Kedatangan Zidanne

1257 Kata
Sarah tak tahu lagi harus ke mana. Hanya ada satu kamar kosong. Ya, dia telah berada di kamar yang dulunya milik Sonia. Tak perduli di mana dia masuk, gadis itu hanya ingin menangis sendiri saat ini. Matanya mengedari ruangan itu. Sekarang dia tahu kenapa Sonia tak mau berada di kamar itu. Pantas saja karena kamar itu lebih sempit dari kamarnya. Betapa kejam Sonia. “Sonia telah merebut segalanya dariku, kamarku, juga Mike. Kenapa dia jahat sekali sih?” isak Sarah, menutup wajahnya, masih tak percaya dengan apa yang nampak di matanya tadi. Hatinya remuk redam mengingat apa yang dia lihat dengan gamblang. Sarah mengurung diri di kamar itu, seperti merasa asing di rumahnya sendiri. Sarah merasa dirinya pengecut, tak berani keluar untuk menindak tegas keduanya. Dia hanya bisa merenungi nasibnya di kamar. “Kenapa aku tidak berani, kenapa aku pengecut? Harusnya mereka patut mendapatkan tamparan karena pengkhianatan mereka,” sesalnya mengepalkan tangan, tapi kemudian mengurainya lagi karena dia merasa lemah. Hatinya kesal, tapi hanya bisa memukul sisi tempat tidur demi meluapkan perasaan jengkelnya. Bayangan keduanya itu menari-nari dalam benak Sarah seolah film yang diputar berulang-ulang untuk menyakiti hatinya. Lebih menyakitkan saat Mike tidak juga berusaha meyakinkan Sarah bahwa itu hanyalah kesalah pahaman atau apalah untuk memohon maaf dari Sarah. Padahal, Sarah akan begitu bodohnya mengampuni Mike jika saja hal itu terjadi. Sarah memupus harapnya kala menyadari bahwa Mike tak juga mengejarnya saat dirinya berlari dari ambang pintu kamar di mana dia dan Sonia tertangkap basah bersama dalam satu ranjang. Sarah meremas sisi tepian ranjang yang sepertinya tak pernah dibersihkan. Dia mengibaskan sisinya dengan sangat malas lalu merebahkan diri karena lelah. “Sarah, kamu sudah pulang?” Sebuah suara mengagetkan gadis yang sedang berbaring dengan kedua mata yang sembab itu. Mungkin ada sekitar setengah jam Sarah tenggelam menangisi nasibnya yang buruk hari ini. “Suara ayah! Dia sudah pulang,” desis Sarah. Gadis itu segera menghapus air mata yang tadi sempat membanjiri pipi, lalu bergerak ke pintu, dengan mata sembab Sarah melihat sosok pria paruh baya yang sekarang nampak sedikit kurus itu tersenyum di depan kamar. “Papa...,” ucap Sarah, memeluk pria itu lalu terisak di pelukan ayahnya, Zidanne. Sarah menumpahkan kesedihan di pundak ayahnya. Zidanne memeluk lalu mengelus rambut Sarah yang lurus tergerai. Sarah melepaskan pelukannya lalu menatap wajah yang dia rindukan selama 4 tahun ini. "Papa pasti tidak tahu kalau di rumah ini terjadi sesuatu antara Sonia dan Mike. Apa yang harus kulakukan?" gumam Sarah. Sarah menelan saliva yang rasanya tercekat ditenggorokan. Dia tak akan berani membocorkan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri di kamarnya. Dia mendesah dan akhirnya hanya bersyukur bahwa ternyata Tuhan menunjukkan bahwa Mike bukanlah pria yang baik. “Lho, kenapa wajah kamu sembab gini?” Kedua telapak tangan Zidanne menggapit wajah Sarah di bagian pipi. Zidanne memandangi anak gadisnya dengan menyiratkan rasa rindu di kedua mata. Mata sendu yang membuat Sarah selalu merindukan kehangatan seorang ayah, apalagi usai dia menikah dengan Helena. Rasa rindu Sarah makin menjadi, rasanya kehadiran Helena dan Sonia mengikis jarak ayah dan anak itu. “Aku... aku rindu Papa, hanya itu saja membuatku menangis.” Sarah mengurungkan niat untuk membongkar apa yang dilakukan oleh Sonia dan Mike. Zidanne tersenyum lalu mengacak rambut Sarah. “Dasar anak kecil, kenapa sampai menangis seperti itu? Apa kabarmu di sana, Nak? Bagaimana kuliahmu? Kenapa kamu tak memberitahu Papa kalau kamu akan pulang?” berondong Zidanne membuat Sarah mendesah, bingung menjawab dari mana. “Aku baik-baik saja, Pa. Kuliahku udah selesai, apa Papa nggak ingat beberapa bulan lalu aku bilang kalo aku akan wisuda di bulan ini?” beber Sarah merengut kesal. Sarah sangat ingat jika dia pernah menyampaikan pada Zidanne dan ayahnya itu mengatakan bahwa dia tak bisa datang. Itu saja membuat Sarah kecewa. Tambah lagi kali ini ayahnya melupakan hal itu. Sarah benar-benar merasa wisudanya tak penting bagi Zidanne. “Oh, iya! Maafin Papa, Sayang. Papa bukan melupakan tapi Papa nggak ingat aja,” tukasnya. Sarah berdecih dalam hati. "Itu sama aja melupakan." Gadis itu menghela napas panjang. Kemudian, agar dapat mengalihkan pembicaraan, Zidanne mengajak Sarah ke bawah untuk makan. Helena dan Sonia telah berada di sana. Sarah memastikan bahwa Mike sudah pergi karena ayahnya telah pulang. Dua pengkhianat itu hanya berani main di belakang kedua orang tua. Sesampainya di ruang makan, Sarah membuang muka saat melihat Sonia seolah tak bersalah, menunjukkan wajah yang biasa saja, seperti tanpa dosa tersenyum pada Sarah. Kini Sarah tahu bahwa senyumnya palsu! Sementara itu, Helena tak sedikit pun menanyakan keadaan anak tirinya, padahal Sarah sudah mencium punggung tangannya saat duduk di kursi makan. Sarah memperhatikan wajah Helena lebih terawat dari sebelum dia berangkat ke Inggris. “Maaf, Sarah. Tadi Papa pergi dengan Mama Helena,” sesal Zidanne yang selalu menyebut Helena dengan sebutan ‘Mama’ agar membuat Sarah mengubah panggilannya pada wanita itu. Namun, gadis itu tak merasa ada kemiripan antara Helena dengan ibunya baik fisik maupun perilaku dan hatinya, jadi dia tak akan mengubah panggilannya. “Iya, Papa. Nggak apa-apa,” sahut Sarah perlahan sambil melirik Sonia yang tak mempedulikannya. Sonia tak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah. Dia bersikap sangat biasa, seolah tak pernah melakukan hal buruk. “Nia, Mike mana?” Dengan rasa terkejut mendengar nama kekasihnya disebut, Sarah menengok sumber suara. Sarah begitu kaget mendapati sang ayah yang menanyakan tentang Mike pada Sonia. Sarah hanya menundukkan kepala saat Sonia mengatakan bahwa Mike sudah pulang. Setengah mati dia menahan tangis yang akan meledak mendengar hal itu. Ayahnya sudah mengenal Mike sebagai kekasih Sonia. "Andai Papa tahu apa yang mereka lakukan, dia pasti sudah mengusir Sonia dan Mike dari rumah." Sarah mengambil piring lalu mengisinya dengan sedikit nasi dan sayur. Sebenarnya dia sudah kehilangan selera makan, tapi Sarah tak mau sakit. Esok hari dia berniat untuk mencari pekerjaan. Sarah bertekad harus melupakan semua yang terjadi hari ini. “Tadi Papa pinjam mobil Mike. Untung saja ada Mike, jadi kami tak terlambat pergi ke pertemuan dengan klien,” ujar Zidanne bersyukur disambut oleh senyum Sonia. "Oh, jadi gitu? Mike pinjamin mobilnya dan ditukar pakai tubuh Sonia? Benar-benar menjijikkan." “Ya, Mike itu baik dan dari keluarga kaya. Jadi kapan kalian melangsungkan pertunangan?” tanya Helena membuat Sarah tersedak. Semua orang yang ada di ruang makan menatap Sarah yang sedang terbatuk-batuk karena kaget dengan pertanyaan Ibu tirinya. Sarah meringis usai batuknya mereda. Dia meraih serbet makan, lalu mengeringkan mulutnya. Diam mendengarkan saja. “Minggu depan, Ma. Keluarga Mike akan datang ke sini. Kami akan bertunangan secepatnya sebelum orang ketiga hadir menghancurkan hubungan kami yang sudah berjalan selama tiga tahun ini,” sahut Sonia santai dengan meneguk air putih di gelas tingginya, melirik Sarah seolah adik tirinya itulah yang dia maksud. Sarah melotot kaget. “Tiga tahun?” desis Sarah, tak percaya. Hubungan Sarah dengan Mike telah berjalan selama 4 tahun. Sarah ingat saat ayahnya mengantarkan dirinya ke bandara di saat pertama kali keberangkatan dan Sonia memaksa untuk ikut. Bersamaan dengan itu, Mike menyusul dan ikut menyaksikan keberangkatannya. Mereka berkenalan kala itu. Sarah mendesah, dia yakin bahwa mereka telah berhubungan setelah keberangkatannya. Sungguh rubah-rubah licik! “Lho, bukankah kalian berteman? Sarah, Mike temanmu itu yang akan bertunangan dengan Sonia,” beber Zidanne, menganggap ini semua adalah sebuah kebetulan. Sarah hanya menaikkan sudut bibir. Tak menjawab dan hanya tersenyum miris. Konsentrasinya hanya menelan makanan yang sebenarnya tak ingin dia telan. Teman? Ya, hanya teman. Kini Sarah mengerti kenapa hubungan jarak jauh seringkali berakhir tak langgeng. Adanya orang ketiga yang lebih nyata, menggoda iman. Apalagi wanita itu menyuguhkan tubuhnya sebagai pemuas nafsu. Tentu saja Sarah yang hanya menyuguhkan cinta murni bisa dipastikan akan kalah sebelum bertempur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN