AFTER SCHOOL
BAB 7
Cindy tertegun, menatap rumah yang berdiri tegak di hadapannya. Rumah besar bercat putih, dengan pagar hitam tinggi menjulang mengitari semua bagian rumah itu. Rumah berlantai dua, yang terlihat seperti istana di mata Cindy. Di dalam pagar rumah itu, ditanami bunga – bunga mawar yang sedang mekar, serta beberapa pohon buah – buahan yang ditata dengan indah.
Ketika Deo membuka pagar rumah itu, terlihat wanita tua berlari tergopoh – gopoh menyambut kedatangan mereka. Wanita tua itu tersenyum lebar, menatap Cindy yang hanya sedikit memberikan senyuman.
“Mama mana, Bi?” Tanya Deo, setelah membawa motornya masuk ke dalam halaman rumah itu.
“Ada di dalam, Bapak juga ada.” Kata Bi Mar menutup pagar itu kembali.
“Tumben papa di rumah, biasanya juga belum pulang.”
“Nak, Deo,” Panggil Bi Mar, ketika Deo dan Cindy hendak masuk.
“Kenapa, Bi?”
“Ehm, sebenarnya sedang ada masalah antara Ibu dan Bapak, mereka tadi bertengkar cukup lama.”
Deo terdiam, menatap Cindy yang mulai terlihat tidak nyaman dengan ucapan Bi Mar itu.
“Oh, ya sudah kami masuk dulu, Bi.”
Deo meraih tangan Cindy, membawa gadis itu masuk ke dalam.
Waw...hanya itu yang diucapkan Cindy, ketika ia melangkah masuk, rumah ini benar – benar menakjubkan.
“Hanya bangunan, Cin. Rumah yang sebenarnya itu adalah rumahmu. Rumah yang penuh cinta dan kehangatan.” Deo tersenyum, membawa Cindy duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian datang Bi Mar dengan penganan serta minuman dingin di tangannya. Wanita tua itu tersenyum, menatap Cindy yang terlihat malu – malu.
“Non, temannya Mas Deo?” Tanya Bi Mar.
Cindy mengangguk, “Panggil saja Cindy, Bi.”
“Tumben Mas Deo bawa teman perempuan ke rumah, biasanya hanya teman laki – laki saja.” Ucapan Bi Mar terhenti, ketika Deo muncul dari dalam.
“Kenapa, Bi?”
“Oh ngak, Mas. Bibi masuk dulu mau siapkan makan malam.”
..........................................
Deo duduk di samping Cindy, gadis itu masih menatap ke seantero ruangan. Rumah yang luas, dengan perabot yang tertata apik dan bersih. Bahkan lantai di rumah ini berkilau ketika cahaya lampu terpantul di sana.
“Cin, papa mamaku ada di rumah, aku kenalin?”
Cindy mengangguk, kemudian berdiri mengikuti Deo. Mereka berjalan menuju ruang tengah. Ketika sampai di tempat itu, dilihatnya seorang wanita seusia ibunya, hanya saja ia terlihat lebih cantik dengan pakaian yang dipakainya. Wanita itu menatap Deo dan Cindy bergantian, yang kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Siapa itu, Deo?” Tanya wanita yang sudah lama menggunakan nama suaminya sebagai namanya sendiri. Sasmita.
“Ini Cindy, ma, teman sekolah Deo. Cindy, itu mamaku.” Deo tersenyum menatap Cindy yang terlihat canggung.
“Selamat malam, Tante,” Cindy menganggukkan kepalanya, mengulurkan tangan bermaksud memberi salam kepada wanita itu, namun Bu Sasmita hanya menatap Cindy dengan alis menyatu, memperhatikan gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Terlebih lagi, tatapannya berhenti pada sepatu Kets Cindy yang warnanya sudah tidak jelas lagi. Cindy mundur sedikit, berniat menyembunyikan sepatu itu dari hadapan mamanya Deo.
“Kenapa dibawa ke sini?” kata Bu Sasmita kasar.
Deo yang mendengar itu tak kalah terkejutnya dengan Cindy, gadis itu menatap Deo dengan raut wajah sedih.
“Mama...,”
“Oh, ada tamu?” Lelaki bertubuh tegap yang wajahnya mirip Deo itu muncul dari dalam, ia berjalan ke arah Cindy dengan senyum melengkung di bibirnya. “Siapa dia, Deo?”
“Cindy, Pa, teman sekolah Deo,” Kata Deo dengan datar.
“Oh, ayo duduk sebentar lagi kita makan malam,” Pak Sasmita duduk di sofa panjang, diikuti Deo dan Cindy. Cindy hanya menunduk, ketika Bu Sasmita terus saja menatapnya dengan pandangan tidak suka.
“Teman sekelas?” Tanya Pak Sasmita kepada Cindy.
“Bukan, Om, hanya teman satu sekolah.” Jawab cindy lirih.
“Oh...”
“Cindy ini selalu juara kelas, Pa. Dia gadis yang pintar, dia selalu mendapat beasiswa setiap tahunnya.” Kata Deo dengan senyum mengambang di bibirnya.
