AFTER SCHOOL
BAB 6
Deo melajukan motornya perlahan, ia menarik tangan Cindy, meletakkan tangan itu di pinggangnya, “Pegang yang erat, kalau sampai jatuh aku pasti terluka.”
“Kok kamu yang terluka?”
“Iya, karena aku dan kamu itu satu, kalau kamu terluka, aku juga terluka.” Cindy tersenyum mendengar ucapan Deo, gadis itu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deo.
“Ehm, kamu mau ngak ke rumahku?” tanya Deo.
“Ke rumahmu? Tapi...”
“Iya, kamu belum tahu, kan? Aku tinggal di mana?”
“Tapi aku ngak enak sama orangtuamu, aku belum pernah datang ke rumah teman laki – laki sekalipun, aku juga belum izin sama ibuku.” Ucap Cindy lirih.
“Tapi aku kan bukan teman laki – lakimu, aku kekasihmu. Tenang aja, biar aku yang minta izin. Nanti malam, aku jemput ya, aku ingin mengundangmu makan malam di rumah.”
“Ta..tapi.”
“Udah, tenang aja. Aku antar kamu pulang, nanti jam 7 malam aku jemput. Lagian ini kan malam minggu, masa iya kamu mau belajar terus.” Deo terkekeh, dan Cindy hanya tersenyum di belakang bocah laki – laki remaja itu.
...........................
Ketika Cindy turun dari motor itu, Bu Wicaksana telah menunggu di teras kecil rumahnya. Tidak biasanya Cindy pulang sore tanpa memberitahu lebih dahulu.
Deo meletakkan motornya, kemudian melangkah masuk dan memberi salam kepada wanita itu
“Dari mana, Cin? Tanya wanita itu, menatap wajah putrinya.
“Sekolah, Bu.” Jawab Cindy, yang kemudian masuk dan meletakkan tasnya di kursi ruang tamu.
“Tadi ada kelas tambahan, maaf membuat ibu khawatir.” Deo mengikuti wanita itu masuk, dan duduk di sana.
“Oh, begitu, ibu cemas karena Cindy selalu memberitahu jika ada kelas tambahan, tapi kok hari ini tidak,” sahut Bu Wicaksana, kemudian duduk di hadapan Deo.
Deo tersenyum kecil, meletakkan sekotak makanan di atas meja, “Tadi kami mampir beli martabak, kata Cindy ibu sangat suka martabak telur.”
“Lho, kok repot – repot, nak. Terimakasih, ya?” Ucap wanita itu dengan senyum di bibirnya.
Cindy keluar dari dapur, seperti biasa ia membawa segelas es teh di tangannya, dan meletakkan gelas itu di hadapan Deo.
“Sekalian saya mau minta izin, Bu,” Kata Deo ragu, ia sendiri tak yakin apakah wanita di hadapannya ini akan memberi izin untuk putrinya.
“Izin? Izin apa ya, nak?” Alis wanita itu menyatu, menatap Deo dan Cindy bergantian.
“Saya ingin mengajak Cindy makan malam di rumah,” Deo menatap Cindy, yang diam sejak tadi dan duduk di samping ibunya.
“Ke rumah Nak Deo?”
“Benar, Bu. Setelah makan malam saya langsung mengantar Cindy pulang.”
Wanita itu menatap putrinya, yang hanya tersenyum kecil membalas tatapan Bu Wicaksana, “Tapi, apakah orangtuamu mengizinkan? Ibu hanya takut jika mereka tidak menyukai anak ibu.”
“Ibu jangan cemas, mereka menerima semua teman – teman saya, kok.”
“Oh, baiklah kalau begitu.”
Deo menatap Cindy dengan senyum lebar, kemudian berdiri dari kursinya, “Kalau begitu, saya pamit, nanti jam 7 aku jemput, ya Cin?”
Cindy hanya mengangguk.
Gadis itu masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu, ia tahu ibunya masih menatapnya hingga pintu itu tertutup. Cindy duduk di depan cermin, menatap bayangan dirinya dengan mata membulat, ia benar – benar tak menduga jika hari ini, ia memiliki kekasih, di usianya yang ke tujuh belas. Terlebih lagi, orang yang menyukainya adalah anak laki – laki yang paling populer di sekolah. Cindy menyentuh pipinya, menyakinkan diri jika semua itu bukan mimpi. Ia masih merasakan bagaimana bibir Deo menyentuh bibirnya. Dan itu adalah pertama kalinya ia berciuman.
Cindy mengambil ponselnya ketika gawai itu bergetar, Dania yang mengirim pesan,
“Tadi pulang sekolah ke mana, Cin? Kok ngak bareng kita?”
“Maaf, tadi pergi sebentar dengan teman.”
“Teman? Teman yang mana?”
