Siang hari yang begitu cerah ini Zahira melangkahkan kakinya ke sebuah Cafe bernama Cangkir House. Cafe dengan nuansa minimalis instagramable yang unik dan lucu dengan desainnya yang terdapat dekorasi pohon sakura di dalamnya memberikan kesan seperti di cafe ala Jepang.
Zahira duduk di kursi sambil memainkan ponselnya menunggu seseorang yang hampir satu jam lebih di cafe dekat kantor tempat Iren magang.
Sampai akhirnya Iren datang dengan tergopoh-gopoh berlari menghampiri.
Zahira terkekeh geli melihat sahabatnya.
"Bagaimana dengan magangmu?" tanya Zahira setelah Iren duduk di depannya.
"Kau tau mak lampir itu memberikanku setumpuk pekerjaan banyak yang harus diselesaikan hari ini!" jawab Iren dengan kesal.
"Sepertinya aku harus cepat-cepat menyelesaikan magang ku agar aku bisa keluar dari sana dan tidak disuruh-suruh mak lampir gila itu."
Zahira kembali terkekeh, mereka segera memesan makanan karena waktu Iren yang tidak banyak yang harus kembali ke tempat magang.
Zahira dan Iren adalah sahabat sejak lama dari SMA. Saking akrabnya mereka berdua sudah layaknya seperti saudara. Zahira dan Iren selalu ada satu sama lain. Jika Zahira ada masalah, Iren lah yang selalu memberi saran dan dukungan kepada Zahira, begitupun sebaliknya. Jika Zahira setelah lulus memilih bekerja beda halnya dengan Iren yang memilih berkuliah.
"Tumben sekali kau menemuiku. Ada hal yang mau diceritakan?" tanya Iren menebak.
Iren Sahara. Gadis cantik dan ceria dengan rambut sebahu, berkulit putih, bermata belo itu berkuliah di sebuah Universitas Negeri di Ibukota. Dan sekarang ia pun sedang magang di sebuah perusahaan yang bernama PT.Raveland Group.
"Tidak ada, aku hanya ingin menemuimu saja. Memangnya tidak boleh aku menemui sahabatku? Ahh, iyaa, aku lupa sahabatku ini ternyata sangat sibuk," sindir Zahira.
Zahira sebenarnya ingin bercerita tentang one night stand-nya dengan Rafael. Tapi melihat Iren yang terlihat kelelahan Zahira mengurungkan niatnya. Lagipula Zahira belum siap untuk menceritakannya ke Iren. Iren pasti akan sangat kecewa, Zahira akan menceritakannya nanti ketika waktunya sudah tepat.
Iren mendengus geli. "Kalau begitu aku saja yang cerita," celetuk Iren.
"Ada hal penting yang akan aku beritahu."
Gerakan tangan Zahira terhenti saat akan memasukkan spageti ke mulutnya.
"Ada apa?"
Iren menggebrak meja dengan gaya dramatis, korban kebanyakan nonton sinetron. "OMG Zahiraaa!! Kau harus tahu kalau ternyata CEO perusahaan magang ku itu masih muda, tampan lagi," ucap Iren heboh.
"Tapi sayang dah punya tunangan," ucapnya lesu.
Zahira menjitak kepala Iren. "Sialan! Aku kira hal penting apaan," ucap Zahira terkekeh geli.
Iren mengusap kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya.
Iren mencebikkan bibirnya. "Dihhh!"
"Jadi kau suka dengan atasanmu itu ya?" goda Zahira.
"Oh no! Kau tahu tunangannya itu cantik banget. Badannya tinggi, langsing dan ya, aku lupa. Dia itu model papan atas, aku nggak ada apa-apanya kalau di bandingkan dia," ucap Iren sambil memutar bola matanya malas.
"Pantas saja." Zahira tertawa renyah.
"Ya lord. Dia itu bukan CEO dingin kaya di novel-novel yang k****a. Dia itu ramah banget sama karyawan-karyawan disana. Apalagi kalau senyum duh bikin klepek-klepek. Betah deh kalau misal aku kerja di sana," ucap Iren terkagum-kagum.
"Tipemu banget tuh."
"Tapi sayang ada mak lampir. Mending mak lampir di pecat aja deh. Dasar itu kepala divisi bawel banget mana marah-marah mulu kerjaannya," cibir Iren sambil memonyongkan bibirnya.
"Kalaupun kau kerja di sana, mana mungkin beliau suka padamu!" ejek Zahira.
