Angel mengangguk dan berkata, "Boleh kok, Ma."
Ia segera mengangkat tas kecilnya dari lantai, lalu membuka resletingnya perlahan. Tangannya mulai memeriksa isi tas dengan hati-hati.
"Mama juga minta kertas kosong dan pulpennya ya, Nak," ujar Mama Anna.
"Iya, Ma. Tunggu sebentar." Angel mengangguk dan menyusul menyerahkan satu lembar kertas lipat yang masih bersih, pulpen hitam yang sudah agak usang, serta amplop putih bekas pemberian pria itu.
Beberapa detik kemudian, suara pintu terbuka pelan.
Pak Hotaru muncul sembari memegang kantong kresek. Ia tampak sedikit kelelahan, namun tetap berusaha tersenyum.
"Kalian belum makan, kan? Aku membeli makanan untuk semuanya. Ayo, makan dulu," ucap Pak Hotaru, sembari mengangkat kresek itu ke atas.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," ujar Angel dengan hangat. Ia menerima kantong tersebut dan mulai membagi-bagikan isi di dalamnya. Semua mendapat bagian, termasuk Pak Hotaru sendiri. Namun, sebelum mereka sempat membukanya—
"Anak-anak..." Suara Mama Anna terdengar tegas. Ia memandang Angel dan Seizaki bergantian, lalu menatap Pak Hotaru sesaat.
"... Mama ingin bicara empat mata dulu dengan Pak Hotaru. Kalian makan di luar kamar saja, ya?"
"Baik, Mama. Ayo, Seizaki. Kita makan di ruang tunggu saja," ucap Angel pelan, mencoba mencairkan suasana. Ia meraih bungkus makanannya dan mengajak Seizaki keluar.
"Okay," ujar Seizaki, segera memahami.
Sebelum meninggalkan kamar, Angel sempat menoleh ke belakang—ke arah Mama Anna dan Pak Hotaru. Pintu kamar menutup pelan di belakang mereka.
Pak Hotaru menoleh, masih berdiri di dekat meja.
“Ada apa, Anna?” ucapnya dengan nada bingung, namun lembut.
Mama Anna menatap lurus ke depan. Sorot matanya tidak fokus, seakan sedang berdiri di ambang sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Pak Hotaru, Aku… ingin berhenti jadi pengasuh di Asahi House,” ucapnya datar.
Pak Hotaru sontak menegakkan tubuhnya, kaget bukan main.
“Apa?!” serunya. “Kenapa tiba-tiba?”
Mama Anna menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Ia menoleh, tapi pandangannya tidak bertemu mata dengan Pak Hotaru.
“Karena aku…” ujarnya ragu. “Karena aku hanya ... ingin berhenti saja.”
Hening.
Pak Hotaru menatap lekat wajah perempuan yang selama ini menghidupi panti itu dengan kasih dan keteguhan. Dan sekarang... tampak rapuh.
“Anna,” katanya serius. “Beritahu aku alasan sebenarnya. Jangan berbohong Padaku.”
Mama Anna menunduk. Jemarinya meremas ujung selimut yang menutupi tubuhnya. Sekuat mungkin ia menahan gemuruh di dadanya. Tapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya.
Hanya diam.
Pak Hotaru melangkah sedikit lebih dekat, suaranya pelan namun mengandung desakan.
"Tolonglah, Anna... jangan ada rahasia di Asahi House. Kalau memang ada sesuatu, bicarakan. Kita bisa hadapi bersama," ujarnya penuh harap.
Mama Anna mengangkat kepalanya perlahan. Matanya tajam, menusuk.
"Rahasia?" ulangnya pelan, nyaris seperti desisan. "Kalau bicara soal rahasia ... justru Pak Hotaru yang menyimpan sesuatu dari kami semua? Sesuatu yang ... besar?"
Pak Hotaru terlihat tersentak. Sekilas, ada kilatan gugup di wajahnya.