Cindy tidak membalas, entah mengapa ia mulai sedikit terusik dengan sahabatnya itu. ia tidak ingin Dania mencampuri semua urusannya, Dania tidak memiliki hak untuk harus selalu tahu soal dirinya dan hubungannya dengan Deo.
Gadis itu berdiri, membuka lemari baju, menatap baju – baju sederhana yang sudah mulai usang. Ia tidak ingat, kapan terakhir kali ibunya membeli pakaian untuknya. Mungkin tiga atau empat tahun yang lalu.
Ia menarik gaun yang tergantung di lemari itu, sepertinya hanya itu satu – satunya pakaian terbaik yang ia miliki. Dress selutut berwarna cokelat muda, yang beberapa renda di ujung gaunnya mulai sobek. Cindy membawa dress itu keluar, menghampiri ibunya yang sedang menghitung uang hasil berjualan hari ini.
“Kenapa, Cin?” ibunya menatap gaun yang dibawa putrinya itu.
“Mau minta tolong, ibu bisa jahitkan dress ini?” kata Cindy sambil menunjukkan dress itu. Wanita itu menghela napas, menatap dress usang yang dibawa putrinya.
“Kamu mau pakai ini?” Tanya Bu Wicaksana lembut.
Cindy mengangguk, “Cindy cuma punya ini, Bu.”
“Apa kita beli saja yang baru? Ibu punya sedikit tabungan, kamu juga sudah banyak membantu ibu jualan.”
“Ngak usah, Bu. Gaun ini masih bisa dipakai, cukup dijahit saja di bagian – bagian yang sobek.”
“Kamu yakin, nak?”
Cindy mengangguk. Ibunya mengambil gaun itu, dengan wajah sedih iapun mulai menjahitnya, membenahi bagian – bagian yang lepas dengan hati – hati. Namun jauh di dalam hati wanita itu, ia pasti akan membeli gaun lagi untuk putrinya. Apalagi perasaannya sebagai seorang ibu tahu, jika Deo mulai menyukai putrinya itu.
“Ini, sudah ibu jahit, coba dipakai.”
“Tunggu sebentar, Bu, Cindy coba dulu.”
Cindy masuk ke dalam kamarnya, setelah memakai dress itu, ia menatap dirinya di cermin sekali lagi, tubuhnya yang ramping membuatnya terlihat semakin cantik.
“Gimana, Cin?” Ibunya masuk, menatap putrinya yang tak terasa telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang sangat cantik itu.
“Muat sih, tapi terlihat lebih pendek.”
“Kamu benar, kamu bertambah tinggi sejak gaun itu dibeli, tapi masih bisa dipakai, kok. Putri ibu terlihat semakin cantik.” Bu Wicaksana tersenyum, “Apa Deo ingin kamu mengenal keluarganya? Sepertinya dia menyukaimu.”
Ucapan ibunya itu membuat Cindy terkejut, wajahnya merona merah dan tidak berani membalas tatapan mata ibunya.
“Kita hanya teman, kok, Bu.” Jawab Cindy ragu.
“Cindy, ibu ini orang tua dan ibu juga pernah muda. Ibu tahu apa yang sedang dirasakan seseorang kepada putri ibu, hanya dengan melihat bagaimana ia menatapmu. Ibu hanya minta satu hal padamu, jangan sampai salah bergaul, kamu masih muda, masih memiliki masa depan yang panjang.”
“Cindy akan ingat semua itu, Bu. Ibu jangan cemas, ya.” Cindy memeluk ibunya, dan wanita itu mengusap rambut anak gadisnya lembut.
“Kamu boleh cerita semuanya kepada ibu,” Bu Wicaksana mengecup kening Cindy, kemudian keluar dari kamar gadis itu.
Melihat anak gadisnya yang mulai tumbuh dewasa, sebagai seorang ibu, ia tetap memiliki kekuatiran, terlebih lagi ia yakin jika Deo berasal dari keluarga berada, ia hanya takut jika putrinya mengalami penolakan dari keluarga itu, sekalipun hanya sebatas teman.
Bu wicaksana memang berharap, suatu saat nanti Cindy akan mendapatkan lelaki yang baik, mapan juga bertanggung jawab. Namun ketika ia melihat keadaannya sendiri, tetap muncul rasa takut itu, rasa cemas yang mulai merambati batinnya.
“Bu,”
Wanita itu terkejut, ketika Cindy memanggil, dan sebagai anak yang peka terhadap reaksi ibunya, Cindy dapat mengerti apa yang sedang dipikirkan wanita itu.
“Ibu membuat kue, Cin. Gimana kalau nanti kamu bawa, anggap saja sebagai bentuk sopan santun dari keluarga kita.”
“Boleh, Bu. Nanti Cindy bawa.” Cindy tersenyum kecil, kemudian duduk di teras rumahnya, seperti biasa, ia membaca novel sambil menunggu waktu menunjuk pukul 7 malam.