FFY | S1 - Chapter 9

1113 Kata
“Kurang dari setahun,” ujar Bella dengan wajah sangat yakin. “Apa?! Selama itu?!” Poni mengeluh dengan wajah mendramatisir ucapan Bella. “Kau pasti bercanda, iya kan?” Saat ini mereka sedang istirahat. Duduk di kursi yang berada di taman sekolah dengan sebuah pohon rindang di sebelah mereka agar mereka tidak kepanasan. Poni dan Bella duduk bersebalahan, memakan bekal mereka sambil bercerita. “Mau jawaban yang sejujurnya?” tanya Bella. Dan Poni mengangguk sangat cepat. “Tidak—” “Lama lagi,” sambung Poni yang sudah tidak sabar. Dengan senyum manis Bella melanjutkan perkataannya. “Akan pernah.” Poni terdiam sejenak sebeluk bertanya dengan raut wajah bingung. “... Maksudnya?” “Yah, Ansel tidak akan pernah menyukaimu.” Jawaban santai Bella membuat Poni menjerit. “Isabella!” “Poni, jika dia memang memiliki sedikit saja ketertarikan denganmu, dia akan membalas perlakuanmu selama ini.” “Sudah dua hari kami pulang bersama. Lalu hari ini aku ikut dengannya pergi sekolah. Aku juga menyiapkan bekal untuknya juga. Kak Ansel selalu menghabiskan kotak bekal makananku.” Apa yang dikatakan Poni tidak bohong. Pagi tadi dia memang pergi ke sekolah bersama Ansel. Dia juga sudah menyerahkan bekal yang lebih besar untuk Ansel. “Itu karena kau memaksanya.” Bella memutar matanya dengan jengah. “Jangankan kau yang selalu menempel padanya jika kalian bertemu, aku saja yang melihat interaksi kalian berdua sudah paham jika dia membencimu, baby girl.” “Kak Ansel tidak membenciku!” Teriak Poni tidak terima membuat Bella menghembuskan nafas panjang dan mengalah. “Oke, dia tidak. Dia hanya tidak menaruhmu di dalam hatinya.” “Bella!!!” Poni memukul Bella dengan kesal. “Aku serius, Poni.” Bella memasang wajah serius. “Aku takut jika kau melangkah lebih jauh lagi, kau yang akan sakit diakhir. I'm just really worried about you, my baby girl.” Poni menunduk dengan sedih. Ia menutup kembali tempat bekalnya dengan cepat. “Seharusnya kau mendukungku...” “Poni... Hei—” Bella melihat Poni yang sudah meninggalkannya untuk masuk ke kelas. Ia menghela nafas dan membuang sisa-sisa makanan mereka di tempat sampah yang cukup jauh dari tempat mereka duduk lalu menyusul Poni ke kelas. “Poni....” Duduk di sebelahnya, Bella mencoba memanggil Poni. Namun Poni tetap diam. Membuatnya menghela nafas dalam lagi. “Baiklah! Kau menang. Aku akan mendukungmu dengan segenap jiwa ragaku. Jika harus, aku akan mendekati salah satu temannya untuk mencari tahu kesukaan Ansel. Jadi, kumohon jangan mengabaikan aku seperti ini. Kau tahu sendiri, dirimu adalah satu-satunya sahabat sekaligus saudara perempuanku. Aku mencintaimu dan sudah menganggapmu sebagai keluargaku sendiri. Look at me, Poni... aku terlihat menyedihkan di sini.” Bella menarik-narik tangan Poni dengan gemas, mau tak mau Poni luluh juga. “Kau tidak perlu mendekati teman kak Ansel hanya karenaku. Aku akan berusaha dengan kemampuanku.” Bella menghembuskan nafas pelan. Ia mengangguk kemudian memeluk Poni yang juga membalas pelukannya. “I love you, Sister.” Poni bergumam. “Oh, me too.” Bella membalasnya. *** Jam sekolah sudah berakhir. Seperti biasa Poni sudah berdiri di depan mobil Ansel, menunggu pemiliknya. Ia mengambil kaca dan lipgloss berwarna coral dari tasnya lalu mengaplikasikannya ke bibirnya yang berwarna merah muda alami. Baru saja ingin menyimpan kembali ke dalam tas, ia melihat Ansel sudah datang. “Kak Ansel sudah selesai kelasnya?” “Kenapa? Lelah menunggu?” tanya Ansel datar seraya melempar tempat bekal kepada Poni. Dengan