“Oh, beasiswa. Pantas saja bisa sekolah di sana, kalau ngak mana mungkin bisa masuk ke sekolah elite seperti itu,” Bu Sasmita tersenyum miring, jelas ia sedang merendahkan Cindy.
“Mau beasiswa atau tidak, yang penting dia gadis yang bertanggung jawab. Orangtuamu pasti bangga,” Pak Sasmita menatap istrinya, yang terlihat kesal dengan ucapan laki – laki di sampingnya itu.
“Betul, Pa, Cindy gadis yang sangat bertanggung jawab, ia rajin membantu ibunya jualan.” Ucap Deo menatap Cindy yang hanya diam tanpa kata.
“Wah, bagus itu. Apa usaha orangtuamu, Cin?”
Cindy mengangkat wajahnya, terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan itu, “Ehm, hanya jual makanan, makanan yang dititipkan ke warung – warung, juga warung dekat sekolah.”
“Oalah, anak pedagang kaki lima, toh!” Seru Bu Sasmita dengan nyaring, “Eh, Deo, kamu ini kok bisa berteman sama gadis miskin seperti itu, pakai dibawa pulang ke rumah segala. Kalian ngak pacaran, kan? Mama hanya setuju kamu pacaran dengan Celine, hanya dia gadis yang sepadan dengan keluarga kita!”
“Ma!” Pak Sasmita mengeraskan suaranya, “Cindy itu tamu kita, jangan bicara begitu.” Pak Sasmita menatap Cindy, “Cin, jangan dengarkan ucapan Tante. Tante sedang ada masalah, jadi bicaranya sedikit ngawur.”
“Pa, sepertinya Deo akan bawa Cindy makan di luar saja, tadi Deo sudah janji sama ibunya.” Deo berdiri, menarik tangan Cindy perlahan dan membawa gadis itu keluar.
“Deo!” Bu Sasmita berteriak, namun suaminya menghentikan wanita itu. Pak Sasmita cukup kesal dengan apa yang dilakukannya terhadap Cindy.
..................................
“Cin, aku punya restoran favorit, kamu pasti suka,” Kata Deo sambil menjalankan motornya.
“Aku pulang saja,” Cindy berkata lirih, dari suaranya terdengar jika gadis itu ingin menangis.
“Loh, kok pulang? Kamu kan belum makan?”
“Aku ngak lapar.”
“Cin, aku minta maaf atas nama mamaku, dia memang keterlaluan. Tapi mungkin karena dia sedang ada masalah, tadi kamu juga dengar kata Bi Mar, kan? Papa dan mamaku bertengkar sebelum kita datang?”
Cindy mengangguk. Diam.
“Aku ngak akan peduli, Cin. Aku ngak peduli apa kata mama aku, aku tetap sayang kamu, dan akan selalu begitu. Kamu percaya sama aku, kan?”
“Tapi, mamamu ngak suka aku, Deo. Aku miskin, aku ngak sepadan denganmu. Aku takut, kalau mamamu akan semakin benci sama aku.”
“Terserah dia, yang penting aku ngak benci kamu. Lagian hubunganku dengan mama juga ngak terlalu dekat, beda seperti kamu dan ibumu. Dia ngak punya hak untuk menentukan dengan siapa aku berteman, aku pacaran, bahkan menikah kelak. Jadi, jangan kamu pikirkan.”
Deo menghentikan motornya di sebuah restoran yang cukup megah. “Ayo, Cin,” Deo menggandeng tangan Cindy lembut, “Kita ke atas, kamu pasti suka.”
...............................................
“Nah, ini tempat makan favorit keluargaku, dari atas kita bisa melihat pemandangan kota yang begitu indah. Sini, ayo!”
Deo menarik kursi untuk Cindy, gadis itu duduk dan menatap kerlip lampu dari rumah – rumah penduduk serta lampu jalanan yang sudah menyala. Namun, hati gadis itu tidak bisa menikmati apa yang dilihatnya. Bagaimanapun juga, semua perkataan wanita itu begitu menyiksa batinnya, benar – benar menyakitkan. Ibunya, berjuang seorang diri demi hidup mereka, dan Cindy berusaha sekuat tenaga untuk beasiswa itu. tapi, ucapan wanita itu, seakan merendahkan semua usahanya. Kenapa? Karena ia miskin?
“Cin,” Suara Deo membuyarkan lamunannya. Dilihatnya seorang pelayan berdiri di dekat meja mereka.
“Ya?”
“Tadi aku tanya, kamu mau makan apa?” Deo menatap Cindy lekat, gadis itu kemudian mengambil buku menu, dan matanya membulat ketika melihat daftar harga yang tertera di sana. “A..aku, minum saja.”
“Loh, kok minum? Kamu suka steak? Gimana kalau pesan itu?” Deo menawarkan dan menunjuk menu di hadapan Cindy.
“Ta..tapi, ini mahal,” Ucap Cindy lirih, berharap pelayan restoran itu tidak mendengar ucapannya.
Deo tersenyum, kemudian memesan menu itu dan beberapa hidangan penutup lainnya.