Sontak saja Alex menatap Poni dengan kaget ketika mendengar ucapan gadis itu. Pandangan mata Alex berpindah ke pria yang sedang menatap Poni dengan tidak sabaran.
Baru saja Ansel ingin bersuara, Poni sudah dulu masuk ke dalam. Ansel mendongakkan kepalanya ke atas, ia memejamkan matanya kemudian menghirup napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya panjang. Berdecak pelan, Ansel segera masuk dan menyalakan mobilnya.
Alex yang sedari tadi berdiri di tempatnya segera mundur memberikan jalan untuk Ansel. Ia tidak berhenti menatap kepergian mobil Ansel hingga mobil tersebut menghilang dari pandangannya.
‘Sopirmu tidak menjemputmu lagi?’
... Lagi?
Apa.... maksud pertanyaan itu?
Seolah Ansel tahu jika Poni pernah tidak dijemput. Sedangkan dia yang teman sekelas juga orang yang menyukainya tidak tahu.
Lalu, apa juga maksud perkataan Poni sebelumnya?
Tinggal satu atap?
Mereka... Tinggal di rumah yang sama?
***
Poni selalu mencuri pandang ke sampingnya. Dia menggigit bibirnya dan memainkan poninya, sedang berusaha mencari pembicaraan karena sepanjang perjalanan ini Ansel hanya diam.
Beberapa menit kemudian barulah ia mengingat sesuatu, tempat bekalnya! “Oh iya, bagaimana makanan buatan Poni, Kak?”
Ansel terdiam.
“Enak tidak, Kak?” tanya Poni dengan ekspresi mata sedikit berharap.
“Hm.” Ansel menjawab dengan gumaman asal.
Walaupun begitu, Poni sudah sangat senang. “Kalau begitu, besok Poni akan membuatnya lagi!”
“Tidak per—”
“Tapi, tempat bekalnya di mana kak? Biar Poni yang cuci.” Poni memotongnya.
Mobil mereka berhenti di lampu merah. Ansel melirik ke Poni sejenak sebelum kembali menatap jalan. “ Ada di belakang.”
“Oke.” Poni segera menungging untuk mencari tempat bekal di belakang kursi Ansel namun tidak mendapatkannya. “Kenapa tidak ada ya?”
Melirik ke samping, Ansel tersentak kaget. Ansel tidak menyuruhnya untuk mengambil tempat bekalnya sekarang. Ia hanya mengatakan itu dan nanti setelah mereka tiba di parkiran bawah tanah apartemen barulah Poni bisa mengambilnya dengan cara yang lebih terlihat selayaknya seorang wanita. Yaitu dengan cara mengambil dari pintu belakang dengan sopan.
Bukan seperti sekarang ini. Dimana tangannya memegang kursi kemudi untuk menahan tubuhnya. Otomatis tubuh mereka secara tidak langsung menjadi dekat. Aroma manis dan lembut Poni hinggap di indera penciuman Ansel. Seketika tubuh Ansel menegang. Terlihat jelas nadi tangannya saat ia mencengkram setir.
Ansel berusaha menelan salivanya dengan susah payah dan memejamkan matanya sebelum berkata dengan normal. “Di belakang kursimu.”
“Oh.” Poni segera melepaskan tangannya di kursi Ansel dan bergeser ke kursinya membuat Ansel sedikit tidak rela. Ia masih ingin mencium aroma manis tadi.
Oh wait a minute.... Tidak rela? Ansel mengerutkan dahinya dengan kesal. Ketika ia melihat postur tubuh Poni, ia segera membesarkan matanya.
Poni semakin menungging memperlihat pahanya yang putih mulus karena roknya yang pendek. Tanpa satupun rambut halus di sana. Bahkan luka kecil saja tidak berani berada di kakinya yang indah.
Poni sudah mendapatkan kotak bekalnya. Ia membukanya sedikit dan melihat kotak bekalnya tidak ada makanan yang tersisa membuat Poni bahagia. Ketika ia kembali duduk, lampu sudah berubah warna hijau. Tapi anehnya, mobil tersebut tidak bergerak hingga menimbulkan suara klakson di belakang mobil Ansel. Saat Poni menolehkan kepalanya ke samping, ia melihat Ansel yang terlihat melamun. “Kak Ansel, lampu sudah hijau.”
Panggilan Poni membuat Ansel tersadar. Ia terlihat bingung sejenak. Apakah ia sedari tadi menatap kaki indah Poni?