sigap Poni mengambilnya kemudian menggeleng. “Poni bisa menunggu lebih lama dari ini. Kalau Kak Ansel tidak percaya, Poni bisa membuktikannya!” Bukannya menanggapi perkataan terakhir Poni, Ansel malah bertanya hal lain. “Kapan sopirmu kembali bekerja?” “Um... Itu ...” Poni memainkan poninya. Dia terlihat berpikir keras sebelum menjawab, “Pak Jak baru saja cuti 2 hari yang lalu. Jadi masih ada 5 hari lagi...” Ansel mengangkat sebelah alisnya. “Bertepatan dengan hari pertama aku mengantarmu, ya kan?” Poni tertawa canggung. “Takdir yang mengejutkan, bukan?” “Jadi, selama lima hari ke depan kau akan selalu menumpang denganku?” Poni mendongak ke atas menatap wajah datar Ansel kemudian bertanya dengan takut, “Kak Ansel tidak mau jika Poni mengikuti Kak Ansel pulang dan pergi ke sekolah?” Ansel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana saat balik bertanya, “Jika aku tidak mau, kenapa?” Belum sempat Poni menjawab, sebuah suara menjawab pertanyaan Ansel. “Kalau begitu Mikhayla akan pulang bersamaku saja.” Poni menoleh dengan kaget melihat Alex berdiri tidak jauh dari mereka. “Alex? Kau belum pulang?” Alex mendekati mereka dan berdiri di depan Poni. “Aku menunggumu pulang dulu tapi kau masih di sini. Dia tidak ingin mengantarmu pulang. Lebih baik kamu pulang bersamaku saja.” Alex memegang tangan Poni membuat Poni khawatir jika Ansel akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Ia melirik Ansel dengan gelisah dan apa yang ia pikirkan terjadi. Wajah Ansel menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan sangat dingin hingga membuat Poni menggigil. Tatapan Ansel menjadi tajam ketika melihat tangan putihnya yang ditutupi tangan Alex. “Kak Ansel—” Ansel mendengus. “Kalau begitu aku akan pergi. Tolong menyingkir dari mobilku.” “Kak Ansel, tunggu—” Ansel menutup pintu mobil. Ia menyalakan mesin mobil dan mengendarainya dengan cepat. Poni hanya bisa melihat kepergian Ansel begitu saja. “Mikhayla, kamu marah?” Poni melirik Alex dengan kesal. Dia tidak marah. Tapi murka! Poni sangat murka. “Maafkan aku, Mik. Aku hanya ingin tahu rumahmu. Beberapa hari lagi bukankah aku akan menjemputmu ke pertandingan basket? Jadi, agar mempermudahkan aku mencari rumahmu nanti, aku perlu mengantarmu pulang. Apakah itu tidak apa-apa, Mik?” “.... Oh begitu...” Setelah mendengar penjelasan dari Alex, Poni segera menenangkan emosinya. “Tapi, seharusnya kau tidak melakukan hal tadi...” Padahal Poni sudah bersusah payah tampil cantik menggunakan lipgloss kesayangannya untuk diperlihatkan pada Ansel. Kalau begini, percuma saja ia menggunakan lipgloss tersebut! “Maafkan aku.” Alex bergumam merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya kemudian membersihkan tenggorokannya. “Jadi, mau pulang sekarang?” Poni melirik gerbang sekolah agak lama. Toh kak Ansel sudah pergi, Bella juga sudah dijemput sopirnya. Hanya tersisa Alex di sini yang ia kenal. “Um... Ya sudah.” Poni berkata dengan tidak yakin. Alex mengambil motornya dan menyerahkan helm cadangan untuk Poni lalu ia menggunakan helm untuknya. Poni mengerutkan hidungnya melihat motor gede Alex lalu melirik rok sekolahnya yang pendek. Poni khawatir jika ia duduk di motor, roknya akan semakin pendek. Menyadari apa yang dipikirkan Poni, Alex melepaskan jacket kulitnya lalu memberikannya kepada Poni. “Gunakan ini. Terus duduknya menyamping.” “Thanks.” Poni mengambilnya dengan senang hati lalu mengikatnya di depan roknya. Ia mengikuti arahan Alex dengan duduk menyamping.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN