terlalu datar dan monoton. Jangan samakan kehidupan kita, aku akan stress jika mengikuti semua keinginan Papa." Ingin kembali berdiri dari sofa, menolak Tuan Baylor memberikan nasihat sementara dirinya tidak bisa menerima apa pun. Otaknya sedang panas, alkohol sudah merenggut delapan puluh lima persen akal sehatnya.
"Usia sudah dua puluh tiga tahun, tapi masih saja kerjaannya mabuk, mabuk, dan mabuk. Kapan kamu berhenti mempermalukan Papa di antara keluarga kita, Steve?" teriaknya yang hanya dibalas lambaian tangan oleh Steve, anak itu berjalan tertatih-tatih bahkan beberapa kali tersandung benda mati. Dia menaiki tangga menuju lantai atas dengan susah payah, untung saja sudah mahir hingga tidak lagi terguling ke bawah. "Kamu lihat anak kamu itu kan, Sayang? Aku benar-benar pusing dan tidak tahu harus menegurnya seperti apa lagi. Enak sekali hidupnya dalam keluarga berkecukupan, tapi pikirannya selalu berlomba-lomba untuk kesenangan terus. Bagaimana jika aku sudah tiada, siapa yang akan melanjutkan usaha keluarga kita kalau bukan Steve? Anak laki satu-satunya di keluarga ini, tapi begitu mengecewakan!"
Nyonya Baylor memijat kepala, sangat pusing melihat kelakuan putranya juga. "Aku tidak tahu kenapa dia sebebas itu ketika sudah dewasa begini. Dulu waktu kecil begitu penurut dan baik hati. Selalu mendengarkan perkataan kita, hanya saja setelah beranjak dewasa mulai kelihatan liarnya. Bahkan di usianya dua puluh tiga tahun, dia belum menyelesaikan kuliahnya. Tidak tahu kapan, pihak kampus sudah bosan memperingatinya. Kalau tidak dari kesadarannya sendiri, susah membuatnya mengerti."
"Panggilkan dukun saja, disembur kepalanya mungkin sedikit dapat mengeluarkan setann jahat yang selama ini bersembunyi di dalam hatinya. Pening kepalaku, Sayang, benar-benar menguras emosi anak satu itu!"
Nyonya Baylor memukul lengan suaminya. "Kamu pikir anak kita jelmaan roh jahat mau kamu panggilkan dukun segala? Ini lama-lama yang stress bukan Steve saja, tapi kamu juga." Mencebikkan bibir, kemudian segera berlalu menuju kamarnya.
Tuan Baylor mengusap wajahnya kasar, menghela napas tidak tahu lagi bagaimana menasehati putranya yang teramat keras kepala. Dia sering kali berdebat dengan sang istri akibat Steve, tapi putra sematawayangnya itu masih saja membatu.
Di dalam kamar mandi, Steve tengah duduk di depan closed, memuntahkan berkali-kali isi perutnya. Setiap malam dia selalu pulang seperti ini, tidak ada rasa jera dan kapok untuk mengulanginya. Ketika sudah masuk club malam, dia selalu berhasil menegak minuman-minuman dewa satu itu. Membuat dirinya seolah melayang ke udara, kemudian berakhir secara sia-sia ketika bertemu pagi. Steve paham ini membuang-buang waktu, hanya saja otaknya masih tidak bisa bekerja secara normal. Dia ingin bersenang-senang, selalu saja begitu tanpa banyak memikirkan hal lain.
Hidung mancungnya mengeluarkan ingus, segera dia membasuh sekalian wajahnya di wastafel. Steve melihat tampilan dirinya di depan cermin, begitu berantakan dengan mata memerah seperti ibliss. Napas dihela tidak beraturan, pikiran pun sudah mulai tak sehat lagi. Dia sangat tampan, wajahnya hampir mendekati kata sempurna bak seorang dewa--hanya saja kelakuannya benar-benar sedang tidak tertolong. Tubuh putih dan atletis itu selalu mencuri perhatian para wanita pemujanya.
Siapa yang tidak bangga memiliki wajah tampan? Jawabannya Steve! Anak satu ini tidak pernah membanggakan ketampanannya, selalu tidak peduli dengan rupanya yang selalu membuat banyak wanita diluluh lantakkan.
"Kamu akan menjadi orang sukses, tapi nanti ... bukan sekarang!" Lalu Steve tertawa, geleng-geleng kepala mendengar gumamannya sendiri. "Tidak perlu mendengarkan orang lain berpendapat tentang diri kamu, mereka semua hanya melihat bagian luar dirimu, kemudian menghina secara terang-terangan." Menaikkan bahu, tersenyum miring penuh frustasi.
Orangtua Steve cukup mudah dibilangi, hanya saja para persepupuannya begitu mengesalkan. Mereka sering meremehkan kebodohan Steve, selalu membanggakan prestasi dan kedudukan masing-masing. Seolah Steve tidak pantas mendapatkan kejayaannya, dia muak dengan itu semua. Di keluarga Baylor emang hanya dirinya yang paling bodoh, pembangkang dan susah sekali diatur, tapi sekali Steve memiliki kemauan ... tidak ada siapa pun yang bisa menentangnya. Steve bisa sukses, hanya saja belum sekarang. Dia masih ingin bersenang-senang, giliran dia serius nanti sudah benar-benar yakin hanya menuju satu arah tersebut.
Dia membasahi rambutnya, kemudian menyugar ke atas. Lalu meninggalkan kamar mandi dirasa perutnya sudah tidak mual. Steve menjatuhkan tubuh secara kasar ke atas ranjang, berbaring secara tengkurap. Sebentar lagi dia akan tertidur pulas, esok pagi bangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Lihat saja, besok waktunya dia menerima puisi panjang lebar dari Mama dan Papanya. Memusingkan? Tentu saja, tapi Steve tetap mengulangi kesalahan yang sama.
Siapa yang pusing? Semua orang.
****