AFTER SCHOOL
Bab 5
Cindy duduk di teras rumahnya, dengan sebuah novel terbuka di hadapannya. Ia menatap halaman buku itu, menelusuri setiap kata dengan seksama. Kehadiran seseorang di dalam hidupmu, bisa saja itu bukan sebuah kebetulan. Kalimat yang tertulis di dalam novel itu terus saja berputar di kepala Cindy. Mungkinkah kehadiran Deo, bukan suatu kebetulan?
Cindy mengambil ponselnya yang bergetar, dilihatnya nama itu muncul di layar ponsel, ini adalah kali pertama Deo mengirim pesan padanya, sebuah pesan selamat malam dengan emoticon hati di sisinya. Cindy tersenyum kecil membaca pesan itu, yang dibalasnya hanya dengan satu kata... terimakasih.
Pesan itupun berlanjut, Cindy meletakkan buku novel yang sejak tadi berada di pangkuannya, berganti dengan ponsel yang entah sejak kapan melarutkannya dalam sebuah permainan emosi.
“Cin,” Cindy menoleh ketika mendengar suara ibunya memanggil lirih.
“Kenapa, bu?”
“Ibu mau bicara sebentar,” Wanita itu kemudian duduk di sebelah putrinya, menghela napas sejenak. “Ibu sempat mendengar obrolanmu dengan Dania tadi sore, apa itu benar, Cin?”
“Yang mana, bu? Soal apakah Deo itu playboy?”
“Iya,” kata wanita itu, menatap putri semata wayangnya lembut.
Cindy tersenyum, meraih lengan ibunya dan bergayut manja di sana, “Selama ini, di sekolah Cindy memang melihat kalau Deo itu memiliki banyak teman. Laki – laki juga perempuan, Deo baik kepada mereka semua, termasuk kepada Cindy. Mungkin, ada beberapa teman perempuan yang salah mengartikan kebaikan Deo itu. Dan mungkin karena itu juga banyak yang mengira Deo seorang playboy. Tapi, Cindy ngak pernah lihat Deo pacaran selama ini. Bahkan mungkin, Cindy adalah teman perempuan yang pertama kali naik motornya.”
“Kamu yakin, Cin? Kok ibu merasa ucapan Dania itu ngak main – main?”
Cindy menghela napas, “Ibu tenang aja, Cindy Cuma berteman dengan Deo.”
“Ibu harap juga begitu, karena kita ngak tahu Deo itu berasal dari keluarga seperti apa, sedangkan kita hanya keluarga sederhana, ibu tidak ingin kamu terluka nantinya.” Bu Wicaksana mengusap rambut Cindy, perhatiannya kemudian beralih pada gawai di tangan gadis itu.
“Loh, kamu punya gawai, Cin?” Bu Wicaksana mengerutkan keningnya, heran.
“Oh, ini...Deo memberikannya,” Cindy yang tadi terlihat tenang tiba – tiba berubah gugup ketika ibunya bertanya soal gawai itu.”
“Kok bisa?” Kali ini nada suara wanita itu berubah, Bu Wicaksana yang selalu berbicara pelan dan lembut, kali ini mengeraskan suaranya. Membuat Cindy tahu akan perasaan ibunya kali ini.
“Deo bilang, supaya Cindy lebih mudah berkomunikasi dengan teman – teman juga dia. Hanya itu.” Wajah Cindy berubah, sedikit bingung dengan jawabannya sendiri.
“Baiklah, ibu hanya tidak ingin kau merahasiakan sesuatu dari ibu, kau tahu kan, ibu berharap banyak padamu.”
Cindy mengangguk, menatap punggung ibunya yang berlalu masuk ke dalam rumah. Perkataan ibunya itu membuat Cindy kehilangan rasa bahagia yang tadi sempat muncul karena pesan – pesan yang dikirim Deo. Entah mengapa, ia merasa jika ibunya tidak terlalu menyukai bocah lelaki itu. Atau mungkin itu hanya sebatas kekuatiran belaka?
.............................
Sudah enam bulan berlalu, semenjak kedekatan hubungan antara Cindy dan Deo. Sampai pada suatu hari, Deo memberanikan diri untuk menyatakan isi hatinya kepada Cindy. Baginya enam bulan sudah cukup untuk mengetahui perasaan gadis itu.
Di sore nan gerimis, ketika hampir semua siswa putih abu – abu itu sudah meninggalkan sekolah, Deo meminta Cindy untuk tetap tinggal. Dibawanya Gadis itu ke dalam gudang olahraga, gudang yang memang tidak dikunci sebelum kegiatan ekskul sore berakhir.
Cindy yang awalnya menolak, akhirnya setuju ketika Deo hanya ingin mengatakan sedikit hal padanya. Deo melangkah masuk, digenggamnya tangan gadis itu lembut. Pintu gudang itu berderit ketika Deo mendorongnya, dengan hati – hati ia menutup pintu itu kembali.
“Sebentar, aku nyalakan dulu lampunya,” Deo menyentuh saklar, dan menyalakan lampu itu.
“Tapi, kita kan bisa bicara di luar,” Cindy terlihat cemas, sejak Deo menutup pintu itu.
Deo berdiri di hadapan Cindy, menatap mata gadis itu lekat, “Aku Cuma mau mengatakan sesuatu, dan rasanya ngak nyaman kalau ada orang lain yang melihat kita.”
“Orang lain?”