“Oh shit.” Kaki indah? Semenjak kapan dia memuji kaki seorang wanita muda? Masih dalam keadaan bingung dan kesengsaraan, Ansel kembali melihat ke depan dan menjalankan mobil karena banyaknya bunyi klakson yang tidak sabaran di belakang mobilnya.
Tanpa mengetahui pikiran Ansel, Poni segera duduk kembali ke tempatnya semula sambil memegang tempat bekal. Ia kembali melihat isi dalamnya yang bersih membuat dia tidak berhenti tersenyum. Poni berjanji, besok ia akan membuat bekal untuk Ansel dua kali lebih banyak dari porsi ini.
***
Mobil Ansel berhenti tepat di parkiran bawah tanah gedung apartemen. Seperti sebelumnya, Poni masih duduk manis di dalam namun Ansel tetap tidak membukakan pintu untuknya.
Malah, hari ini lebih parah dari kemarin. Setelah Ansel keluar, ia berjalan begitu saja tanpa mempedulikan Poni yang masih berada di mobilnya.
“Eh Kak Ansel, tunggu!” Dengan tergesa-gesa ia membuka pintu lalu berjalan beriringan dengan Ansel.
Di dalam lift, Ansel bisa melihat Poni mengerucutkan bibirnya seolah sedang cemberut. Ia hanya tersenyum tipis melihat gadis itu. Ketika gadis itu hendak menatapnya, Ansel segera kembali ke wajah datarnya menatap pintu lift.
Setelah melihat wajah ketidak pedulian milik Ansel, Poni mendengus pelan. Dia harus memikirkan cara bagaimana supaya Ansel menjadi peduli dengannya, memperlakukannya sebagai seorang wanita pujaan hatinya. Apakah ia harus menyakiti dirinya sendiri supaya Ansel memperhatikannya? Memikirkan itu membuat Poni bergidik. Dia masih waras untuk menyakiti tubuhnya.
Huftt... Poni menghela napas panjang. Mengejar Ansel memang butuh banyak usaha dan kerja keras.
Saat elevator terbuka di lantai tempat tinggal Poni, wanita itu tetap mempertahankan kakinya menginjak lantai elevator. Ansel yang berada di sebelahnya mau tidak mau menatapnya. Apa lagi yang sedang dipermainkan gadis muda ini?
“Ini lantaimu.”
“Poni akan ikut kak Ansel ke unit kak Ansel.” Poni berucap tanpa malu.
Saat pintu elevator ingin tertutup, Ansel dengan cepat keluar. Dan Poni mengikutinya.
“Kak Ansel, kita ke unit kak Ansel saja. Poni penasaran dengan suasana tempat tinggal kak Ansel.”
Poni membuntuti Ansel yang berjalan cepat. Tepat di pintu apartemen Poni, Ansel berhenti.
“Aku sudah mengantarmu pulang, sekarang cepat masuk ke dalam.”
“Tapi—” Poni segera terdiam ketika melihat wajah Ansel yang dingin. Ia menempelkan keycard miliknya di sebelah pintu dan bunyi pintu terbuka segera terdengar. Ia menggigit bibir bawahnya dan memainkan poninya. “Kak Ansel mau masuk dulu? Teh buatan Poni enak lho!”
Balasan yang didapat Poni dari Ansel adalah Poni yang terdorong masuk ke dalam apartemennya sendiri kemudian suara pintu tertutup terdengar. Poni menatap pintu apartemennya dengan kesal. Ia mendengus sebal lalu berjalan ke kamarnya dengan hentakan kaki yang keras.
Melihat pintu yang ia tutup, Ansel terkekeh singkat. Ia berbalik dan segera memasuki elevator, naik ke atas di mana tempat tinggalnya berada.
Poni membuka pintu kamarnya dengan kasar lalu melempar tubuhnya ke kasur. Ia memukul boneka beruang besar yang berada di tempat tidurnya dengan marah. Poni mulai berteriak mengeluarkan rasa frustasinya. “Menyebalkan. Menyebalkan. Menyebalkan! Argh!!!”
Kenapa sangat susah untuk Ansel menerima tawarannya? Apakah perlu ia bertindak agresif untuk mendekatinya supaya mata Ansel terbuka dengan lebar bahwa dia sungguh-sungguh menyukai pria itu?! Kenapa Ansel terlalu susah untuk disentuh?! Butuh berapa lama untuk Poni membuat Ansel membalas perasaannya?!