"Aku...? Aku menyembunyikan apa?" tanyanya dengan suara yang mencoba tetap tenang, namun canggungnya tak bisa disembunyikan.
Mama Anna mengeraskan nada suaranya sedikit.
"Aku yang harus bilang... atau Pak Hotaru yang mau menjelaskannya sendiri?" katanya dingin, menatap Pak Hotaru lurus-lurus—seperti cahaya senter yang menyorot tikus di sudut gelap.
Pak Hotaru terdiam sejenak. Napasnya tertahan. Tatapan Mama Anna menembus pertahanannya. Ia tahu—ia sudah ketahuan. Akhirnya, ia mendesah berat.
"Fiuuuuh... Dari ekspresimu, sepertinya kau memang sempat melihat sesuatu malam itu," ucapnya lirih.
Mama Anna tak menjawab. Tatapannya tetap menusuk, penuh kecurigaan.
"Baiklah," kata Pak Hotaru akhirnya, suaranya terdengar menyerah. "Sepertinya malam itu kau memang sempat masuk ke kamar mandi. Itu yang kau maksud, kan?"
Ia berhenti sejenak, lalu menatap ke lantai, tak sanggup menatap mata Mama Anna.
"Dan... teriakan histerismu malam itu. Kau berbohong pada anak-anak demi menjaga mental mereka. Terima kasih untuk tindakanmu itu."
Mama Anna memicingkan mata.
"Jadi... apa sebenarnya yang terjadi malam itu, Pak? Darah siapa yang kulihat? Itu bukan darah dari luka Bapak, bukan?" tanyanya, mulai naik suaranya.
Pak Hotaru mengangguk pelan.
"Benar. Itu bukan darahku. Darah yang kau lihat ... itu darah monyet," ucapnya datar.
Mama Anna mengerutkan kening. "Huh? Seriu—Eh? Monyet? … Darah monyet?!" ulangnya tak percaya, matanya membesar.
"Iya," ujar Pak Hotaru cepat. "Aku lupa menutup jendela kamarku. Seekor monyet dari hutan masuk. Tiba-tiba menyerang saat aku kembali ke kamar. Aku harus melawannya. Aku ambil cutter di meja, dan kupancing dia ke kamar mandi. Aku takut kalau suaranya bikin anak-anak panik."
Mama Anna terdiam. Matanya menatap kosong, mencoba mencerna kalimat demi kalimat itu.
"Jadi... yang kulihat di kamar mandi itu, itu jari milik monyet itu?" tanyanya pelan.
Pak Hotaru tampak terpaku sejenak. Ada jeda. Lalu ia menjawab, agak tergagap,
"Jari...? Ya! Itu juga jari... monyet."
Jawaban itu terlalu cepat. Terlalu terburu-buru. Mama Anna menangkapnya—dan tatapannya berubah. Penuh kecurigaan. Ia tak memberi jeda. Langsung melontarkan pertanyaan selanjutnya.
"Lalu ... ke mana Bapak saat malam kebakaran kemarin?" desaknya tajam.
Pak Hotaru tampak jelas gugupnya. Tapi ia mencoba tetap tenang.
"Aku ... pergi membuang mayat monyet itu ke gudang belakang. Kalau dibuang di tempat sampah depan, bisa dilihat anak-anak. Setelah itu aku melihat panti sudah terbakar."
Mama Anna mengangguk perlahan, meski wajahnya tak menunjukkan kepuasan. Ia sedang merangkai semua—benang merah di kepalanya terus berputar.
"Itu saja?" tanyanya dingin.
"Sudah tidak ada yang Bapak sembunyikan?"
Pak Hotaru menelan ludah. Ia berpikir keras, apakah ada lubang dalam ceritanya.
"Sudah," jawabnya mantap. Terlalu mantap.
Mama Anna diam. Lalu hanya berkata pelan,
"Baiklah."
Tapi sorot matanya jelas mengatakan: dia tidak percaya sepenuhnya.
(To be Continued...)