Deo mengangguk, “Ini juga untuk kebaikanmu, aku ngak ingin melihatmu dibully lagi.”
Cindy mengerti, “Jadi, apa yang mau kau katakan?”
Deo beringsut, mendekati Cindy, menatap mata gadis itu lekat dengan wajah yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya, Deo meraih jemari tangan gadis itu, meremasnya lembut. Cindy tersentak dengan perlakuan itu, namun menarik tangannya secara tiba – tiba akan membuat Deo merasa aneh.
“Aku suka kamu, Cin, bahkan lebih. Aku jatuh cinta padamu.”
Cindy yang terkejut hanya bisa diam, ia bahkan tidak berani menatap mata Deo yang terus mengikuti bola matanya itu.
“Cindy,” suara Deo lirih, seakan menanti sebuah jawaban.
“A...aku...”
“Kamu juga suka padaku, kan? Aku bisa melihatnya setiap kali kamu membalas pesan chatku. Aku berjanji, ngak akan pernah main – main. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini, rasanya begitu ngak enak. Aku susah tidur, setiap kali mengingatmu. Jangan abaikan perasaanku, Cin.”
Kata – kata Deo itu membuat Cindy tak berkutik, hanya satu yang terlintas di dalam kepalanya, jika apa yang dikatakan Dania dan Gea beberapa waktu yang lalu adalah benar. Deo mengulurkan tangannya, mengusap pipi Cindy yang dingin, perlahan mengecup pipi itu lembut.
“De..Deo,” Cindy bergeming, tiba – tiba saja tubuhnya terasa gemetar, ia tak menyangka jika Deo akan menciumnya seperti ini.
“Kenapa? Kamu belum pernah, ya? Itu kan cuma di pipi.” Deo tersenyum kecil, mengusap rambut Cindy yang jatuh di keningnya, “Itu tanda kalau aku sayang kamu, jadi mulai hari ini kita jadian, kan?”
“Ja..jadian?” Suara Cindy terbata, masih menatap Deo dengan mata membulat. Cindy tak memungkiri, jika ia merasa bahagia ketika Deo mengatakan itu. Entah mengapa ia merasa menjadi gadis yang beruntung, dari sekian banyak gadis cantik di sekolah, Deo menyukainya bahkan memintanya menjadi kekasih, sesuatu yang tak pernah Cindy duga sebelumnya.
“Iya, kamu mau, kan?”
Cindy mengangguk, tersenyum kecil dan menjatuhkan pandangannya ke lantai. Oh, jadi begini rasanya? Jantungmu berdegup kencang, dan rasanya ingin melompat ke udara?
Deo menyentuh dagu Cindy, mengangkat wajah itu tepat di depan wajahnya. Deo menunduk, perlahan mengecup bibir Cindy yang terkatup rapat. Dan itu cukup membuat Deo tahu, jika tak seorangpun pernah menciumnya.
“Apakah aku first kiss-mu? Deo menatap pipi Cindy yang merona, gadis itu bahkan tak berani membalas tatapan mata Deo. Laki – laki remaja, yang kini menjadi kekasihnya itu.
Cindy diam, hanya mengangguk malu.
“Aku mengerti, bagiku kau sangat manis, Cin.” Deo membasahi bibirnya, sekali lagi mendekatkan wajahnya ke wajah Cindy yang semakin memerah.
“Aku sayang kamu, Cin.” Bibir Deo kembali menelusuri bibir gadis itu, sembari menciumnya ia berbisik lembut, “Buka sedikit, aku akan memberitahumu sensasi saat kita berciuman.”
“Apa?” Cindy menjauhkan tubuhnya ke belakang, tapi sial, gadis itu membentur dinding di belakangnya.
“Eh, aku ngak bermaksud untuk...”
Klotak...klotak....klotak....
Deo beringsut, menarik tubuh Cindy ke belakang pintu dengan cepat, “Ada yang datang, sepertinya anak – anak ekskul sore. Cindy yang tak kalah terkejutnya, memilih diam di belakang tubuh Deo yang cukup kekar itu.
......
“Ayo, Cin, mereka sudah pergi.” Deo menarik tangan Cindy lembut, membawa gadis itu keluar dari gudang olahraga. Cindy yang masih diam, hanya dapat menurut. Keduanya berjalan di sepanjang koridor sekolah menuju ke luar gerbang.
“Sini, Cin. Aku sengaja parkir di luar sekolah.”
“Ehm, aku pulang sendiri aja,” Kata Cindy ragu.
“Loh, kenapa? Kan ngak ada Dania juga Gea? Lagian kita udah resmi pacaran, kan? Biarin aku antar.”
Cindy menelan sativanya, “Tapi aku takut, kalau anak – anak tahu maka...”
“Sssttttt,” Deo meletakkan ujung jarinya di bibir Cindy, “Aku akan hati – hati, kita lewat jalan belakang,” Deo tersenyum nakal, sebelah matanya menngerjap.
“Jalan belakang?”
“Kamu ngak tahu? Backstreet. Kita pacaran di belakang mereka, kalau di depan mereka, ya kita bersikap seakan – akan hanya teman. Tidak boleh cemburu, karena cemburu bisa membuat mereka curiga, kamu ngerti, kan?”
Cindy mengangguk, lalu berjalan menuju motor Vixion biru yang terparkir di dekat warung, tempat Cindy biasa menitipkan dagangan ibunya.