Iren spontan menepuk keras jidat Zahira. "Ck, sekate-kate banget tuh mulut nyablak!! Tapi memang ada benarnya juga sih," ucap Iren terbahak.
"Harusnya kau itu berterima kasih karena sudah diingatkan!" ucap Zahira yang kemudian ikut terbahak.
***
Zahira sedang duduk di kursi tunggu rumah sakit. Hampir empat jam lebih lamanya Zahira menunggu Aryo yang sedang di operasi.
Ketika pintu terbuka Zahira segera beranjak dari duduknya.
"Bagaimana keadaan kakek saya dok?" tanya Zahira.
"Operasinya berhasil, keadaannya juga sudah membaik hanya tinggal menunggu siuman saja," ucap dokter.
"Terima kasih dokter," ucap Zahira yang sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Bukan tangis kesedihan namun tangis karena terharu.
Kemudian dokter pergi meninggalkan Zahira. Kabar baik dari dokter membuat hati Zahira merasa lega. Zahira tidak sabar ingin segera melihat kakeknya siuman.
Zahira merasa senang, mendapat kabar bahwa sang kakek yang telah berhasil di operasi.
Zahira teringat akan malam itu. Malam ketika ia bercinta dengan Rafael. Haruskah ia berterima kasih dengannya? Atau menyesal karena telah mengambil keperawanannya?
Tapi mengingat kakeknya-Aryo yang telah mendapat donor jantung dan berhasil dioperasi membuat Zahira lega. Itu semua karena Zahira telah membayar semua biaya pengobatannya menggunakan cek yang Rafael berikan. Dan pihak rumah sakit pun bisa dengan cepat menanganinya. Tidak apa mungkin pikir Zahira yang penting kakeknya bisa sembuh. Jika kakeknya tiada ia tidak punya siapa-siapa lagi untuk berkeluh kesah.
Setidaknya dengan ini caranya Zahira berbalas budi karena kakeknya telah merawatnya sejak kecil. Walaupun Aryo pasti akan kecewa jika tahu Zahira mengorbankan dirinya.
"Rafael." Zahira menggumamkan nama itu. Entah kenapa ketika Zahira mengingatnya pipinya bersemu merah. Ketika mengingat Rafael hatinya selalu berdebar-debar. Tetapi Zahira selalu manampik rasa suka itu, mungkin ini hanya perasaan kagum saja.
Karena merasa lapar Zahira memutuskan untuk mencari makanan. Ia berjalan keluar dari rumah sakit karena sedang ingin makan pecel lele lamongan yang tempatnya berseberangan dengan rumah sakit. Ia melangkahkan kakinya keluar.
Jalanan sore hari ini cukup padat. Banyak kendaraan berlalu lalang karena tepat pada saat jam pulang kerja. Zahira berdiri dan sedikit menunggu untuk menyebrang.
Tanpa disadari ada seseorang dari dalam mobil yang melihat Zahira berdiri sendirian.
"Bukankah itu Zahira?" gumamnya.
Terlihat Zahira yang tiba-tiba menyeberang dan berhenti di tempat makanan.
Rafael tersenyum dari dalam mobil. Kemudian Rafael mengikuti Zahira. Ia segera memarkirkan mobilnya ke tempat Zahira berada.
Rafael pun segera turun dari mobil dan menghampiri Zahira.
"Zahira," panggil Rafael lembut.
Zahira yang baru saja duduk pun mendongak. Ia mengerjapkan matanya melihat lelaki tampan yang memanggil namanya.
Rafael yang melihatnya tertawa pelan. "Aku Rafael, apa kau lupa?" ucap Rafael tersenyum.
"Mmm, Rafael ngapain kau disini?" tanyanya gugup.
Rafael terkekeh kemudian tiba-tiba duduk di sebelah Zahira. "Mau makan."
"Ohh, iyaa." Zahira tersenyum kaku sambil mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
Kemudian Rafael segera memesan makanan yang sama dengan yang Zahira pesan.
"Aku tadi melihatmu di seberang sana. Memangnya kau dari mana?" tanya Rafael.
"Aku dari rumah sakit," jawab Zahira yang mencoba menetralisir jantungnya yang berdebar-debar.
"Kau sakit?"
"Bukan, tapi kakekku."
"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah membaik."
Zahira memalingkan wajahnya dari Rafael. Entah kenapa jantungnya berdebar-debar dekat dengan Rafael. Sejak kejadian malam itu Zahira tidak tahu dengan perasaannya sendiri.
Setelah makanan datang, mereka berdua segera makan. Rafael diam-diam mencuri pandang ke Zahira yang terlihat canggung. Zahira yang menyadari Rafael menatapnya hanya diam.
Zahira berusaha membuang jauh-jauh perasaannya jika ia tertarik dengan Rafael.
Rafael yang melihat Zahira merasa tidak nyaman mengurungkan niatnya untuk membahas kejadian malam itu.
***
Pagi ini Rafael memimpin meeting di kantor, tetapi pikiran Rafael tidak bisa fokus. Sekelebat bayangan percintaannya dengan Zahira memenuhi isi otaknya. Padahal kejadiannya juga sudah beberapa hari yang lalu.
Rafael berdehem. "Emran, kamu ambil alih meeting ini saya sedang tidak enak badan."
"Baik, Pak," ucap Emran selaku tangan kanan Rafael.
Rafael memasuki ruang kerja pribadinya kemudian duduk di kursi kebesarannya.
"Wanita itu," gumam Rafael sambil melamun.
Tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk.
Ketukan pintu itu pun membuyarkan lamunan Rafael.
"Masuk!"
Pintu terbuka menampilkan figur wanita berpenampilan rapi.
"Permisi Pak."
"Ada apa Luna?"
"Ada yang ingin bertemu dengan Bapak."
"Siapa?"
"Pak Kelvin."
"Suruh saja masuk."
"Baik, Pak, saya permisi," pamit Luna selaku-sekretaris pribadi Rafael.
Setelah kepergian Luna, Kelvin pun masuk ke ruang kerja pribadi Rafael.
Kelvin tertawa lepas sambil bertepuk tangan, Rafael mendesah kesal sambil memalingkan wajahnya. Suara Kelvin yang tertawa sungguh memekakkan telinga Rafael.
"Hai, dude, apa kabar?"
"Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan!" Suara Rafael terdengar dingin.
Kelvin terkekeh. "Bagaimana service wanita itu?"
"Jika tidak ada yang ingin dikatakan lebih baik keluar!"
"Kau mengusirku?"
"Sepertinya iya."
"Aku hanya ingin mengatakan jangan sekali-kali menantangku atau kau akan kalah taruhan dan berakhir melakukan one night stand lagi," goda Kelvin.
"Kau yang menantangku dulu, bukan aku!"
"Lebih baik kau lanjutkan pekerjaanmu atau perusahaanmu akan bangkrut!"
"Kau mengancamku?"
"Hanya saran," ucap Kelvin santai sambil berlalu meninggalkan Rafael.
Tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka kembali.
"Apalagi?" geram Rafael.
"Hai sayang!" sapanya.
"Ahh, Jelena, aku kira siapa." Rafael mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
"Memangnya siapa?"
"Aku kira Kelvin."
"Aku juga baru saja bertemu Kelvin di lobi tadi."
"Apa yang Kelvin katakan?"
"Tidak ada, dia hanya menyapaku."
Rafael mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jelena, ngapain kau kesini?" tanya Rafael.
"Ngapain aku kesini? Ya, jelas mau menemui tunanganku. Memangnya apa lagi?" Jelena tertawa kecil.
Ya. Wanita cantik bertubuh langsing itu bernama Jelena Karin. Tunangan Rafael, siapa yang tidak kenal Jelena? Seorang model papan atas yang saat ini sedang naik daun. Berparas cantik, cerdas, dan sukses di usianya yang baru menginjak 25 tahun menjadi kebahagiaan nya tersendiri. Banyak artikel yang memberitakan tentang dirinya karena kemampuannya dalam dunia modeling. Apalagi sekarang Jelena merupakan tunangan Rafael. Seorang pengusaha muda yang sukses di Indonesia. Tak heran beritanya mondar-mandir memenuhi internet.
"Bukan itu, maksudku apa kau tidak ada pemotretan?"
"Jadi kau tidak suka aku datang kesini?"
"Aku tidak bilang begitu."
Jelena terkekeh. "Hari ini aku tidak ada jadwal pemotretan sayang. Aku bawain kau makan siang, udang balado dan telur puyuh kesukaanmu."
"Hmm, yaa." Rafael mengangguk pelan.
"Sayang, kau kenapa?"
"Tidak apa-apa sayang."
"Sepertinya kau banyak pikiran."
"Tidak ada, aku baik-baik saja," elak Rafael.
"Selalu seperti itu," ucap Jelena sambil mencebikkan bibirnya.
Rafael tertawa renyah dan mengecup ujung bibir Jelena sekilas. "Hanya perasaanmu saja."
"Hmm, yaudah deh," ucap Jelena sembari membuka kotak makannya.